Menjadi Avatar

09 November 2018
|
2577

“Air… Tanah… Api… Udara…” itulah pembuka kata dalam film animasi Avatar: The Legend of Aang.

Film ini berkisah tentang Aang, bocah kecil plontos dengan tanda panah di botak kepalanya yang berpetualang dalam rangka menguasai keempat elemen untuk melawan Raja Api Ozai dan Negara Api agar harmoni semesta seluruh elemen dapat tercapai. Meskipun sebuah film, aminasi lagi, tetapi buat kita yang suka menonton dan memperhatikannya, apakah hanya berhenti sebagai hiburan saja? Atau jangan-jangan film Avatar mengandung visi pencerahan! Hemm.

Sewaktu kecil, saya lebih suka melihat film kartun atau animasi dengan aksi-aksi yang heroik, namun belakangan serial animasi yang ditayangkan oleh jaringan televisi Nickelodeon tersebut mengandung, katakanlah, nilai spiritualitas yang dapat menjadi bahan renungan, terutama buat diri saya sendiri dan barangkali untuk Anda juga. Tentu yang paling menarik adalah konsep tentang 4 elemen itu: air, tanah, api, dan udara. Jika dalam film para tokoh dapat mengendalikan elemen-elemen tersebut, seperti menyeburkan api dari mulut, memunculkan dinding batu, atau menciptakan ombak raksasa, tampaknya sangat fiktif dan tidak masuk akal sama sekali. Lantas dimana letak nilai spiritualnya?

Dalam khazanah klasik di berbagai bangsa, empat elemen tersebut merupakan aspek semesta yang sangat diagungkan atau bahkan sangat mempengaruhi kehidupan. Seperti bangsa Yunani Kuno dulu, yang percaya bahwa air, api, tanah, dan udara sebagai asal-muasal dunia seisinya. Atau di India yang sangat erat dengan dewa-dewi yang berada pada tiap elemen itu. Bahkan orang China menggunakan elemen-elemen itu dalam shio (simbol binatang Cina yang mewakili 12 siklus tahunan) mereka, seperti tahun Naga Air atau Kelinci Api.

Bila kita menelisik pada tubuh manusia, keempat elemen atau unsur tersebut dapat dikatakaan sebagai simbol. Simbol yang mewakili 4 nafsu. Empat nafsu ini terdiri dari nafsu sufiyah, nafsu lawamah, nafsu amarah, dan nafsu mutmainah. Keempat nafsu tersebut sebanding dengan keempat elemen atau unsur Avatar. Sufiyah melambangkan air, lawamah berintikan tanah, lalu amarah coraknya api, terakhir mutmainah sehalus udara.

Nafsu di sini bukan bermakna hawa nafsu atau dorongan kenikmatan seperti yang kita pahami selama ini. Kata nafsu yang dari bahasa Arab an-nafs memiliki arti “diri/jiwa”. Maka nafsu lebih ke kepribadian atau personalitas manusia. Nafsu yang empat ini ada pada setiap individu manusia dan mempengaruhi tindak-tanduknya. Entah dalam tindak hubungan manusia dengan Tuhan, dalam ibadah sosial-kemasyarakatan, bahkan dengan alam raya pun tak terlepas dari nafsu-nafsu ini.

Nafsu sufiyah yang bersimbolkan air, misalnya, ia merupakan bagian dari diri kita yang mengarah pada seksualitas. Katakanlah hal-hal yang berhubungan dengan organ vital manusia sangat dekat dengan air. Kita tentunya paham dengan istilah seperti ‘mimpi basah.’ Hal ini tentu sangat manusiawi karena sepanjang kenormalan manusia ada, seksualitas atau nafsu air ada dalam diri manusia.

Lalu ada nafsu lawamah yang dicirikan seperti tanah. Dalam diri manusia, ia sangat erat dengan sifat individualitas. Egois, rakus, tamak, dan menang sendiri yang berperan adalah lawamah. Bukti kecilnya, ketika kita melihat foto keluarga atau dalam album kenangan sekolah, wajah siapa yang pertama kita cari? Tentu saja wajah kita sendiri.

Api dalam diri manusia membakar emosi dengan wujud nafsu amarah. Momen dimana kesombongan, murka, kehendak untuk konflik dan perang yang menguasai jiwa, hanya ada satu hal, kita terbakar jadi abu dosa atau hangus terperangkap pada kerusakan hati. Amarah serupa iblis yang mengompori manusia untuk senantiasa mematik panas atau api. Walhasil, sebagaimana hajat kita akan api, kita terhangatkan atau terterangi, namun dapat juga terdorong secara batin untuk berbuat yang kurang baik, terutama marah (amarah).

Air, tanah, api dan udara telah membentuk keseluruhan tubuh manusia dan langkah kemanusiaan kita. Tampaknya memang banyak sekali unsur dalam diri kita yang mendorong pada keburukan. Namun pada elemen terakhir itulah manusia menemukan jalan menuju Tuhan-nya, yakni nafsu mutmainah. Jiwa udara ini laiknya oksigen bagi kehidupan kita karena selalu ingat kepada Allah SWT.

Penggambaran keempat nafsu tersebut dapat dikaitkan juga dengan tokoh-tokoh yang ada pada film Avatar. Seperti teman-teman Aang dari Suku Air, kakak-beradik, bernama Sokka dan Katara, misalnya. Sokka merupakan anak laki-laki yang humoris, pengertian, dan rada playboy. Adik perempuannya, Katara, yang jadi pengendali air, terlibat asmara (suka) dengan Aang. Keduanya dari elemen air mewakili nafsu sufiyah.

Lalu ada gadis buta dari Kerajaan Tanah, bernama Toph. Ia punya sifat agak pemalas, egois, dan kurang peduli dengan teman-temannya. Ini yang sangat lawamah yang berelemen tanah. Musuh sekaligus guru pengendalian api Aang, yakni Pangeran Zuko, sebagai perwujudan nafsu amarah. Awalnya ia sangat berambisi menangkap Avatar Aang agar diakui oleh ayahnya si Raja Api, namun pada akhirnya ia berpihak pada Aang untuk mengalahkan Negara Api yang memulai perang. Pengaran Zuko sangat ambisius, pemarah, dan sering membenci dalam segala hal. Amarah adalah jiwanya.

Tokoh utama yang menjadi Avatar, Aang, berasal dari Kuil Udara Selatan. Selain sebagai pengendali udara, ia juga seorang biksu. Misinya sebagaimana avatar-avatar sebelumnya: menguasai empat elemen dan mengakhiri perang yang dimulai oleh Negara Api. Aang sang Avatar adalah nafsu mutmainah yang dekat dengan hal-hal ruhani. Ia belajar pengendalian udara, lalu elemen air di kutub utara, dan tanah dari Toph, Pangeran Zuko pun menjadi guru apinya Aang. Dari sini, mungkin kita melihatnya semua ini sebagai ilustrasi biasa saja, karena hal itu hanya kreasi imajinatif, hanya film yang berbentuk rangkaian lukisan atau gambar yang tak sesuai fakta! Sebab, manusia biasa tidak mungkin membuat ombak air atau mengeluarkan dinding batu, bahkan menyemburkan api dari mulut.

Meskipun animasi, tapi kita dapat mencontoh Aang dengan menjadi Avatar. Bagaimana caranya? Diri kita inilah empat elemen tersebut. Avatar di animasi tersebut adalah siapa pun yang bisa mengendalikan keempat elemen. Maka tidak perlu mengkhayal lagi, kita dapat menjadi Avatar dengan cara “mengendalikan 4 elemen nafsu”.

Untuk dapat menjadi Avatar mungkin sebaiknya kita terlebih dahulu melihat elemen apa yang sering kali menguasai kita. Ada orang yang sangat egois, bahkan anti-sosial atau no life, itu berarti ia lawamah. Bahkan dapat kita temui orang yang sangat “api” saat berinteraksi dengan kita ataupun dirinya sendiri tidak bisa mengontrol amarahnya yang menjilat-jilat. Tentu pula ada orang yang menjaga dirinya dari hal-hal yang merusak dengan ibadah dan amal saleh sampai pada setiap hembusan napasnya.

Ketika kita telah memahami diri sendiri, maka saat itulah kita perlu memahami Sang Kreator, Allah SWT dengan cara: “Man ‘arafa nafsahu, faqod ‘arafa Rabbahu” (Siapa saja yang mengenal dirinya sendiri maka ia mengenal Tuhannya). Maka tentu ia seorang Avatar. Dalam artian, ketika ia memahami dirinya yang mungkin sangat emosional (amarah), atau tukang ngeres (sufiyah), bahkan mungkin juga kerasukan dan egoisme dirinya yang lawamah, ia tetap tidak boleh melupakan Allah yang perlu didekati dengan jiwa yang mutmainah.

Ibarat kerajinan gerabah, manusia yang dibentuk dari tanah keakuan (lawamah), ia dilunakkan dan dibentuk dengan menambahkan air (sufiyah), lalu api (amarah) penggarangan dikendalikan supaya tercipta masterpiece (mutmainah). Dan unsur yang senantiasa bersama tanah, air, dan api, adalah udara. Dan Allah-lah, Ilahi yang selalu hadir dan memberi kita kehidupan meskipun kita terkubur lawamah, dibanjiri sufiyah, maupun dibumihanguskan oleh amarah. Maka manusia yang menjadi Avatar, ialah orang yang dapat mengendalikan seluruh elemen dengan jiwa yang mutmainah, laksana udara yang menghempas menuju hadirat-Nya.

Ya ayyatuha an-nafsu al-muthmainnah, irji’ii ila robbiki radhiyatan mardhiyah, fadkhulii fi ‘ibadii, wadkhulii jannatii…

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-07 Jumat, 08 November 2018/01 Rabiulawal 1440 H


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ikhbar Fiamrillah Zifamina

Masih bergelut dengan tugas akhir kuliah