Memfilsafati Cahaya

slider
16 Juni 2021
|
3292

Apa yang terlintas dalam pikiran kalian ketika mendengar kata cahaya? Apa yang tergambarkan dalam pikiran kalian? Apakah hanya sebatas pada sesuatu yang terang benderang seperti matahari, bintang, lampu dan segala benda yang memancarkan sinar? Pernahkan kalian berpikir bahwa cahaya sering digunakan sebagai kiasan untuk mengungkapkan suatu harapan dan menggambarkan kehidupan?

Dalam tradisi sufisme falsafi, cahaya sering digunakan sebagai simbolisme untuk mengungkapkan nilai-nilai ketuhanan. Agama-agama kuno Persia seperti Zoroastrianisme, Manisme, Sabeanisme menjadikan matahari, api, dan benda-benda yang bercahaya sebagai sesuatu yang sangat sakral dan dimuliakan. Begitu pula para pengikut Pythagoras, sebagaimana yang dilukiskan oleh Fyodor Bronnikov (1827–1902), seorang pelukis sejarah asal Rusia ini menggambarkan sekelompok orang Pythagorean (pengikut Pythagoras) mengenakan jubah klasik berwarna terang. Enam dari mereka memainkan alat musik, dan empat berlutut untuk menghormati matahari terbit. Pria yang menjadi titik fokus berdiri di depan yang lain dengan tangan terentang seolah menyambut matahari.

Sebelumnya, mereka memuliakan benda-benda bercahaya bukan karena untuk disembah sebagai berhala, namun karena keistimewaannya yang menjadi simbol dari manifestasi sifat-sifat Ilahiyah. Faktanya memang cahaya memiliki banyak keistimewaan. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa cahaya matahari mampu meningkatkan hormon serotin yakni, hormon yang memberi perasaan nyaman dan senang, yang memungkinkan suasana hati manusia bisa menjadi lebih bahagia saat terkena paparan cahaya matahari.

Al-Ghazali sendiri pernah mengatakan, “Selain indera (mata), keberadaan benda-benda sangat ditentukan oleh cahaya. Tanpa cahaya, maka benda-benda tidak ada. Cahayalah yang menyebabkan semua penampakan terjadi. Cahayalah yang memanisfestasikan benda-benda. Al-dzuhur dimungkinkan karena adanya nur.”

Cahaya memiliki peranan penting dalam kebudayaan umat manusia. Makna dan manfaat yang tak terbatas, membuatnya menjadi simbol paling ideal untuk mengungkapkan nilai-nilai dan sifat-sifat keindahan Tuhan.

Dua Mode yang Berbeda

Filsafat israqiy’yah (filsafat cahaya) lahir sebagai sanggahan terhadap filsafat masya’iyyah (filsafat paripatetik)—aliran filsafat yang dikembangkan oleh para pengikut pemikiran Aristoteles, dikenal dengan masya'iyyah yang artinya jalan-jalan, karena konon katanya Aristoteles ketika mengajar selalu mengajak muridnya berjalan-jalan di sebuah taman sambil dia menjelaskan banyak materi perkuliahan. Aliran filsafat masya’iyyah ini lebih mengandalkan argumentasi (istidlal) dan penalaran (ta’aqul) untuk mencapai kebenaran. Para pelaku filsafat masya’iyyah berkeyakinan bahwa, argumentasi akal rasional sudah mampu menyelesaikan segala persoalan dan menyibak hakekat-hakekat kebenaran yang tersembunyi.

Pandangan ini yang kemudian membuat Al-Farabi merumuskan konsep tassawuf aqly yang menurutnya, kesucian jiwa bisa digapai melalui kegiatan berpikir. Al-Farabi menyarankan kita untuk mendaki hirarki akal mulai dari aql bi al-quwwah (akal potensial), aql bi al-fi’li (akal aktual) hingga sampai pada tingkatan akal paling tinggi yaitu aql al-mustafad (akal perolehan). Mereka yang telah sampai di aql al-mustafad bisa melakukan perenungan terhadap sesuatu yang masuk akal dan bersifat material sampai pada hal-hal yang bersifat immaterial. Di tahapan ini seorang akan bisa mengakses aql fa’al—mega server yang menjadi prototipe dari kehidupan (lauh mahfudz).

Sedangkan filsafat israqiy’yah menganggap argumentasi akal rasional tidak mampu menyelesaikan segala persoalan. Pengetahuan yang dimiliki oleh akal rasional terbatas pada panca indera. Sehingga kita hanya bisa mengetahui sesuatu sejauh yang diterima manusia melalui panca inderanya.

Pada akhirnya, kedua aliran filsafat tersebut memiliki kebenaran sesuai dengan porsi dan proporsinya. Para pelaku filsafat masya'iyyah yang lebih mengedepankan pikiran rasional ataupun, para pelaku filsafat israqiy’yah yang lebih mengedepankan penglihatan hati sama-sama dapat menjumpai Tuhan dengan caranya masing-masing.

Perbedaan pandangan semacam ini tercermin dalam kisah pertemuan antara Abu Said, seorang sufi yang lebih mengutamakan penglihatan hati dengan Ibnu Sina, seorang filosof yang lebih mengutamakan pikiran rasional. Dalam pertemuan itu, mereka melakukan diskusi selama tiga hari. Diskusi mereka hampir tiada henti yang membuat para muridnya hanya bisa memandangi kedua gurunya asyik bertukar pendapat. Sampai pada akhirnya Abu Said berkata pada para muridnya, “Apa yang telah aku lihat, Ibnu Sina telah mengetahuinya”. Lantas Ibnu Sina juga berkata kepada para muridnya, “Apa yang telah aku  tahu, Abu Said telah melihatnya”. Mereka pun berpisah dengan menghargai jalan masing-masing. Keduanya menyadari bahwa pikiran atau hati sama-sama memiliki potensi untuk menghantarkan seseorang mencari kebenaran sampai kepada Tuhan.

Mengenai filsafat israqiy’yah, metode yang dipakai oleh para pelaku filsafat israqiy’yah untuk bisa mencapai kebenaran sejati adalah dengan menyucikan jiwa dengan cara berjuang melawan hawa nafsu. Orientasinya agar mendapatkan pengetahuan yang diilhamkan langsung oleh Tuhan ke dalam diri manusia. Sangat berbeda dengan metode filsafat masya'iyyah yang mendaki hirarki pikiran untuk mencapai kebenaran sejati sebagaimana yang diteorikan oleh Al-Farbi dalam tassawuf aqly.

Pengetahuan yang didapatkan dari metode israqiy’yah dapat dikatakan bersifat intuitif, subjektif dan lebih terfokus pada pengalaman spiritual. Pengetahuan semacam ini sering kali disebut dengan alru’yah al-mubashirah, pengalaman langsung, al-‘ilm al-khuduri, preverbal knowledge, kas’yaf, laduni, dan lain-lain.

Motede filsafat israqiy’yah, menganjurkan setiap orang  untuk berjalan dari kegelapan menuju cahaya. Dengan kata lain, seorang yang ingin mendapatkan kebenaran sejati harus lebih dulu mensucikan hatinya. Sebab hati bagaikan cermin. Apabila cermin itu kotor, maka cermin tersebut tak akan mampu menyerap intensitas cahaya-Nya.

Hanya hati yang bersih yang mampu menangkap cahaya kebenaran-Nya. Siapa saja yang ingin menyaksikan keindahan cahaya-Nya, kewajiban pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan jiwanya. Kejernihan jiwa akan membuat cahaya-Nya memancar ke seluruh isi hati. Dengan ini, segala rahasia-Nya akan terbuka tanpa ada sekat.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Rizki Eka Kurniawan

Lahir di Tegal. Seorang pembelajar psikologi dan filsafat Islam. Aktif dalam Forum Sinau Bareng Poci Maiyah Tegal.