Meneguhkan Iman, Moralitas, dan Kesalehan Sosial

slider
slider
17 Maret 2020
|
1178

Judul: Ethiosophia; Sebuah Tafsir Falsafi, Menembus Batas Rasionalitas | Penulis: Fawaid Abrari | Penerbit: Belibis Pustaka, 2019 | Tebal: 212 halaman | ISBN: 978-602-5508-56-1

Di era tsunami informasi ini, kita semakin banyak disibukkan dengan berbagai persoalan kemanusiaan yang tidak ada habisnya. Berbagai bencana sosial terjadi, mulai dari perundungan, diskriminasi, pelecehan seksual, bencana alam, bahkan peristiwa kerusuhan yang terjadi di India sejatinya berasal dari kesalahan manusia itu sendiri. Kesalahan manusia ini didasari pada krisis iman dan moralitas dalam memanifestasikan realitas hidupnya.

Secara individual, manusia masih terlalu fokus untuk memenuhi target-target duniawi dan banyak mengenyampingkan persoalan yang lebih esensial, seperti memperbaiki kualitas diri dengan mereformasi iman dan moralitas. Padahal dengan hal tersebut, manusia bisa mengaktualisasikan kesalehan sosial.

Dalam konteks ini, buku yang ditulis oleh Fawaid Abrori menjadi oase baru dalam kancah pemikiran keislaman. Sebuah tawaran epistemologis untuk memperbaiki moralitas dan memperkuat iman insan di tengah gempuran teknologi dan informasi. Karena di ruang publik saat ini manusia-manusia modern banyak yang mengalami dekadensi moral.

Berbicara moralitas, bahasan dalam buku ini merujuk kepada Nabi Muhammad sebagai figur sentral dan merupakan representasi moral yang paling ideal (hlm. 150). Di tengah banyaknya figur ulama yang kembali keharibaan-Nya, dari mulai Gus Dur, Kiai Maimun Zubair hingga Gus Sholah, menjadi refleksi penting untuk memperhatikan masa depan keimanan dan moralitas manusia. Tanpa seorang figur, kita akan merasakan kekeringan spiritual untuk menuju kebahagiaan yang hakiki.

Selain itu, buku ini juga berupaya untuk menjembatani persoalan antara iman dan rasionalitas. Kemudian metode tafsir falsafi yang berguna untuk merelasikan dengan cermat ajaran tasawuf dalam tradisi klasik dengan tradisi keilmuan filsafat. Ethiosophia menjadi sebuah diskursus baru dalam memadukan tradisi sufistik-etik dengan filsafat praktis (hlm. 14).

Pembahasan dalam buku membagi topik ethiosophia ini menjadi tiga fokus kajian. Pertama, memaparkan dasar argumentasi pemikiran ethiosophia yang dibangun dengan kajian tradisi tasawuf yang merupakan jalan bagi manusia untuk menempuh dan sampai pada apa yang oleh Immanuel Kant sebagai akal budi murni (pure reason). Kedua, buku ini memuat tentang fondasi ethiosophia yang dipengaruhi oleh Kant, sebagai salah satu filsuf etika Barat terkemuka. Bagian terakhir, adalah basis episteme ethiosophia sebagai tawaran logis dan memperbaiki kerumitan logika tasawuf yang seringkali gagal menelurkan pemahaman rasional tentang sesuatu yang dogmatis dan mistis dalam beragama. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia, harus diupayakan menjadi landasan rasional-etis untuk menelurkan pemahaman keagamaan yang moderat.

Dari buku ini bisa kita lihat bahwa Abrori adalah seorang Kantian—sebutan untuk pengikut pemikiran Immanuel Kant—yang pemikirannya seringkali dipakai untuk mengkaji etika serta sekaligus menjadi pisau bedah dalam menganalisis iman dan moralitas. Iman bermakna sebagai hubungan romantis manusia dengan tuhannya dan etika sebagai hubungan harmonis antara manusia dan realitasnya. Dalam perspektif ethiosophia beragama bukan suatu yang memaksakan, tetapi beragama merupakan bentuk keniscayaan diri untuk mencapai suatu kebahagiaan ruhani.

Aktualisasi kesalehan sosial

Ethiosophia menjadi jawaban kecil atas fenomena krisis iman dan dekadensi moral manusia milenial. Hal ini senada dengan kritik Erich Formm dalam bukunya The Revolution of Hope: Towards a Humanized Technology, bahwa manusia telah banyak yang kehilangan kendali nalar filsafat, etika, dan agama. Manusia banyak yang bergerak mirip sebuah mesin, hanya digerakkan oleh kepentingan materi dan indrawi. Kekeringan basis ruhani (iman) yang kemudian termanifestasi menjadi gerak laku kehidupan.

Berbicara kehidupan sosial, kita sejatinya tidak pernah lepas dari peran orang lain di sekitar kita. Hal ini menuntut manusia harus mengaktualisasikan spirit kesalehan sosial, tanpa melihat latar belakang seseorang. Karena kesalehan sosial tidak hanya bersifat parsial untuk kelompok tertentu, tetapi lebih bersifat universal.

Sejalan dengan itu, saat ini iman dan moralitas menjadi barang yang mahal dan cukup langka. Jika seseorang memiliki keduanya dengan kualitas yang baik, maka akan mampu mewujud menjadi kesalehan individual yang kemudian termanifestasi menjadi kesalehan sosial. Meskipun kesalehan individual tidak selalu berbanding lurus dengan kesalehan sosial. Tetapi setidaknya buku Ethiosophia ini mampu menghantarkan kepada publik pentingnya meneguhkan iman dan moralitas.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk menguatkan basis-basis nilai dalam diri manusia mengalami reduksionis, kita kehilangan banyak figur sebagai representasi logis dalam soal iman dan moralitas yang kemudian banyak meninggalkan sebagai anak bangsa yang krisis ruhani.

Dengan berbagai tema baru yang menarik tersaji dalam 212 halaman, tetapi saya memiliki catatan kritis terhadapnya. Buku ini kurang mengelaborasi secara kritis-reflektif baik dari Al-Qur’an dan teks Barat terhadap perusakan lingkungan, yang sebenarnya juga menjadi bagian dari persoalan iman dan moralitas. Kerusakan lingkungan yang terjadi menandakan bahwa manusia sudah tidak beriman pada janji Tuhan (hukuman) terhadap para pembuat kerusakan di muka bumi, dan bobroknya moralitas manusia yang serakah dalam mengekspolitasi lingkungan tanpa ada strategi seperti sustainable development.

Akhirnya, buku ini setidaknya dapat menjadi terobosan untuk menguatkan sisi yang lebih mendalam dari manusia itu sendiri. Iman dan moralitas merupakan dualisme yang harus dikonstruksi dengan baik, keduanya mampu mewujud menjadi aktualisasi kesalehan sosial di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, persoalan kemanusiaan yang terjadi akhir-akhir ini bisa menjadi alarm untuk semakin menguatkan basis spiritual manusia, sehingga mampu diwujudkannya di tengah krisis kemanusiaan yang terjadi di muka bumi.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ferdiansah

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta