Mengagumi Kanjeng Nabi

slider
15 Oktober 2021
|
1417

Barangkali segala tulisan dan ungkapan yang mewicarakan Kanjeng Nabi Muhammad selalu diwarnai dengan segala perasaan yang mungkin dapat diekspresikan oleh manusia manapun. Entah itu dalam wujud salawat, riwayat hadits, atau bahkan bisa kita jumpai Kanjeng Nabi di karya-karya ilmiah para intelektual Barat.

Saya sendiri bahkan seringkali diliputi perasaan kebingungan ketika berhadapan dengan momen-momen saat Kanjeng Nabi ‘hadir’, baik dalam renungan terdalam maupun pembicaraan dengan orang-orang.

Bagaimana tidak bingung, ketika momen-momen tersebut, perasaan saya seringkali berubah-ubah. Sekali waktu pernah sangat bangga kepada Kanjeng Nabi dengan segala prestasinya, marah ketika Kanjeng Nabi dihina, merasa bodoh dihadapan sabda-sabdanya, atau bahkan air mata saya tiba-tiba mengalir ketika mahalul qiyam dikumandangkan. Tentu ini tidak seberapa, karena di luar sana masih banyak orang yang memiliki perasaan dan pengalaman lebih intim dengan Kanjeng Nabi.

Saya pernah merekam ingat saat duduk bersila di ngaji filsafat, Pak Faiz pernah bertutur kenapa Kanjeng Nabi tidak pernah menjadi tema dalam ngaji filsafat?

“…karena Kanjeng Nabi itu hidupmu”, tutur Pak Faiz. “Kanjeng Nabi tidak hanya dipelajari atau dikaji dalam ngaji saja, akan tetapi Kanjeng Nabi mestinya senantiasa hadir dan menjadi sebuah pengalaman sehari-sehari yang merasuk dalam rasa dan jiwa nurani kita”, imbuhnya.

Saya tentu saja menunduk malu saat mendengar dan mengingat tuturan itu. Bahkan pernah suatu ketika ditanya oleh teman, bagaimana jika saya bertemu dengan Kanjeng Nabi? Dengan segala hormat saya menjawab, “Tentu saja malu, melihat diriku yang begini”.

Saya juga pernah memberi mata pada salah satu film tentang Kanjeng Nabi yang disutradarai oleh Majid Majidi berjudul Muhammad : The Messenger of God.  Film ini dibuat untuk melawan Islamofobia di Barat dengan menggambarkan sosok Kanjeng Nabi yang welas asih. Tentunya film produksi Iran tersebut tidak menampilkan rupa utuh dari Kanjeng Nabi.

Di film itu ada adegan yang membuat air mata saya mengalir dan dada terasa sesak: ketika ibunda Kanjeng Nabi, Siti Aminah wafat. Adegan itu memperlihatkan seorang wanita yang berlari ke Abwa’ menghampiri Abu Thalib sambil berteriak dan menangis: “Berita duka!Berita duka! Aminah, dia telah meninggal. Muhammad tak sadarkan diri”. Saya masih berlinang air mata tatkali menonton adegan itu berulang kali.

Umat Islam pada umumnya tentu paham bahwa Kanjeng Nabi adalah sosok manusia paripurna (insan al-kamil) dan makhluk Allah yang terbaik (khair al-khalq Allah). Ketika kita menyebutnya sebagai manusia sebagaimana kita, Kanjeng Nabi masih dimuliakan dengan predikat sebagai penerima wahyu (basyarun mitslukum yuhaa ilayya) atau manusia yang tidak seperti manusia pada umumnya (basyarun la ka al-basyar).

Kanjeng Nabi di Kitab Sullam at-Taufiq

Di dalam kitab Sullam at-Taufiq karya Syekh Abdullah bin al-Husain bin Thahir Ba’lawi yang saya ngajikan bersama teman takmir di Masjid Jendral Sudirman, saya menemukan syarh dari kitab tersebut yakni, Mirqat Shu’ud at-Tashdiq fi Syarh Sullam at-Taufiq karya Syekh Imam Nawawi Al-Bantani.

Di syarh itu, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa penduduk surga semua berbahagia karena akan merasakan kenikmatan bertemu dengan Kanjeng Nabi. Bahkan diibaratkan Kanjeng Nabi laksana matahari yang menyinari dunia.

Jika kita sedikit berefleksi, bagaimana jadinya jika bumi yang kita tinggali sekarang tanpa adanya matahari? Barangkali akan sama jika kita di surga namun tidak bertemu dengan Kanjeng Nabi.

Imam Nawawi lalu menjelaskan bahwa mengimani Kanjeng Nabi juga termasuk mengimaninya sebagai pengkhatam para nabi (Khatam an-Nabiyyin) dan tuan seluruh anak cucu Adam (Sayyid walad Adam ajma’in).

Khatam an-Nabiyyin karena syariat yang dibawa Kanjeng Nabi menjadi syariat terakhir dan penyempurna dari syariat para nabi terdahulu. Secara hakikat, Nur Muhammad adalah ciptaan Allah yang paling awal. Maka Kanjeng Nabi adalah ‘yang pertama’ dan ‘yang terakhir’. Lebih jauh lagi, Kanjeng Nabi adalah alasan atau maksud diciptakannya alam semesta ini.

Ada yang lebih menggetarkan hati lagi ketika Kanjeng Nabi bersabda: “Aku adalah tuan anak cucu Adam, tidak ada unsur kesombongan bagiku”.

Imam Nawawi lalu mengisahkan saat Kanjeng Nabi bersua dengan Nabi Adam ketika isra’ mi’raj. Nabi Adam menyambutnya dengan “Marhaban, Ya Ibna Shuratii wa Aba Ma’naya (Selamat datang, wahai anak formaku dan bapak maknaku)”.

Sebagaimana kita ketahui Nabi Adam yang menjadi bapak dari seluruh umat manusia, ternyata menyambut Kanjeng Nabi sebagai anak sekaligus bapak. Anak yang dimaksud di sini adalah ‘anak bentuk’ atau secara lahiriah bahwa Kanjeng Nabi adalah manusia dan anak keturunan dari Nabi Adam.

Namun Kanjeng Nabi sendiri menjadi ‘bapak makna’ dari Nabi Adam karena secara ruhaniah, Nur Muhammad ada sebelum terciptanya alam raya, begitupula dengan Nabi Adam. Betapa indahnya riwayat ini, ketika Kanjeng Nabi adalah ‘anak bentuk’ sekaligus ‘bapak makna’, manusia bercahaya, zahir sekaligus batin.

Saya rasa dari sekian ekspresi dan perasaan kita kepada Kanjeng Nabi, baik yang kita tunjukkan melalui salawat, film, dan buku atau kitab barangkali akan sangat disayangkan jika kita masih berkutat pada bentuk pemaknaan Kanjeng Nabi dari sisi inderawi semata. Pun mestinya segala ekpresi dan perasaan kita ke Kanjeng Nabi bisa sampai pada tataran makna atau ruh, sebagaimana Kanjeng Nabi yang ‘anak bentuk’ sekaligus ‘bapak makna’.

Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip penuturan Mohammed Iqbal tentang Kanjeng Nabi dalam Javidnamah: “Kau dapat menolak Tuhan, tapi kau tak dapat menolak Nabi”.

Shalla Allahu ‘ala Muhammad!


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ikhbar Fiamrillah Zifamina

Masih bergelut dengan tugas akhir kuliah