Menghidupi Hidup Bersama Albert Camus

slider
23 Februari 2022
|
4057

Banyak hal dalam hidup ini yang tak jelas dan selalu berhasil membuat manusia melangkah secara terus-menerus untuk mencari jawabannya. Membicarakan masa depan di atas ranjang sepasang suami-istri terkadang mengaburkan kisah cinta mereka yang sangat romantis. Mencari kebermaknaan hidup, mengenang masa lalu, dan memikirkan masa depan juga menjadi Mendung Tanpo Udan (mendung tanpa hujan) yang membuat manusia melongo memikirkan alasan untuk apa hidup dan layakkah kehidupan ini dilanjutkan.

Tak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang tidak ingin menyesap napas kebahagiaan. Namun, yang perlu saya tanyakan lebih jauh lagi, adakah kebahagiaan itu bersifat abadi hingga oksigen terakhir dihirup? Bahkan kematian seseorang pun sama sekali tak dapat dikompromikan kapan kehadirannya; tak ada yang dapat tidur lelap sambil menunggu Sang Maut tiba menjemputnya dengan kereta kencana yang berlapis emas. Dengan singkat, dapat saya katakan bahwa, tak ada yang menjamin esok pagi kita masih bisa melihat semburat fajar dari arah timur.

Kehidupan di bumi ini tak ubahnya hanya peralihan suasana hati: dari kesenangan ke kesenangan lain, dari penderitaan ke penderitaan lain, dari kekecewaan ke kekecewaan lain. Begitulah seterusnya. Ketika kesadaran telah menggiring manusia sedemikian rupa, lantas masih bermaknakah hidup ini?

Albert Camus dan Sebongkah Gagasannya

“Hari ini ibu meninggal. Atau, mungkin kemarin, aku tidak tahu.” (Camus, 2014, p. 3). Ungkapan itu ditulis Albert Camus dalam novelnya yang berjudul L’Etranger (Orang Asing). Dalam novel tersebut Albert Camus mengungkapkan gagasan-gagasan absurditas dan menyatakan pemikirannya bahwa hidup ini adalah sebuah keabsurdan. Nirmakna.

Albert Camus merupakan seorang yang lebih memilih disebut sebagai sastrawan dan esais, daripada disebut sebagai seorang filsuf. Ia dilahirkan pada 7 November 1913 di Aljazair dan dijemput oleh Sang Waktu karena kecelakaan mobil pada 5 Januari 1960 di Villeblevin, Prancis. Albert Camus juga seorang penerima Nobel di Bidang Kesusastraan pada 1957. Lagi-lagi, berkat novel L’Etranger-nya yang unik itulah ia mendapatkan gelar sebagai sastrawan dan meraih nobel tersebut.

Dalam novel tersebut, Camus menciptakan seorang Mersault sebagai tokoh utama, yang tidak lain merupakan representasi dari pemikirannya sendiri. Mersault merupakan seorang manusia yang menjalani rutinitas hidup layaknya manusia biasa, seperti menghadapi kematian, memiliki pacar, dan berlibur seperti manusia pada umumnya. Hanya saja sikapnya menghadapi rutinitas itu yang menurut saya sangat berbeda dari umumnya manusia.

Mersault dapat dikatakan secara sederhana merupakan seorang yang hidup tanpa gairah yang meledak-ledak dan tanpa emosi yang menjadi-jadi. Lihat saja pada kematian ibunya, ia tetap merasa biasa saja. Hal itu dapat dilihat dari ungkapan yang saya sampaikan di atas. Ia seakan-akan menganggap sepele perihal kematian orang yang—bagi banyak manusia—sangat berpegaruh dalam hidup. Bahkan saat berhadapan dengan jenazah ibunya, Mersault masih sempat-sempatnya ngopi dan menyalakan rokoknya. Tidak menangis dan tak ada raut kesedihan.

Hingga pada akhirnya Mersault divonis hukuman mati karena dalam cerita disebutkan bahwa, ia telah membunuh seorang Arab dengan menembaki kepalanya. Pada saat itu pun Mersault tak merasakan ketakutan atau penyesalan. Tak ada yang membuatnya merasa sedih dan senang. Ketika menarik pelatuk pistolnya pun Mersault dihinggapi oleh rasa penasarannya untuk menembakkannya pada kepala orang lain.

Sikap Mersault yang merasa biasa-biasa saja ketika menghadapi apa saja merupakan sebuah keberanian yang perlu diacungi jempol, karena dengan begitu, Mersault telah menjadikan dirinya autentik. Tidak terbalut oleh anggapan umum yang berjain-kelindan pada ketentuan umum. Meskipun ibu mati pada hari itu, lantas mengapa? Bukankah kehidupan ini masih terus berjalan dan kehidupan akan terus seperti itu dengan beragam wajahnya? Begitulah kira-kira absurditas yang ingin disampaikan oleh Albert Camus melalui tokoh Mersault tersebut.

Albert Camus membangun kerangka absurditasnya tidak dari ruang hampa. Dalam esainya (Mite Sisifus, 1999) ia menganalogikan absurditas hidup ini dengan Sisifus yang dihukum oleh para dewa karena telah merantai dewa kematian. Ada pula yang mengisahkan bahwa Sisifus telah membocorkan rahasia hanya demi air keberkahan.

Banyak pula versi lain dari motif yang dilakukan Sisifus hingga ia mendapat hukuman. Pada intinya, Sisifus dijatuhi hukuman oleh para dewa untuk terus mendorong sebuah batu besar ke puncak gunung, lalu batu itu akan menggelinding ke bawah, dan didorong lagi ke atas, terjatuh lagi, didorong lagi. Sekilas nampak sangat tragis hukuman tersebut. Namun Albert Camus menutup esai tersebut dengan cemerlang dan klimaks: “Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia!”

Sampai sini, sadarkah bahwa apa yang ditulis Albert Camus dengan analogi Sisifus si pendorong batu tersebut merupakan kita dan seluruh manusia pada umumnya. Jika sejenak mengambil jeda untuk merefleksikan hidup ini, kita—manusia—hidup senantiasa seperti mendorong batu hingga puncak, perasaan akhirnya menjadi lega dan bahagia, lalu melihat batu itu jatuh menjadikan manusia merasa sedih. Kemudian manusia dituntut untuk mendorong batu itu lagi dengan segenap perasaan yang menderita. Begitu seterusnya.

Lantas masihkah hidup ini bermakna, jika hidup hanya seperti itu saja adanya? Layakkah kehidupan ini dilanjutkan? Sepertinya obrolan muluk-muluk seputar makna hidup yang sangat jauh di menara gading harus segera diistirahatkan. Pertanyaannya ialah, bagaimana manusia seharusnya hidup?

Hidup Untuk Saat Ini

Menjawab pertanyaan ‘bagaimana’ tersebut merupakan hal yang amat sulit dan terjal. Banyak para pemikir, agamawan, bijak-bestari, bahkan politikus yang merumuskan bagaimana manusia hidup, tetapi tak ada satu pun yang berhasil memuaskan manusia dalam pencariannya. Dengan begitu, apakah bunuh diri merupakan sebuah solusi dari ketidakjelasan, keabsurdan, dan getir takdir yang dihadapi manusia? Tidak!

“Haruskah aku bunuh diri, atau meminum secangkir kopi?” Ungkapan Albert Camus tersebut yang masyhur di mana-mana, di warung kopi, dan di sela-sela kegundahan. Hal tersebut menandakan bahwa dengan bunuh diri, tidak secara otomatis membuat hidup bisa menjadi bermakna dan manusia akan merengkuh kebahagiaannya. Lebih baik meminum secangkir kopi daripada menghabisi diri sendiri. Mengapa demikian?

Manusia banyak terjebak pada penderitaan, lalu berlarian terbirit-birit pada kebahagiaan semu dan kembali kekenyangan menelan kepiluannya. Ia masih hidup dengan masa lalunya; ada pula yang hidup hanya untuk masa depannya, padahal—sudah saya tegaskan di atas— bahwa tak ada yang menjamin esok pagi kita masih bisa melihat semburat fajar dari arah timur.

Saat telah menyadari bahwa hidup ini adalah sebuah ketidakpastian dan keabsurdan yang kaffah, maka manusia tak harus bersikap denial dan tak perlu berlari ke mana-mana untuk menemukan makna serta kebahagiaan total. Manusia cukup menikmati, mengiyakan sekaligus menindak apa pun tentang hidup. Berkata “iya” bahwa hidup memang absurd dan melulu tak pasti; berkata “tidak” pada ketenggelaman dan mengakhiri hidup. Biar kehidupan itu sendiri yang mematikan manusia, karena manusia selalu—meminjam dari Heidegger—berada menuju kematian.

Menikmati hari ini, menikmati absurditas ini, merupakan bentuk menghidupi kehidupan dengan rasa syukur mendalam. Pasalnya kita akan menikmati setiap sudut-sudut dari segala yang terjadi dan siap berdiri tegak menantang segala kemungkinan dan ketidakpastian yang akan terjadi. Selain itu, kita juga perlu tetap merasa biasa-biasa saja dalam menghadapi apa pun yang terjadi. Seperti Mersault-nya Albert Camus, seperti itulah hidup yang memberontak, tenang, tenteram, dan bermakna dalam ketidakbermaknaannya.

Sesekali juga perlu kembali mendengarkan gaung Nietszche: “fatum brutum amorfati” (Cintailah takdir meski itu kejam). Hidup berjalan sewajarnya. Melakukan apa yang mesti dilakukan, berbahagia secukupnya, bersedih secukupnya, dan selalu biasa saja dengan kebiasaan maupun ketika menghadapi suatu ke-luar-biasa-an. Dengan begitu, kita akan lebih mudah tersenyum dalam nuansa melankolis, dan tak lupa, Albert Camus juga akan menemani kita dengan senyumnya.

Referensi:

Camus, A. (1999). Mite Sisifus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Camus, A. (2014). Orang Asing. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Moh. Ainu Rizqi

Pembelajar