Menjadi Manusia Tanpa Ciri dan Berbahagia ala Filsuf Jawa

slider
07 Mei 2020
|
3021

Judul: Psikologi Suryomentaraman | Penulis: Afthonul Afif | Penerbit: IRCiSoD, 2020 | Tebal: 238 hlm | ISBN: 978-623-7378-30-3

Buku ini dihantarkan dengan prolog yang begitu jitu oleh Irfan Afifi. Ia menyinggung dengan titis apa yang disebut ‘kecemasan eksistensial’. Semacam kegelisahan, ketidakpuasan hidup, yang mengakibatkan derita jiwa dan merundung pada setiap etape perjalanan hidup manusia. Pada era serba digital seperti saat ini, kebahagiaan hidup senantiasa menjadi misteri—bak mencari jarum di tengah padang pasir. Ilmu pengetahuan modern, teknologi, telah berkembang begitu lesat mempermudah manusia menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi, belum juga bisa menjamin manusia menjalani hidup bahagia. Manusia membangun modernitas sekaligus menjadikan dirinya sebagai yang asing.

Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens (2014) menggugat paradoks tersebut secara lebih rinci. Apa yang berabad-abad digadang manusia seperti, misalnya, ekonomi yang berkembang sedemikian pesat, revolusi industri dan sains—yang telah memberi kekuatan super bagi manusia—gagap dihadapkan satu tanya, “Apakah manusia lebih bahagia?”, kata sejarawan yang humoris itu.

Tepat di tengah kepungan keterasingan diri seperti itu, filsafat yang membidani kelahiran semua ilmu pengetahuan hadir memenuhi takdirnya yang lain; sebagai pedoman laku hidup (ways of life) menggapai bahagia. Di Barat, pada masa Yunani Kuno, laku hidup semacam itu tersuguhkan oleh Filsafat Stoikisme. Di Timur, Zen dari tradisi Buddha Jepang lahir sebagai hal serupa. Pada sepanjang zaman, manusia menerjemahkan kebahagiaan hanya sebatas pada terwujudnya keinginan. Padahal, bahagia adalah perkara yang lebih sublim dari dalam diri manusia. Maka, buku Psikologi Suryomentaraman karya Afthonul Afif ini memperkenalkan kepada pembaca tentang buah pemikiran Ki Ageng Suryomentaram. Seorang filsuf Jawa yang merenungi sekaligus membedah psikis-kesadaran manusia terkait hasrat keinginannya.

Ki Ageng adalah anak keturunan ke-55 dari Sultan HB VII. Kecemasan eksistensial yang dialaminya boleh jadi mirip perjalanan Buddha Gaotama. Ki Ageng pun melepas gelar pangerannya. Memilih keluar dari keraton dan menjadi rakyat biasa dengan menghibahkan harta benda kekayaannya kepada orang lain. Hidup yang bergelimang sembah-puji, kehormatan, kekayaan, dan tahta justru hanya mengantarkannya pada penderitaan. Sebagaimana jamak kebijaksanaan (wisdom of mind) yang telah lahir bersebab punya jarak dengan segala keriuhan. Sang Pangeran akhirnya memilih hidup menepi. Ia menetap dan tinggal di pojok terpencil di Desa Bringin, Salatiga. Dalam kesunyian hidup itulah ia menggagas satu jenis pengetahuan laku hidup yang dinamakan kawruh jiwa (ilmu jiwa) atawa kawruh begja (ilmu bahagia).

Hingga generasi hari ini, tidak banyak yang mengetahui sosok apalagi mengenal pemikirannya. Akibatnya, kawruh jiwa tak luput disalahpahami sebagai salah satu varian aliran kebatinan di tengah gegap tradisi mistisme masyarakat Jawa. Padahal, meski berpondasi rasa, kawruh jiwa juga dibangun dengan rasionalitas ketat, seperti halnya sistem pengetahuan filsafat Barat. “Buku ini bertujuan untuk meluruskan kekeliruan tersebut dan mencoba membuktikan bahwa sebagai sistem pengetahuan, kawruh jiwa lebih tepat disebut sebagai ilmu pengetahuan, misalnya yang paling mendekati adalah sebagai filsafat atau psikologi” (hlm. 29).

Psikologi kawruh jiwa tidak jauh berbeda—meski tidak bisa dikatakan sama—dengan teori id, ego, super ego a la Sigmund Freud. Bahwa seluruh tindakan manusia didorong oleh hasrat bawah sadar. Kawruh jiwa menyebutnya sebagai karep/keinginan. Pada poin pentingnya, kawruh jiwa sebagai pedoman laku hidup adalah jalan menggapai bahagia dengan pikiran yang jernih agar tidak diperbudak karep. Tidak hanya olah rasa tetapi juga olah pikir. Berpikir secara rasional untuk memeriksa kembali keyakinan-keyakinan atau prasangka yang bias jadi menyelubungi kebenaran. Afthonul Afif menegaskannya, “Kebahagiaan atau ketidakbahagiaan tidak dapat kita sebut lagi sebagai kondisi yang identik dengan terpenuhi atau tidak terpenuhinya keinginan-keinginan, namun seberapa mampu kita meneliti keinginan-keinginan ini secara benar sehingga dapat berkembang secara wajar dan tidak memperbudak kita”.

Kramadangsa

Ki Ageng menggolongkan kesadaran manusia pada beberapa tingkatan. Dimensi I adalah kesadaran sebagai juru catat dalam diri. Dimensi II adalah kumpulan catatan-catatan yang dicatat oleh si juru catat. Dimensi III adalah kesadaran sebagai si kramadangsa alias pelaksana/pelayan dari seluruh catatan-catatan tersebut. Dan, Dimensi IV adalah kesadaran puncak manusia menuju kondisi bahagia yang disebut sebagai manusia tanpa ciri (hlm. 63).

Sejak bayi, manusia menjadi juru catat atas segala yang terindera lalu mewujud pada keinginan. Ia merekam segala kejadian dan peng’alam’an dalam memori. Menurut Ki Ageng, setidaknya ada 11 jenis catatan yang mendorong manusia bergerak, antara lain harta benda, kehormatan, kekuasaan, keluarga, golongan, kebangsaan, jenis, kepandaian, kebatinan, ilmu pengetahuan, dan rasa hidup. Setiap saat seseorang selalu digerakkan menjadi pelaksana atas catatan-catatan tersebut. Si kramadangsa adalah pelayan bagi tuan-tuan seluruh catatan itu. Dalam catatan ‘rasa hidup’, misalnya, seorang bayi akan merengek sebagai kode untuk meminta ASI saat merasa haus dan lapar. Persis pada saat itu, catatan ‘rasa hidup’ si bayi sedang butuh perhatian dan kemudian si kramadangsa dalam diri si bayi akan melayani catatan itu dengan cara mendorong si bayi tadi menangis. Pelaksana catatan inilah yang disebut sebagai si kramadangsa yang ada dalam diri setiap orang. Si kramadangsa selalu saja punya cara untuk melayani catatan-catatan itu.

Selagi seseorang belum mati, kesadaran Dimensi I alias si juru catat dalam diri akan terus melakukan pencatatan dan mengelompokkannya pada 11 jenis catatan tersebut. Sementara kesadaran Dimensi III/si kramadangsa dalam dirinya akan terus melayani seluruh catatan-catatan itu. Begitu seterusnya. Meski seluruh catatan-catatan tersebut bersifat mulur (mengembang)-mungkret (menyusut). Mana dan kapan saja catatan-catatan yang bisa memberi keuntungan dan kenyamanan terbesar bagi diri sendiri yang akan mendapat perhatian lebih besar dari si kramadangsa.

Jika catatan itu diberi perhatian, dihidupi, maka si kramadangsa akan senang. Sebaliknya, jika catatan itu ada yang mengganggu, maka si kramadangsa akan merasa susah, benci, dan marah.

Pada momen seperti inilah seseorang hidup pada kesadaran Dimensi III sebagai ‘aku kramadangsa’. Salah satu pijar penting psikologi kawruh jiwa adalah kemampuan mengawasi gerak si kramadangsa terhadap karep/keinginan yang mewujud dalam seluruh catatan tersebut. Kawruh jiwa adalah kemampuan yang akan mengantar manusia menuju kondisi bahagia manusia tanpa ciri. Sebuah kondisi diri yang tidak lagi melekat pada kesadaran Dimensi III/si kramadangsa.

Permisalan lain, dalam catatan ‘harta benda’. Ketika seseorang kedapatan barang miliknya dicuri, ia akan merasa sedih dan susah. Sebabnya, catatan ‘harta benda’ dalam dirinya terganggu. Otomatis akan memerintahkan si kramadangsa dalam dirinya untuk bereaksi. Misalnya, dengan merasa susah dan bahkan marah. Jika kesusahan dan kemarahan tersebut tidak lekas disadari maka akan membuat dirinya menderita. Dalam kasus ini, ‘diri’ dikuasai oleh si kramadangsa yang sedang diperbudak catatan ‘harta benda’.

Kemelekatan rasa kramadangsa dan ‘diri’ inilah yang menghalangi seseorang menggapai Dimensi IV. Maka, keberhasilan melepas pada yang melekat itu disebut Ki Ageng sebagai pencapaian kondisi manusia tanpa ciri yang tenteram dan bahagia. Kita tahu, setiap hari begitu banyak tumpukan catatan-catatan yang gampang membuat diri kian kalap dan gelap. Maka butuh perjuangan untuk tidak melekat pada itu semua. Oleh karenanya, pencapaian manusia tanpa ciri tidak bisa dengan cara instan. “Kramadangsa dan manusia tanpa ciri lahir silih berganti mengikuti siklus yang abadi” (hlm. 68). Sebab, kesadaran butuh direngkuh. Setelah diwacanakan ke dalam diri, juga butuh diterapkan dalam pelatihan rutin sehari-hari.

Selamat berlatih!  


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Khotib Nur Mohamad

Buruh yang membaca dan sesekali menulis. Tinggal di Yogyakarta.