Mengatasi Patah Hati

slider
09 Maret 2023
|
1627

Yang terberkati, adalah yang hatinya bisa membengkok, karena mereka tidak akan pernah patah”—Albert Camus.

Sebagian orang memandang bahwa patah hati bukan merupakan perkara penting. Saat membicarakan patah hati, kita justru cenderung kurang serius dalam menanggapinya. Entah karena saking sering mengalami patah hati, atau karena patah hati merupakan hal yang jamak terjadi, tak jarang kita berkelakar, “Ah, gitu aja nangis. Tinggal cari lagi, kok.

Tanpa sedikit pun menyadari, bahwa sebenarnya patah hati merupakan satu peristiwa kecil dalam hidup, yang pengaruhnya lumayan cukup memilukan bagi (dunia) kejiwaan. Berapa banyak jumlah orang yang bunuh diri karena patah hati? Belum lagi, bila dilipatgandakan dengan jumlah orang yang terapi ke psikiater karena diputus cinta, jadi berapa?

Tak pelak maka bergaung sebuah adagium: “Yang tak merasakan, tidak akan paham. Yang tak mengalami, tidak akan mengerti”. Mungkin sebagian kita memang tidak atau belum pernah merasakannya. Mungkin juga kita melewatkan satu hal, bahwa dampak patah hati mengobrak-abrik kekokohan mental dan mengakibatkan gejala traumatik.

Trauma mendalam akibat patah hati, bisa saja melahirkan emosi negatif yang berujung menyalahkan diri sendiri. Selain itu, trauma batin juga mendorong kedirian kita untuk melampiaskannya pada tindakan yang menyimpang, seperti meminum miras, ngepil, narkoba, hingga gantung diri.

Dalam bahasa psikologi populer, kecenderungan mental tersebut diklaim sebagai dampak dari post break up syndrom, yakni sebuah keadaan ketika seseorang merasa putus asa, setelah mengalami pupus ambyar karena cinta. Bukankah dewasa ini buku-buku bernada self-improvement cukup laris? Artinya, hal itu menunjukkan bahwa berdamai dengan diri sendiri itu tidak mudah. Apalagi berdamai selepas patah hati.

Oleh karenanya, rasa patah hati merupakan satu peristiwa yang begitu sentral, yang menyakitkan bukan saja pada saat patah hati, melainkan juga pada gangguan jiwa yang timbul setelahnya: depresi tingkat mendalam, kecemasan, kepala pusing, debar jantung kian cepat, hingga terpicunya kematian.

Dalam gelaran Ngaji Filsafat ke-383 edisi Psychology of Broken Heart, Pak Faiz memaparkan sekian hal terkait tahap-tahap efek patah hati secara hirearkis.

Pertama, kecemasan kronis. Kecemasan kronis di sini diartikan sebagai rasa cemas yang timbul karena takut kehilangan. Selain itu, serangan pertama saat patah hati mendorong mekanisme tubuh yang bernama fight or flight mulai bekerja.

Fight or flight merupakan istilah dalam khazanah psikologi yang dicetuskan oleh Walter Bradford Cannon untuk menggambarkan keadaan (respons) seseorang ketika menghadapi marabahaya. Saat marabahaya yang berupa patah hati itu menghadang, respons “melawan” atau “berlari” tersebut akan aktif. Alhasil, tubuh kita menganggapnnya sebagai ancaman, sehingga membuat kita dirudung cemas.

Jika kecemasan hanya dibiarkan saja, hal itu bisa saja mencelakakan diri kita sendiri. Imbasnya dapat menjalar terhadap kesehatan tubuh, yang antara lain ciri-cirinya adalah berupa rasa gemetaran dalam temperatur yang tinggi, jantung berdebar-debar, rasa mual, hingga depresi yang tak terkontrol.

Parahnya, jika keempat hal itu tetap dibiarkan—sebagaimana yang kedua—secara tidak sadar akan membuat kualitas imun tubuh menurun dalam tempo drastis. Betapa memilukan! Hanya karena patah hati, kadar imun dalam tubuh kita akan menurun, selain disebabkan karena rasa cemas yang meninggi, juga disebabkan karena meruapnya hormon kortisol.

Saat seseorang mengalami patah hati, hormon kortisol (stres) memaksa beberapa bagian tubuh tak berjalan sesuai kodratnya. Akibatnya, ia memicu naiknya kadar gula dalam tubuh, tekanan darah tinggi, meningkatnya jumlah lemak, hingga hilangnya kekuatan otot. Pada puncaknya—sebagaimana yang ketiga—mafsadat-mafsadat tersebut memicu broken heart syndrome, yakni penyakit jantung yang berlangsung secara sementara.

Bermula dari patah hati, lalu cemas mendalam, disusul melemahnya jantung akibat stres yang tak terukur; hal itu membuat ritme jantung kita berdetak tidak sebagaimana mestinya. Disusul pula rasa mual, peredaran darah terhambat, hingga melemahnya otot saraf; dan akhirnya, gejala broken heart syndrom itu memicu kematian dini.

Menyikapi Patah Hati

Setelah menyadari bahwa patah hati bukan saja menyebabkan kepiluan, tetapi juga kematian, kini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengatasi agar patah hati tak sampai merenggut nyawa?

Kenyataannya, proses setelah patah hati, lalu move on, hingga tahap penerimaan (kesembuhan) tidak terjadi secara ringkas. Proses penerimaan pasca patah hati berlangsung lumayan cukup lama.

Sebagaimana diungkapkan oleh Pak Faiz di sela perhelatan Ngaji Filsafat: “secepat-cepatnya adalah dalam jangka tiga bulan”. Setelah sekira sembilan puluh hari terlewati, barulah luka yang menganga akibat patah hati itu akan sembuh dengan sendirinya. Sedangkan tahap-tahapnya, mulai dari patah hati hingga penyembuhannya, adalah sebagai berikut.

Pertama, shock, kaget. Mulanya diri tersentak karena tidak kepikiran patah hati akan terjadi. Kedua, menolak (denial). Kita tidak menerima keadaan itu, karena patah hati bukan merupakan hal yang diinginkan. Ketiga, anger, kita marah berapi-api lantaran merasa pamrih, sejauh ini sudah banyak berjasa bagi seseorang.

Keempat, bargaining, yakni menegoisasi barangkali masih ada sisa harapan. Kelima, depression, merasa depresi, sebab kenangan bersama seseorang sebegitu beragam, hingga membuat diri terus saja memikirkannya. Keenam, acceptance, pada ujungnya, lambat-laun kita akan menerimanya.

Sampai pada tahapan kesedihan tersebut, saya teringat film Spider-man I (versi Tobey Maguire, 2002). Dalam film itu tahap-tahap kesedihan yang senada juga tergambar secara visual. Adalah pada scene ketika Norman Osborn a.k.a Green Goblin sebagai pemilik perusahaan Oscorn, dipecat oleh para karyawannya. Dalam menyikapi hal itu, ia memerankan satu scene yang cukup filosofis.

Kendati hanya dalam sekian detik, namun bila kita perhatikan lebih jeli, Norman Osborn sebetulnya tengah memerankan gerak-gerik tahapan kesedihan. Awalnya, ia tidak menyangka (denial) bila perusahaannya akan bangkrut. Lalu sambil berdiri, ia berteriak memaki-maki (angry). Ia pun sempat bernegosiasi (bargaining), walau salah satu karyawannya bersikukuh tidak menyetujuinya. Kemudian, ia menunduk seolah merasa depresi (depression), hingga pada ujungnya ia duduk dengan tenang: menerimanya (acception).

Tentu dalam konteks film itu kejadiannya dipersingkat. Tidak demikian halnya dalam dunia nyata yang membutuhkan proses secara sinambung. Kata Pak Faiz, “(Tentu) masing-masing setiap tahapan kesedihan itu membutuhkan waktu dalam prosesnya.” Dan yang terlama, biasanya terjadi pada tahap keempat (bargaining), menuju kelima (depression), lalu menuju keenam (acception).

Pada ujungnya, sesakit apa pun rasa yang kita alami, mau tak mau kita “dituntut” untuk menerimanya dengan legowo. Legowo, menurut pitutur orang Jawa, diambil dari kata lego (yang artinya luas) dan dowo (yang bermakna memanjang). Itu artinya, orang yang legowo adalah ia yang menerima hidup dengan lapang, tak peduli sebesar besar penderitaannya.

Pitutur legowo mengajak kita untuk menerima dan mengikhlaskan segala bentuk kekejian dan kekejaman hidup, baik dalam ranah batin maupun mental, tak terkecuali patah hati. Legowo juga seirama dengan ungkapan Victor Frankl yang berkata “ya” terhadap seluruh penderitaan, kepahitan, dan rasa sakit; apa pun yang terjadi.

Lagi pula, patah hati dan segala mafsadat yang mengiringinya itu, hanya akan terjadi bila kita terlampau mengeratkan tali cinta kepada seseorang. Dalam arti, terhadap seseorang cinta kita begitu besarnya, dan oleh karenanya butuh waktu lama untuk melepasnya. Dan jika kita memang demikian serius mencintainya—seperti kata Jalaluddin Rumi—bukankah puncaknya adalah justru mengikhlaskannya?

Wallahu Alam

Referensi:

Ngaji Filsafat ke-383 edisi Psychology of Broken Heart, bersama Dr. Fahruddin Faiz, bertempat di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta, pada 1 Februari 2023.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Taufik Ismanto

Peserta kelas menulis menemui senja di MJS jilid#5