Mencari Kunci Kebahagiaan

23 Maret 2018
|
1271

Malam bersimbah cahaya purnama. Nasrudin menghilir-mudiki pekarangan rumahnya. Kadang, dia menggaruk-garuk kepala. Menyibak gerumbul lalang di pojok pekarangan. Berjalan pelan, tajam meneliti bumi. Apa yang sedang terjadi? Itulah pertanyaan yang berkelebat di benak tetangganya. ÔÇ£Ustaz,ÔÇØ begitu dia memanggil Nasrudin, ÔÇ£apa yang sedang kau lakukan?ÔÇØ ÔÇ£Mencari kunci rumahku,ÔÇØ jawab Nasrudin. ÔÇ£Hilang di mana?ÔÇØ ÔÇ£Di dalam rumah.ÔÇØ ÔÇ£Lho, kenapa kau cari di pekarangan?ÔÇØ ÔÇ£Di sini terang. Rumahku gelap. Tidak berlampu.ÔÇØ Seperti halnya cerita sufi lain yang mengandung berlapis-lapis makna, anekdot Nasrudin ini bisa ditafsirkan ke mana pun, dari tafsir yang paling ÔÇ£beratÔÇØ hingga tafsir yang paling ringan. Saya sendiri menafsirkannya secara ringan saja. Pesan anekdot ini jelas dan sederhana. Kita adalah Nasrudin yang mencari kunci di area terang luar rumah meskipun kunci itu hilang di area gelap dalam rumah. Kita mencari kebahagiaanÔÇöyang dalam agama dikonkretkan menjadi al-jannah, surga, kahyangan, kasuwungan, atau nirwanaÔÇödi luar rumah hati. Mencari kebahagiaan di luar rumah hati, apakah maksudnya? Kita mencari kebahagiaan dengan bekerja untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, mencari kekasih yang memenuhi ÔÇ£standarÔÇØ pribadi, mengejar teman yang selalu memberi perhatian, pengakuan, dan pujian, berperang demi memperoleh kenikmatan surga, belajar agar diakui pintar, beribadah supaya disanjung sebagai orang saleh, mengajarkan ilmu agama demi mencari popularitas, penghormatan, dan penghasilan, mengenakan hijab bercadar untuk mempertontonkan kesucian diri, bermedia sosial supaya diapresiasi orang lain, belanja untuk membuktikan status dan gengsi, berwisata untuk mendapatkan kegembiraan dan bahan pamer, atau mendaki gunung untuk membanggakan kehebatan, kekuatan, ketangguhan, dan kepahlawanan pribadi. Kita mencari kebahagiaan di luar diri. Padahal, kebahagiaan adalah harta karun yang terpendam sebagai rahasia hati. Apabila terus-menerus melihat dan melangkah ke luar, kita akan bernasib seperti Nasrudin: selamanya tidak akan menemukan kunci rumahnya yang hilang; selamanya tidak akan menemukan kebahagiaan yang menenteramkan. Hanya ada satu cara untuk menemukan kunci yang hilang di dalam rumah, yaitu mencari kunci tersebut di dalam rumah dengan menempuh empat langkah berurutan. Langkah pertama, kita menyadari, mengakui, dan menerima kenyataan bahwa kunci tidak hilang di luar rumah tetapi tergeletak di dalam rumah. Kedua, berjalan masuk ke dalam rumah. Ketiga, entah bagaimana caranya, kita buat rumah yang gelap itu jadi terang. Keempat, kita cari kunci yang hilang. Demikian pula prosedur mencari kebahagiaan yang hilang. Pertama, kita menyadari, mengakui, dan menerima kenyataan bahwa kebahagiaan tidak berada dalam hal-hal fana di luar diri tetapi tersimpan di lubuk hati. Kedua, menjenguk diri (al-nafs; ego) yang berdiam dalam kegelapan rumah hati. Ketiga, entah bagaimana caranya, kita usir kegelapan dari rumah hati dengan terang ilmu. Keempat, kita putuskan ikatan dengan kefanaan yang labil dan tidak konstan, lalu mencari kebahagiaan dalam hati pribadi. ÔÇ£Mengusir kegelapan dari rumah hatiÔÇØ adalah kiasan yang mengacu pada usaha sungguh-sungguh (al-jihad) untuk mengobati hati dari seribu satu macam penyakit hati, antara lain serakah, kikir, minder, pamer, putus asa, amarah jahat, dengki, dendam, sombong, dan bangga diri. Sumber semua penyakit hati adalah cinta dunia. Wujud konkret cinta dunia yaitu mengumbar keinginan, menuruti kesukaan, atau mematuhi perintah nafsu rendah baik yang bertampang jahat maupun yang berpenampilan saleh. Pecinta dunia tidak mengasuh nafsu dengan puasa, tirakat, atau tapa brata yang sinambung dan tak kenal waktu. Dari sinilah lahir apa yang dinamakan Pangeran Sidharta, perintis agama Buddha itu, sebagai duka (derita; miserable), lawan dari nirwana. Kesedihan adalah akibat dari keinginan yang tidak dikekang dan disetir. Penderitaan berakar pada keterikatan hati terhadap dunia, yaitu segala hal yang tampak menyenangkan, fana, maya, ilusif, dan tidak stabil. Dunia itu seperti roda yang menggelinding. Kadang kita berada di atas roda, kadang di bawahnya. Saat sedang berada di bagian atas roda, kita mengalami kebahagiaan sesaat dan kegembiraan berlebihan. Keinginan mulur dan menggelembung. Saat sedang berada di bagian bawah roda, kita mengeluhkan penderitaan. Keinginan mungkret dan mengempis. Bila sedang berada di atas roda, kebanyakan orang terserang penyakit sombong, pamer, dan kagum terhadap diri sendiri. Sekuat tenaga dia menampik penderitaan yang niscaya bakal datang. Bila sedang berada di bawah roda, kita mengalami frustrasi, putus asa, marah, dan tidak menerima kenyataan. Kita pun memelihara dengki dan dendam terhadap pihak lain yang berhasil ÔÇ£menikmatiÔÇØ keinginan kita dan merebut mimpi kita. Selama kita tidak mengenal hakikat dunia dan menyikapinya dengan cerdas, kebahagiaan akan tetap jauh jaraknya dari kita. Mengusir kegelapan dari rumah hati, karena itu, pada dasarnya adalah menyikapi dunia secara tepat. Inilah yang disebut kaum sufi sebagai zuhud (asketisme). Zuhud bukan hidup melarat, tidak bekerja, atau berpakaian gembel. Zuhud adalah tapa ngrame, menggumuli dunia tanpa keterikatan hati pada hal-hal fana. Walaupun anugerah dan bencana datang dan pergi silih berganti, hati tetap stabil dalam ketenteramannya. Saat berhasil mencapai kesuksesan, kita tidak kelewat bergembira. Saat mengalami kegagalan, kita tidak terlalu bersedih. Saat diberi karunia, kita tidak membusungkan dada. Saat ditimpa cobaan, kita tidak berputus asa. Sedang-sedang saja. Biasa-biasa saja. Hati merdeka dari penjajahan hal-hal fana, bebas dari perbudakan nafsu rendah. Zuhud, yang seharusnya merupakan buah dari pohon ilmu, adalah lentera yang menerangi rumah hati. Berbekal lentera itu, kita mencari kebahagiaan yang tersimpan jauh di dalam rumah hati. Memastikan keberhasilan pencarian tersebut bukanlah kewajiban dan kewenangan kita. Tugas kita adalah mencari di tempat yang benar dan dengan cara yang sahih. Tapi jangan khawatir, mengenal dan menempuh jalan kebahagiaan sudah merupakan percikan kebahagiaan itu sendiri. Sebaliknya, tidak memahami jalan kebahagiaan sehingga menempuh jalan kebahagiaan palsu, niscaya berujung pada kesedihan dan penderitaan. Itulah yang terjadi pada Nasrudin. Dia mencari kunci rumah di area terang luar rumah. Padahal, kunci itu hilang di area gelap dalam rumah. Dia mencari kebahagiaan di luar diri. Padahal, kebahagiaan terpendam dalam hati pribadi. Apakah kita, saya dan Anda, juga sebodoh Nasrudin? Kunci yang dicari-cari ada di dalam rumah. Dalam lubuk hati, kebahagiaan senantiasa menanti kedatangan dan kepulangan kita dengan setia dan sabar. Dengan penuh kasih sayang dan harapan. *Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-26, Jumat 23 Maret 2018/05 Rajab 1439 H. Sumber tulisan dari sini.

Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Lintang Noer Jati