Menerjemahkan Hidup Melalui Bahasa Rasa

slider
08 Juli 2025
|
602

Judul: Terjemah Rasa 2: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan | Penulis: Fahruddin Faiz | Penerbit: MJS Press, 2025 | Tebal: 114 halaman | ISBN: 9786238967704

Dunia yang makin gaduh oleh informasi dan suara-suara yang saling bersahutan dalam jaringan, kita sering kehilangan ruang untuk mendengarkan “suara hati” sendiri. Riuhnya dunia nyata dan maya kerap menjadikan kita lupa untuk berefleksi.

Buku Terjemah Rasa 2: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan karya Dr. Fahruddin Faiz hadir tidak sekadar sebagai bacaan, melainkan sebagai sebuah oasis refleksi yang menenangkan. Ia bukan sekadar buku, tetapi semacam cermin batin yang memantulkan kembali potret perasaan kita: tentang hidup yang kadang berat, tentang kebersamaan yang dirindukan, dan tentang rindu yang sering tak sempat diucapkan.

Sebagai seorang dosen di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga sekaligus pengasuh Ngaji Filsafat di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, Dr. Fahruddin Faiz telah dikenal luas karena cara penyampaiannya yang lembut, reflektif, dan penuh makna. Terjemah Rasa 2: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan melanjutkan spirit itu dalam bentuk tulisan, sebagai kelanjutan dari buku pertamanya Terjemah Rasa: Tentang Aku, Hamba, dan Cinta (2011) yang juga telah banyak menyentuh hati pembaca. Diterbitkan oleh MJS Press pada Februari 2025, buku ini menawarkan oase refleksi di tengah padatnya hari-hari.

Potret Hidup dalam Enam Sudut Pandang

Buku ini terstruktur apik dalam enam bagian, masing-masing menawarkan perspektif unik tentang berbagai aspek eksistensi. Struktur ini memudahkan pembaca untuk menyelami satu demi satu tema, memberikan kesan seperti mengikuti sebuah sesi Ngaji Filsafat pribadi yang dituliskan.

Bagian 1: Hidup – Perjalanan yang Sarat Makna

“Hidup adalah perjalanan penuh warna, seperti pelangi yang muncul setelah hujan reda.” Melalui bagian “Hidup”, penulis tidak hanya menggambarkan perjalanan yang tidak selalu mulus, tetapi juga bagaimana setiap liku dan kesalahan justru menjadi fondasi makna. Ia menekankan bahwa alih-alih menghindarinya, luka adalah guru yang esensial, dan setiap napas adalah undangan untuk terus berkembang.

Pendekatannya yang menenangkan ini menawarkan perspektif segar bagi kita yang merasa terbebani oleh ketidakpastian hidup, mengingatkan kita bahwa keindahan hidup justru terletak pada penerimaan seluruh spektrum pengalaman, baik suka maupun duka.

Bagian 2: Kebersamaan – Rumah bagi Hati yang Letih

“Kebersamaan adalah benang halus yang merajut hati, tempat tawa dan harapan bersua.” Bagian ini menggambarkan betapa berharganya hadirnya orang lain dalam hidup kita. Penulis secara lembut mengingatkan bahwa kebersamaan, meski sederhana, bisa menjadi penawar sepi dan penguat jiwa. Dalam tawa yang dibagi, dalam waktu yang diluangkan, kita menemukan makna hidup yang hangat dan menguatkan.

Di tengah dunia yang makin individualistis, “Kebersamaan” adalah pengingat vital bahwa kita tak pernah benar-benar sendiri. Ia menegaskan pentingnya menjalin koneksi manusia yang autentik sebagai jangkar di lautan kehidupan.

Bagian 3: Belajar Bersama – Saling Menerangi dalam Perjalanan

“Dalam setiap pelajaran, kita saling memberi cahaya, dan menemukan keindahan dalam perjalanan menuju dunia yang lebih terang.” Tidak semua pelajaran datang dari buku, banyak justru lahir dari pertemuan dengan sesama. Di sini, penulis mengajak kita merenungi makna belajar bersama. Seperti bintang yang lebih terang ketika bersinar berdampingan, kita pun tumbuh lebih kuat ketika saling menemani dan berbagi pemahaman.

Bagian 4: Kesendirian – Teman yang Mengajarkan Kedewasaan

“Tapi bagiku, kesendirian adalah teman yang mengajarkan kedewasaan. Aku tidak merasa kehilangan apa-apa; justru aku merasa menemukan segalanya.” Bagian ini menyentuh sisi yang kerap ditakuti banyak orang tentang “Kesendirian”. Namun, penulis membalik perspektif itu. Ia menyebut kesendirian sebagai sahabat yang jujur. Dalam diam, kita belajar tentang makna diri. Dalam sepi, kita mendengar suara hati. Kadang, justru saat sendiri, kita menemukan apa yang selama ini hilang dalam keramaian.

Bagian 5: Kerinduan – Mencintai Tanpa Tapi

“Ketahuilah, aku tidak hanya mencintai bagian terbaik dari dirimu. Aku juga mencintai sisi rapuhmu.” Rindu bukan hanya soal jarak, tetapi juga soal kedalaman rasa. Dalam bagian ini menunjukkan bahwa mencintai seseorang berarti menerima seluruh dirinya—baik yang kuat maupun yang rapuh.

Mencintai bukan hanya soal menerima yang terbaik, tetapi juga memeluk kekurangan. Di sinilah cinta menjadi nyata—ketika ia hadir bersama kesabaran dan penerimaan. Ini adalah refleksi mendalam tentang cinta tanpa syarat, sebuah konsep yang menantang kita untuk melihat melampaui ilusi kesempurnaan.

Bagian 6: Suara Hati Seorang Ayah – Doa yang Tak Pernah Padam

“Sepahit apa pun jalanmu, Seruntuh apa pun harapanmu, Ayah ini ada dibelakangmu.” Bagian penutup ini adalah suara yang paling lirih, namun paling kuat. Suara seorang ayah yang mungkin tak banyak bicara, namun hatinya penuh dengan cinta dan doa.

Penulis menulis bagian ini seperti bisikan lembut seorang ayah kepada anaknya, bahwa apa pun yang terjadi, ada cinta dan doa yang diam-diam menjagamu. Sebagai pembaca, bagian ini terasa sangat personal dan mengharukan, seolah kita ikut merasakan kehangatan dukungan yang tak tergoyahkan. Ini adalah pengingat universal akan kekuatan cinta keluarga yang abadi.

Sebuah Oasis Refleksi di Tengah Keriuhan

Terjemah Rasa 2: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan bukanlah bacaan yang buru-buru dilahap. Ia seperti secangkir teh hangat di pagi hari yang perlu dinikmati perlahan, dicicipi maknanya satu per satu. Dengan bahasa yang sederhana namun menyentuh, Dr. Fahruddin Faiz berhasil menyusun untaian refleksi yang tidak hanya memberi pemahaman, tetapi juga ketenangan. Meskipun beberapa bagian mungkin terasa lebih personal bagi sebagian pembaca, secara keseluruhan buku ini sukses menghadirkan ruang aman untuk merenung dan berdamai dengan diri.

Kiranya penting untuk juga menyoroti potensi tantangan. Meskipun kesederhanaan adalah kekuatan buku, bagi pembaca yang mencari argumen filosofis yang sangat detail atau analisis kasus yang konkret, buku ini mungkin terasa kurang mendalam. Fokus utamanya adalah pada refleksi pribadi dan introspeksi, yang mungkin tidak cocok untuk semua jenis pembaca atau kebutuhan. Terkadang, pesan-pesan yang disampaikan terasa agak repetitif, namun hal ini bisa juga dilihat sebagai upaya penulis untuk mengukuhkan poin-poin penting.

Gaya penulisan yang reflektif dan penuh empati menjadikan buku ini sangat cocok untuk siapa saja yang sedang mencari arah, butuh pengingat akan esensi hidup, atau sekadar ingin diam sejenak dan merenung.

Buku ini bukan untuk menemukan solusi instan, melainkan untuk berdamai dengan perasaan, mendengar suara hati, dan menafsirkan hidup dengan cara yang lebih dalam dan penuh kesadaran. Ia menawarkan sebuah oasis untuk jiwa, sebuah tempat di mana pembaca bisa menemukan kembali ketenangan di tengah hiruk-pikuk kehidupan.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Lu’lu Faizzatuzzahro

Santriwati Ngaji Filsafat