Mengurangi Tidur
Beberapa waktu lalu saya menyimak Ngaji Filsafat yang dituturkan Pak Fahruddin Faiz perihal ulama-ulama Nusantara. Ketika itu, salah satu ulama di Pulau Jawa, Kyai Sholeh Darat As-Samarani didedah dengan apik. Seperti biasanya, penuturannya santai karena diselingi cerita jenaka tanpa mengabaikan muatan yang disampaikan.
Namun saya merasa dikejutkan ketika pembahasan memasuki jalan suluk seorang sufi. Lebih spesifik lagi soal riyadhah yang terdiri dari empat syarat, dan salah satu lokusnya ialah mengurangi porsi tidur. Saya teringat, beberapa kali sempat hampir tertidur saat mengikuti Ngaji Filsafat secara langsung di Masjid Jendral Sudirman. Pun begitu saat Ngaji Filsafat digelar di kanal youtube MJS Channel, saya juga berulang kali tertidur-bangun. Meski begitu, saya selalu berikhtiar menahannya dengan cara mencatat materi yang disampaikan.
Tidur sendiri dalam dunia kesehatan sama seperti makan. Keduanya menjadi sebuah rutinitas yang tidak bisa dialpakan, karena kebutuhan manusia untuk terus tumbuh dan berkembang. Dalam hitung-hitungan dunia kesehatan, manusia dikenalkan dengan tidur dalam ukuran satuan jam. Untuk usia bayi sampai sekitar 10 tahunan, dibutuhkan durasi tidur antara 10 sampai 17 jam. Berbeda dengan orang dewasa yang cukup hanya 7 sampai 9 jam waktu tidur dalam hitungan sehari.
Narasi berbeda justru didapati pada orang-orang yang bergelut dalam dunia keilmuan yang malah produktif dengan cara mengurangi porsi tidurnya. Dalam sebuah wawancara, BJ Habibie, mantan Presiden Indonesia ketiga mengakui bahwa ia hanya tidur 4 jam dalam sehari. Dan itu ia lakukan sejak usianya masih muda. Hasil dari itu, ia berhasil mendapat berbagai gelar dan penghargaan di bidang sains dari universitas luar negeri. Termasuk salah satu penemuannya yang paling fenomenal di dunia penerbangan, Teori Crack, yang ia temukan sekitar tahun 60-an.
Pun begitu tokoh di berbagai belahan dunia lain yang berikhtiar mengurangi porsi tidurnya. Sebut saja Leonardo Da Vinci, seorang jenius abad ke-15 ini memiliki cara tidur yang unik. Ia tidur setiap 15-20 menit dalam rentang durasi 4 jam. Kalau diakumulasikan dalam sehari, pelukis Monalisa itu hanya tidur kira-kira hanya 2 jam. Hasilnya? Tidak perlu kita pertanyakan lagi.
Dalam dunia sufisme, tidur menjadi salah satu pembahasan yang penting. Di beberapa literatur, ada yang bercerita bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jailani selalu bisa mempertahankan wudhunya tidak batal selama satu hari penuh. Dan kita dibuat berpikir keras karena ini. Untuk bersentuhan dengan lawan jenis sebagai penyebab batalnya wudhu, bolehlah selama sehari tidak terjadi. Pun dengan buang angin atau buang air. Tapi bagaimana dengan tidur?
Pada penjelasan riyadhahnya Kyai Sholeh Darat, mengurangi porsi tidur menjadi usaha manusia untuk mencapai level zuhud, tapi tentu saja dibarengi dengan dzikir kepada Allah. Penjelasan itu secara eksplisit tidak menyuruh manusia untuk tidak tidur sama sekali, melainkan menganjurkan untuk mengurangi porsi tidur. Sebab manusia sendiri juga perlu untuk mencukupkan kebutuhan jasmaniahnya. Dan bisa dipastikan juga, para alim ulama, cerdik cendekia, dan manusia awam sepakat dalam hal manusia perlu tidur.
Mengurangi porsi tidur ini bisa dianalogikan dengan laku muslim yang menunaikan ibadah puasa. Ketika berpuasa, kita bisa mengurangi jatah makan yang seharusnya tiga kali menjadi sekali, dan itu tidak menjadi masalah. Lantas bagaimana dengan mengurangi porsi tidur? Kalau bisa, kenapa pembahasan dalam dunia Kesehatan melulu menyudutkan orang yang mengurangi porsi tidurnya dengan resiko penyakit a, b, dan seterusnya? Bukankah berpuasa saja yang notabene jasmaniah bisa menghasilkan manfaat baik untuk tubuh? Lalu apa memang mengurangi porsi tidur juga memberi manfaat? Bukankan melatih diri untuk berpuasa bisa mengubah ritme tubuh dan perbaikan metabolisme? Seharusnya ini juga berlaku dengan orang-orang yang mengurangi porsi tidurnya.
Dari perpektif legitimasi kitab suci, saya rasa ada ayat yang relevan dengan persoalan tidur ini. Dalam Al-Quran surah Az-Zumar ayat 42 Allah SWT berfirman: "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang yang belum mati) di waktu tidurnya. Maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan kembali jiwa orang (yang tidur, menjadi hidup kembali ketika bangun) sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang mau berpikir.”
Pada penjelasan di atas, boleh jadi sebagai manusia kita disuruh Allah untuk tetap bisa tidur. Alasan sederhananya tentu saja karena tidur juga sebagai anugerah kepada manusia. Tidur menjadi semacam kenikmatan yang patut disyukuri oleh tiap orang. Narasi selanjutnya, setelah mematikan (dalam tidur) lalu Allah membangunkan ini bisa ditafsiri juga sebagai anugerah. Karena kita -manusia- masih diberi kesempatan lagi untuk berbuat baik, berlaku adil, sekaligus menyayangi sesama dan semesta.
Mungkin ada juga kemungkinan makna lain kita diberi kenikmatan tidur yakni dilindungi oleh-Nya dari berbagai macam keburukan. Tapi ya masak dengan dalih menghindari keburukan itu, dua pertiga di tiap harinya kita habiskan untuk bergelut dengan bantal, guling, dan kasur? Lha terus, kapan waktunya untuk meningkatkan kualitas hidup ke jenjang yang lebih baik lagi? Mari harmonisasikan rebahan dan produktif berkarya.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST