Mengidolakan Para Pemangku Ilmu
Ternyata pandemi dan musibah tidak menghentikan semangat manusia Indonesia untuk belajar dan produktif di jalan ilmu dan hikmah. Salah satu fenomena yang menggembirakan dan membuatku tak henti bersyukur di era pandemi ini—saat setiap orang ‘dipaksa’ untuk menjauh dari keramaian—adalah bertambah membanjirnya kajian, tausiyah, ceramah, nasihat, petuah, pengajaran, bimbingan, tuntunan, dan lain sebagainya yang bisa diakses siapa saja secara cuma-cuma via dunia maya.
Kalam hikmah terserak disetiap sudut kanal media sosial kita. Tuntunan hidup silih berganti tampil di layar media informasi kita. Segala jenis wawasan keilmuan bermunculan, dari bidang apa pun kehidupan, seakan menawarkan diri, “Apakah engkau tidak membutuhkan aku?”, “Bukankah aku ini sangat penting untuk kehidupanmu?”
Betapa sayang dan cinta Allah kepada manusia Indonesia. Disuburkan oleh-Nya kemunculan manusia-manusia sarat ilmu, penuh hikmah, berjiwa pengabdi dan berwatak murah hati kepada sesama.
Alhamdulillah kita di Indonesia kita tidak pernah kekurangan alim, arif, cendekiawan, ilmuwan, guru, dosen, yang dengan beragam gaya dan retorika, tak enggan dan tiada segan turun langsung menyapa dan menuntun kita, menyuapkan langsung ke mulut ruhani kita makanan-makanan moral-mental-spiritual yang begitu bergizi, tanpa meminta imbalan apa pun, bahkan sekadar ungkapan terima kasih dari kita. Di era pandemi ini, kehadiran manusia-manusia istimewa ini justru berkali lipat jumlahnya. Alhamdulillah…
Para murid, para pembelajar, para pecinta ilmu, seakan mengalami panen raya keilmuan, justru di waktu musibah sedang melanda. Setiap hari tiada terlewat wawasan bertambah. Setiap detiknya notifikasi media sosial mengingatkan masuknya pengetahuan baru, wawasan baru, hikmah baru, dan kearifan baru. Kalau yang ini saja masih kurang, kita masih bisa mengejar fokum-forum khusus yang juga secara khusus diadakan, semacam webinar, diskusi online, live tausiyah, streaming kajian dan lain sebagainya.
Dulu untuk mengikuti kegiatan-kegiatan semacam ini mungkin memerlukan biaya khusus, namun sekarang hanya butuh kekuatan kuota saja. Hari ini, sambil rebahan di kamar, ulama dan ilmu mendatangi kita. Maka, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan? Fabi ayyi ala’i rabbikuma tukadzdziban?
Setiap hari, sebagai muslim kita pasti berdoa, “Ihdinash shirat al-mustaqim” (Tunjukkan kami ke jalan yang lurus), setidaknya dalam shalat kita. Kiranya situasi hari ini adalah bagian dari jawaban Allah atas doa kita tersebut.
Fenomena membanjirnya ilmu dan tuntunan langsung ke depan wajah kita, melalui media informasi kita, melalui lantaran para alim dan arif yang murah hati itu, tentunya adalah jawaban Allah langsung atas doa-doa tiada henti tersebut.
Persoalannya sekarang, siapkah jiwa dan diri kita menerima ‘jalan lurus’ tersebut? Ibarat komputer, apakah kondisi diri kita ‘kompatibel’ dengan program ‘jalan lurus’ yang harus diinstalkan ke dalamnya? Sejauh mana kita mau dan mampu meng-upgrade diri kita sehingga sesuai untuk menjalankan ‘jalan lurus’ tersebut? Kalau nantinya diri kita memang sudah sesuai, sejauh mana kesediaan kita untuk mengamalkannya dan menyemaikan kemanfaatannya untuk diri dan masyarakat sekeliling kita?
Kalau persoalan ini belum terselesaikan, maka ‘jalan lurus’ itu hanya akan kita kagumi saja, kita puja-puji, kita unggul-unggulkan, tanpa mengubah apa pun dalam hidup kita. Lebih dari itu, mungkin tidak hanya ‘jalan lurus’nya saja yang kita takjubkan, namun juga para alim pembawanya.
Lalu, berubahlah orang-orang mulia itu menjadi idola-idola, yang kita jejer-bandingkan dengan idola-idola lain yang dikagumi oleh orang lain. Ketika para alim yang mulia kita posisikan hanya sebagai idola, maka kita pun turun derajat dari murid menjadi fans, follower, dan penggemar belaka.
Suatu hari, datang seorang tamu ke majlis Imam Hasan al-Bashri. Diikutinya kajian Imam Hasan al-Bashri dengan tekun dan penuh kekaguman. Selesai kajian, ditemuinya Imam Hasan al-Bashri.
“Wahai imam”, sapa tamu tersebut. “Kenalkan, aku adalah salah seorang pengagum dan penggemar beratmu. Aku sangat mengagumi majelismu. Aku juga pernah mengikuti kajian seorang alim yang lain di sana. Ia juga memiliki majelisnya sendiri. Namun mengapa ia selalu mengkritik dan menyebutmu secara tidak pantas, serta menjelek-jelekkanmu?”
Imam Hasan al Bashri menjawab, “Tolong hentikan pembicaraanmu wahai tamuku. Orang yang engkau sebut tadi, aku kenal, dia adalah juga sahabatku. Adapun yang akan kau sampaikan kepadaku tentang dia yang selalu menjelekkanku, maka jika engkau bohong, engkau harus dicambuk karena berdusta. Dan jika yang akan kau sampaikan itu benar, maka engkau tetap harus dicambuk karena engkau telah ghibah dan mengadu domba aku dan dia. Kira-kira engkau akan memilih yang mana?”
Jelasnya, anugerah luar biasa dari Allah dengan menghadirkan manusia-manusia mulia yang begitu murah hati ini, harus kita syukuri tidak hanya dengan membanggakan kepandaian dan kealiman mereka, namun dengan menyukseskan misi kehadiran mereka, yaitu meng-upgrade diri kita sehingga mau dan mampu mewujudkan semua tuntunan kebanaran dan kebaikan yang mereka sampaikan.
Jangan sampai kita mengundang murka Allah dengan menyia-nyiakan kehadiran mereka hanya sebagai idola, ‘maskot’ kealiman, dan kesalehan belaka. Apalagi dengan berprasangka buruk terhadap kehadiran mereka, seperti sebuah pertanyaan yang pernah diajukan kepadaku di satu tempat, “Mohon penjelasan pak, para ustadz medsos itu, kira-kira berapa persen motifnya karena Allah? Berapa persen karena terpaksa oleh kewajiban saja? Berapa persen karena pertimbangan ekonomi? Berapa persen karena ingin eksis dan terkenal? Berapa persen karena memenuhi kewajiban sebagai orang yang merasa terkenal, atau karena menjaga nama agar tetap terkenal?”
“Saya tidak tahu”, jawabku. “Karena rahasia hati setiap orang tentunya hanya masing-masing orang yang tahu. Yang jelas pertanyaanmu yang bernada curiga itu hanya berarti engkau tidak akan memperoleh manfaat apa pun dari khazanah ilmu yang mereka miliki.
Selanjutnya berhati-hatilah, mereka yang dianugerahi oleh Allah dengan ilmu-Nya, apa pun isi dan jenis ilmu itu, pastilah orang yang dikasihi-Nya. Karena mereka orang-orang yang dikasihi Allah, sangat mungkin prasangka burukmu itu akan mengundang kemurkaan-Nya kepadamu”.
“Mohon maaf pak,” responnya kemudian.
“Mengapa minta maaf padaku? Aku bukan ulama, juga belum pantas disebut ustadz atau guru. Engkau salah memposisikanku. Meskipun aku jelas lebih tua darimu, maqam-ku dan maqam-mu masih sama. Kita sama-sama masih murid, sama sama masih belajar. Mari kita berhati-hati saja di setiap kata dan perbuatan, serta jangan lupa tetap dan selalu belajar”.
“Atau jangan-jangan, pertanyaanmu tadi memang kritik dan sindiran untukku?” Waduh…
Category : kolom
SHARE THIS POST