Menggali Pemikiran Michael J. Sandel tentang Multikulturalisme dan Relevansinya di Indonesia
Mulitikulturalisme Michael J. Sandel
Michael J. Sandel merupakan merupakan salah seorang filsuf politik Amerika penganut paham komunitarianisme. Ia terkenal berkat kritiknya atas A Theory of Justice karya John Rawls. Argumen Rawls didasarkan pada pemikiran tentang “selubung ketidaktahuan” di mana tiap-tiap orang diminta untuk mempertimbangkan asas-asas yang akan menjadi landasan bagi masyarakat dengan syarat mereka tidak tahu-menahu dari awal posisi dan status mereka dalam masyarakat tersebut. Menurut Rawls, eksperimen ini diyakini akan mendorong tiap individu untuk memilih asas-asasnya secara rasional, adil, dan proporsional.
Teori Rawls tersebut lantas dikritik oleh Sandel. Menurutnya, Rawls melihat orang sebagai “pribadi yang tidak terbebani”. Rawls mengesampingkan aspek-aspek lain yang justru melekat dalam diri manusia secara intern. Menurut Sandel, manusia pada dasarnya telah terbebani oleh identitas-identitas diri, secara hipotetis ia tidak mungkin memiliki selubung ketidaktahuan itu. Identitas tersebut salah satunya muncul dari ikatan kekeluargaan, individu tidak mungkin bisa terlepas dari ikatan yang telah ada sejak ia lahir dan diperoleh tanpa adanya kesadaran.
Dalam buku Justice; What is the Right Thing to Do?, Sandel membahas berbagai isu terkait kesejahteraan, kebebasan, keadilan, moralitas, hingga politik. Pada bagian awal hingga tengah karyanya, Sandel memaparkan beragam problem yang dihadapi oleh masyarakat dengan paham utilitarianisme, libertarianisme, liberalisme klasik, liberalisme modern, hingga teori politik Aristoteles.
Sandel kemudian sampai pada kesimpulan mengenai konsepsinya sendiri tentang keadilan dan bagaimana hal itu dapat melahirkan dunia yang bermoral. Sandel menganjurkan teori versi komunitarianisme. Komunitarianisme sendiri merupakan aliran yang menyatakan bahwa tujuan negara adalah memelihara dan menciptakan komunitas warga negara. Komunitarianisme mendorong keterlibatan publik, kekeluargaan antarwarga negara, dan perasaan bahwa mereka adalah bagian dari proyek yang lebih besar.
Melalui teori komunitarianisme, Sandel berupaya menggabungkan elemen-elemen terbaik dari tiap filosofi yang didiskusikannya. Sandel menolak pandangan utilitarianisme yang mengesampingkan peran individu dalam suatu masyarakat. Filosofi Sandel melihat individu sebagai anggota komunitas yang secara inheren berharga tanpa memandang kesenangan dan penderitaan.
Di dalam pandangan libertarianisme, Sandel menolak deregulasi menyeluruh atas pasar bebas, Baginya, negara harus mengelola dan mengatur perilaku individu dan pasar untuk memastikan hal tersebut bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.
Sandel juga menolak pandangan liberalisme yang menyatakan bahwa kewajiban moral harus didasarkan pada akal. Baginya, manusia juga mempunyai kewajiban moral terhadap orang yang mereka cintai dan komunitasnya. Sandel menganjurkan tingkat dasar kesopanan, rasa hormat, dan hak pribadi bagi seluruh umat manusia.
Terakhir, Sandel menolak pandangan Aristoteles yang cenderung memaksa orang untuk menjalankan peran-peran tertentu dan mendistribusikan barang-barang sosial sesuai dengan prestasi dan moral. Sandel berpendapat, bahwa sudah sepatutnya bagi negara untuk menanamkan nilai-nilai kekeluagaan, solidaritas, dan partisipasi masyarakat. Hal tersebut menurutnya akan mampu mendorong setiap orang untuk dapat secara bebas berdebat mengenai cara terbaik dan paling bermoral untuk hidup dan mendistribusikan barang-barang sosial.
Konsep komunitarianisme yang kemudian membawa Sandel menuju pokok-pokok pikiran tentang multikulturalisme. Sandel berpendapat bahwa untuk bisa menciptakan masyarakat yang setara sekaligus bebas, negara harus menjadi garda terdepan. Negara memiliki tanggung jawab penuh untuk melindungi hak-hak minoritas dan memastikan akses yang setara. Kelompok minoritas harus bebas dan memiliki ruang untuk mengekspresikan pendapat, identitas, dan tradisi mereka. Negara perlu menyediakan dialog terbuka bagi masyarakat untuk menampung beragam pandangan yang berbeda untuk kemudian ditemukan keseimbangan antara toleransi dan kebebasan berekspresi, serta antara menghormati perbedaan budaya dan mempromosikan rasa kesatuan dan komunitas.
Dalam pandangan Sandel, keberagaman tidak dilihat sebagai penghargaan atas individu, melainkan sebagai sarana sosial yang berharga. Keberagaman ras, etnis, dan kelas akan memperkaya pengalaman belajar serta memperluas perspektif intelektual dan budaya. Melalui keberagaman pula, kelompok minoritas memiliki kesempatan yang sama untuk mengambil posisi kepemimpinan dalam peran publik. Dari situ dapat dilihat bahwa Sandel hendak memperjuangkan hak-hak individual dan mengintegrasikannya dengan nilai-nilai komunitas dalam masyarakat yang multikultural.
Multikulturalisme dan Pluralitas Agama di Indonesia
Keberagaman dan perbedaan seolah-olah menjadi momok serius yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan krisis dan perpecahan. Padahal, keduanya merupakan satu hal yang niscaya yang tak dapat dihindari. Keberagaman agama, sekte, dan aliran lahir dari perbedaan interpretasi kitab suci antar mujtahid satu dengan yang lain yang kemudian di dalam perkembangannya memunculkan berbagai jenis kelompok dan golongan.
Namun, keberagaman tak jarang justru menimbulkan rasa superioritas di antara masing-masing golongan. Mereka yang terjerat dalam fanatisme dan superioritas golongan seringkali tidak mau menerima golongan-golongan lain yang berbeda dengan mereka. Bagi mereka, satu-satunya jalan yang baik dan benar serta sesuai dengan kehendak Tuhan hanyalah jalan yang mereka tempuh. (Syamsuddin, 2000).
Menurut Levinas, seluruh kekerasan berakar dari pandangan filsafat Barat yang terpusat pada “ego” atau “diri”, dimana ia begitu terobsesi untuk memuaskan ego tanpa mempetimbangkan keunikan dari yang-beda (Audifax, 2010). Hal itu pula yang terjadi pada para fanatis. Berbekal perasaan bahwa dirinyalah yang paling benar ditambah hasrat untuk memuaskan sang ego, mereka tak jarang melontarkan kalimat-kalimat diskrimatif terhadap liyan. Mereka memandang dirinya berada satu derajat lebih tinggi (bahkan lebih) daripada liyan. Padahal setiap orang memiliki keunikannya masing-masing yang khas yang membuatnya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dengan demikian, diri dan liyan pada dasarnya identic, yang satu tidak bisa eksis tanpa yang lain. Agama sebenarnya telah mengajarkan hal tersebut sejak zaman dahulu lewat sabda-sabda para nabi. Namun realitanya masih terdapat banyak gap antara apa yang termaktub di dalam kitab suci dengan realita sosial kemasyarakatan.
Di Indonesia sendiri, kasus kekerasan atas nama agama menjadi momok yang cukup serius. Dari 2018 hingga 2021 tercatat 3.640 konten ujaran suku, agama, ras, dan antargolongan serta 171 peristiwa pelanggaran dan 318 tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bersama, mengingat secara konstitusional, kebebasan beragama menjadi salah satu poin penting dalam hak asasi manusia.
Kasus-kasus kekerasan agama di Indonesia tak hanya berlaku antarumat beragama, seperti misalnya penolakan izin pembangunan tempat ibadah, pembakaran dan bahkan pengeboman tempat ibadah, penistaan agama, melainkan juga terjadi pada umat dengan keyakinan beragama yang sama, namun memiliki identitas sekte maupun aliran yang berbeda. Fenomena-fenomena tersebut muncul tentunya sebagai konsekuensi dari keberagaman agama yang ada di Indonesia.
Multikulturalisme dan Pluralitas Agama di Indonesia dalam Perspektif Michael J. Sandel
Seperti halnya di negara multikultur yang lain, Indonesia dengan keragaman agama, suku, ras, dan budayanya memiliki tantangan yang cukup besar. Keragaman merupakan suatu hal yang niscaya, namun kerap kali menimbulkan konflik dan pertikaian.
Jika ditilik menggunakan pendekatan ala Sandelian, keragaman sejatinya merupakan anugerah, bukan masalah. Homogenitas atau keseragaman yang justru akan menimbulkan masalah yang serius. Kondisi yang homogen menarik masyarakat untuk berpikir sempit, tidak terbuka, dan cenderung intoleran. Berbeda halnya dengan masyarakat heterogen atau beragam yang dituntut untuk terbuka.
Masing-masing individu masyarakat memiliki kesempatan untuk memperkaya pengalaman belajar serta memperluas perspektif intelektual dan budaya. Oleh karena itu, keragaman itself sejatinya bukanlah masalah. Keragaman lebih mengarah pada tantangan bagi suatu negara perihal bagaimana menyikapinya. Melalui regulasi yang baik dan benar, keragaman akan mengarahkan masyarakat untuk hidup dalam kekayaan intelektual dan toleransi, begitu pula sebaliknya.
Hal tersebut juga sejatinya dapat diterapkan di Indonesia, di mana keragaman agama dapat menjadi ajang bagi masing-masing umat untuk saling merangkul, memberikan pendapat, serta memperkaya pengetahuan religiusnya. Hal ini tentunya tidak dapat lepas dari pemerintah sebagai pemegang kekuasaan. Negara harus bisa merajut keanekaragaman agama di Indonesia menjadi komoditas sosial yang bermutu. Semua agama memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan konstitusi. Tidak ada lagi diskriminasi terhadap agama minoritas.
Pengintegrasian poin-poin penting dalam masing-masing aliran liberalisme, libertarianisme, utilitarianisme, membuat proyek Sandel terkesan fleksibel dan dapat diterapkan ke dalam banyak aspek, termasuk agama.
Apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan konflik agama di Indonesia adalah dengan memperhatikan kebebasan masing-masing individu maupun kelompok agama agar sesuai tidak hanya sesuai dengan akal, namun juga sesuai dengan kewajiban moral terhadap orang yang mereka cintai maupun komunitas. Individu harus dilihat sebagai anggota komunitas yang secara inheren berharga. Kehidupan beragama harus didasarkan pada tingkat dasar kesopanan, rasa hormat, dan hak pribadi bagi seluruh umat manusia.
Selain itu, negara juga harus menanamkan nilai-nilai kekeluagaan, solidaritas, dan partisipasi masyarakat. Hal-hal tersebut yang kemudian akan mampu mendorong setiap orang untuk dapat secara bebas menyampaikan pendapat mengenai cara terbaik dan paling bermoral untuk hidup dalam keragaman agama.
Referensi:
Hinton T., 2001, “Sandel on Tolerance”. Analysis, 61 (4), 327–333. http://www.jstor.org.
Baker, Edwin, 1985, “Sandel on Rawls”. University of Pennsylvania Law Review, 133: 895-928 (1985). https://philpapers.org.
Syamsuddin, M. M., “Teologi Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer”. Jurnal Filsafat, Vol. 10, No. 2, 2000.
Audifax. 2010. Filsafat Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Sandel, Michael J., 1984, Liberalism and its Critics, New York: NYU Press.
_________, 2008, Justice: What’s the Right Thing to Do?, New York: Farrar, Straus and Giroux.
_________, “Populism, Liberalism, and Democracy”, Sage Journal, 2018.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST