Mengenal Kecerdasan Emosional

slider
08 Agustus 2022
|
2110

Peradaban manusia yang kian modern ternyata memiliki konsekuensi dibaliknya. Kemajuan yang ditandai dengan perkembangan teknologi memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia, tetapi juga menjadi titik kejatuhan manusia. Kemajuan yang diciptakan oleh manusia dengan memiliki kecerdasan IQ yang tinggi, bila tidak diimbangi dengan kecerdasan emosional akan timbul masalah.

Terkadang seseorang mudah dikuasai oleh emosi yang tersulut dari hal kecil, atau dengan mudah menghujat lewat sarana media sosial, atau mengutarakan kemarahan pada sesuatu hal yang belum memiliki kejelasan.

Kata Benjamin Franklin, “Apa pun yang dimulai dengan kemarahan, akan berakhir dengan rasa malu”.

Apa yang dikatakan Frenklin merupakan gambaran kongkret mengenai manusia yang tidak cerdas secara emosi. Kecerdasan emosional (EQ) memiliki peran penting dalam kehidupan sosial sebagai bagian dari interaksi antar individu.

Selain itu, EQ dua kali lebih penting dalam mempengaruhi kesuksesan dibadingkan dengan kecerdasan lainnya. Menurut Pak Fahruddin Faiz pada kesempatan Ngaji Filsafat sesi Kecerdasan Emosional (6/7), banyak orang yang memiliki kecerdasan IQ, tetapi tidak memiliki kecerdasan emosional. Walhasil akan menjadi bom waktu bagi individu yang tidak mampu mengontrol emosi diri.

Emosi dalam kenyataannya, sering membawa kita pada kehancuran. Emosi juga kadang membuat kita salah dalam mengambil berbagai keputusan yang penting dalam kehidupan. Selama ini, kecerdasan emosional seringkali disepelekan, dianggap tidak jauh lebih penting dibandingkan dengan kecerdasan IQ.

Dalam sebuah contoh kisah Genghis Khan tersulut emosi akibat burung Elang peliharaannya yang menghalagi sewaktu ia mengambil air di sebuah sungai. Karena sampai empat kali burung Elang terus menghalangi, Genghis Khan menjadi emosi, dan membunuh burung Elang karena dianggap mempermainkannya.

Padahal burung tersebut ingin memberikan isyarat kepada Genghis Khan agar tidak mengambil air sungai itu karena di dalamnya terdapat bangkai ular yang beracun. Mengetahui hal ini, penyesalan menghinggapi Genghis Khan karena telah membunuh burung Elang yang justru telah menolongnya itu.

Definisi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali diri dan memahami emosi-emosi dalam diri. Kecerdasan emosi juga bagian dari kesadaran diri yang akan membantu mengenali, menata diri, dalam hubungan dengan orang lain.

Kecerdasan emosional berada pada otak manusia, emosi sendiri terdapat pada otak bagian dalam yang disebut limbik sistem. Otak ini berfungsi mengatur tingkah laku, emosi yang di antaranya marah.

Dalam persoalan kecerdasan, IQ yang berkaitan dengan logika, analisis berperan hanya 4% dalam mempengaruhi manusia. Sedangkan pada EQ memiliki 40% pengaruh kepada manusia. Karenanya kecerdasan emosi jauh dianggap penting daripada kecerdasan intelektual.

Emosi secara bahasa berasal dari kata “movere” yang berarti bergerak atau menggerakkan. Menurut Daniel Goleman, emosi adalah sebuah perasaan dan pikiran yang terdapat pada manusia, yang merupakan keadaan biologis dan psikologis yang memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan.

Ada dasar yang berkembang dan menjadi perilaku manusia yang tidak disadari, bahwa manusia dalam keadaan tertentu sering merasa terlebih dahulu sebelum berpikir dan bertindak.

Misalkan suatu keadaan yang belum memiliki kejelasan informasi, langsung ia tanggapi dengan marah, sedih, takut, cinta, terkejut, jengkel, malu, dan sebagainya. Respons yang keluar terlihat pada perasaan suka atau tidak suka terlebih dahulu daripada berpikir untuk mengetahui kejelasan informasi.

Lima Kecerdasan Emosioanl menurut Daniel Goleman

Salah satu tokoh yang mencoba memetakan persoalan emosi yakni Daniel Goleman.  Goleman membagi kecerdasan emosional menjadi lima bagian, yaitu self-awareness, self-regulation, motivation, empaty, dan social skill.

Self-awareness adalah kemampuan mengenali dan memahami mood, emosi, dan dorongan jiwa serta efek pada orang lain.

Self-regulation adalah kemampuan mengontrol dan mengarahkan emosi serta dorongan jiwa yang negatif dan merusak kepada satu tindakan yang lebih baik.

Motivation adalah semangat untuk melakukan sesuatu tanpa melihat imbalan atau pamrih atas semua kegiatan yang kita lakukan dalam kehidupan sosial masyarakat.

Empaty adalah suatu kemampuan yang harus dimiliki untuk mampu memahami emosi orang lain.

Social skill adalah kemampuan yang penting untuk menata hubungan dan membangun jaringan dengan orang lain.

Cara untuk mengembangkan kecerdasan emosional yaitu dengan mengenal diri kita tanpa henti, memahami apa keinginan tujuan kita, menegaskan perilaku apa yang ingin kita jaga, mengidentifikasi perilaku apa yang ingin kita kembangkan, membiasakan diri dengan perilaku baru yang telah baik, dan menelaah buah atau efek dari apa yang kita lakukan karena pengaruh emosi.

Untuk mempu cerdas secara emosi, kita juga perlu memahami indikator apa saja yang membuat seseorang dikatakan cerdas secara emosi. Pertama, ialah mampu mengatasi stress yang berlebihan.

Kedua, mampu mengendalikan diri dalam setiap keadaan apa pun. Ketiga, mampu mengelolah suasana hati menjadi lebih baik.

Keempat, perlunya untuk memotivasi diri dengan banyak merenungi keadaan. Kelima, mampu memahami orang lain. Keenam, mampu menunjukkan pergaulan dengan baik terhadap lingkungan sosial.

Kesadaran Diri

Untuk mampu menjadi manusia insal kamil, tidak cukup hanya menguasai semua indikator seseorang telah cerdas secara IQ maupun EQ, melainkan juga membutuhkan kesadaran diri. Ada empat ciri seseorang untuk dikatakan telah menyadari dirinya.

Pertama, kemampuan mengenali dan memahami yang dirasakan, emosi, serta dorongan dalam diri. Kedua, menerima diri apa adanya. Ketiga, percaya diri sesuai dengan kenyataannya. Keempat, mampu menertawakan diri.

Ciri tersebut merupakan usaha untuk mencapai kecerdasan emosional yang benar-benar autentik tanpa adanya rekaya sosial. Maka dari itu, dibutuhkan strategi untuk meningkatkan kesadaran diri, di antaranya ialah dengan merenungi nilai-nilai hidup yang kita yakini, amati dari efek emosi yang kita lampiaskan, kenali siapa atau apa yang bisa menekan tombol emosi kita, cari feedback yang berkualitas, mencari teman yang dapat dipercaya, tetapkan tujuan peningkatan pemahaman diri, dan jangan menunggu atau menunda.

Kita juga dapat menata diri dengan, pertama, self-management, yakni mampu mengotrol atau mengarahkan dorongan dengan mood yang buruk/merusak, berpikir sebelum bertindak, terbuka terhadap masukan dan perubahan, mampu beradaptasi menghadapi keragaman.

Untuk itu, ada strategi untuk menata diri, yaitu kendalikan self-talk dengan berpikir dua kali sebelum bertindak dan pertimbangkan secara masak-masak, banyak tersenyum dan gembira, ambil pelajaran dari siapa pun dan apa pun yang kita temui.

Kedua, sosial-awareness (kesadaran sosial) yakni kemampuan memahami emosi orang lain yang berhubungan dengan kita (empati). Strategi untuk mencapai kondisi ini ialah dengan senyum, salam sapa, sopan, dan tingkatkan kemampuan dalam membaca isyarat emosi.

Ketiga, relationship management yakni menata hubungan dan menjalin jaringan: persuasif dan komitmen.

Aritoteles mengatakan bahwa, “Siapa pun bisa marah, [karena] itu mudah. Namun marah kepada orang yang tepat, dengan kadar yang tepat, waktu yang tepat, untuk tujuan yang tepat, dengan cara yang tepat, tidak dimiliki setiap orang, dan tidak mudah”.

Dari Daniel Goleman, “Kalau engkau tidak menguasai emosimu, tidak sadar tentang dirimu, tidak mampu menata tekanan emosimu, tidak memiliki empati dan tidak memiliki hubungan yang baik, maka sepintar apa pun dirimu, engkau tidak akan dapat melangkah jauh”.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Asman

Santri Ngaji Filsafat Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta