Membincangkan Kekeliruan Berpikir dalam Kajian Logika

slider
10 November 2020
|
4053

Judul: Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika: Membincang Cognitive Bias dan Logical Fallacy | Penulis: Fahruddin Faiz | Penerbit: MJS Press, 2020 | Tebal: xxii + 202 halaman | ISBN: 978-623-91890-4-4

Dalam sejarah pendidikan di negara yang dikenal mempunyai tradisi intelektualitas tinggi seperti di Prancis, filsafat pernah menduduki posisi yang penting dalam kurikulum pendidikannya. Bahkan pengajarannya tidak hanya terbatas di perguruan tinggi, tetapi diajarkan juga di sekolah menengah.

Hal tersebut sebagaimana yang dipaparkan oleh K. Bertens dalam buku Sejarah Filsafat Kontemporer Prancis (2014), yang menyebut bahwa tradisi tersebut dimulai sejak Victor Cousin (1792-1867), profesor filsafat di Universitas Sorbone, menjabat sebagai menteri pendidikan.

Meskipun dalam perkembangannya, filsafat mulai dipinggirkan, dan tentu saja hal ini menimbulkan reaksi keras dari para filosof Prancis sendiri. Sementara itu, negara seperti Jerman dan Belanda, K.Bertens (2014) mencatat bahwa filsafat mulai dipertimbangkan untuk dicantumkan sebagai kurikulum sekolah menengah.

Dalam pemaparan di atas, poin yang ingin saya sampaikan, di negara-negara yang mempunyai tradisi intelektualitas tinggi, diajarkannya filsafat sejak sekolah menengah, karena filsafat dapat menumbuhkan kritisisme para pelajar, dan dapat membuat para pelajar berpikir lebih sistematis dan melakukan penalaran dengan cara yang benar.

Dalam filsafat, terdapat materi logika sebagai salah satu cabangnya. Penguasaan terhadap logika sudah barang tentu sangat diperlukan dalam suatu diskusi atau diskursus ilmiah. Logika bahkan menjadi salah satu prasyarat sebuah pengetahuan dapat dikatakan ilmiah.

Minimnya pengetahuan logika atau bahkan absennya pengetahuan tentang logika, dapat menyebabkan dialog atau sebuah debat berlangsung menjadi tidak substantif dan tidak berkembang secara sehat.

Hal tersebut dikarenakan orang yang tidak memahami logika, dapat tergelelincir ke dalam pembangunan premis-premis yang tidak tepat dan penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan keliru.

Pak Fahruddin Faiz, alumnus Pondok Pesantren Ali Maksum, yang kemudian menyelesaikan studi S1 sampai S3-nya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menulis buku yang menarik membahas kekeliruan-kekeliruan yang seringkali dilakukan oleh orang-orang dalam berdiskusi.

Buku yang ditulis Pak Faiz berjudul Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika: Membincang Cognitive Bias dan Logical Fallacy (2020).

Buku ini bagus untuk dibaca sebagai pengantar logika untuk pemula, disusun dengan gaya, strategi, dan struktur yang sederhana sehingga lebih mudah untuk dipahami. Di tambah lagi, buku tersebut disertai dengan ilustrasi-ilustrasi yang dekat dengan kejadian sehari-hari sehingga lebih memudahkan untuk memahami pembahasannya. Pak Faiz mengungkap, bahwa buku tersebut disusun dengan metode klasifikasi-seleksi-deskripsi dan ilustrasi (hlm. vii).

Pak Faiz membagi ke dalam dua pembahasan utama mengenai kekeliruan berpikir. Kekeliruan berpikir pertama disebut dalam logika sebagai cognitive bias (bias-bias dalam berpikir). Cognitive bias ini merupakan kecenderungan seseorang untuk memberikan penyimpulan atau penilaian yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah rasionalitas, atau sesat pikir (hlm. 2).

Ada 33 contoh tentang cognitive bias. Salah satu contoh dari cognitive bias, yaitu association bias yang terjadi ketika kita menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, padahal tidak berhubungan. Salah satu contoh pernyataan yang menunjukkan association bias, yaitu “setiap kali menggunakan baju putih saat ujian, aku pasti lulus dengan nilai memuaskan” (hlm. 7).

Selain cognitive bias, jenis kekeliruan berpikir lainnya dalam logika, yaitu logical fallacy (cacat logika). Logical fallacy ini terjadi karena ketidakdisiplinan dalam berpikir. Logical fallacy terjadi karena salah fokus, salah prosedur, atau salah variabel sehingga hasilnya justru kesalahan (hlm. 113).

Berdasarkan pengalaman saya pribadi, logical fallacy memang banyak dilakukan dalam suatu ruang diskusi. Mirisnya, pernyataan-pernyataan logical fallacy terkadang terlihat bijak, padahal pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang keliru dan membuat sebuah diskusi berjalan tidak substantif.

Tentu ada banyak jenis dari logical fallacy, salah satunya, yakni argumentum ad hominem, yang merujuk pada cara berpikir yang keliru ketika topik yang sedang dibahas dihindari dengan menyerang karakter atau atribut lain dari pembuat argumen (hlm. 138).

Dengan kata lain, argumentum ad hominem terjadi saat kita menyerang pembuat argumen secara personal, dan bukannya pada substansi dari argumen yang dibuatnya. Misalnya saja, saat saya membuat suatu pernyataan, orang membalas pernyataan saya justru dengan membahas atau membelokan ke personal, dan bukan pada isi pernyataan saya. Contoh kalimatnya, “Kamu masih muda, perbanyak lagi belajar”.

Sepintas kalimat tersebut terlihat bijak, padahal kalimat tersebut merupakan kalimat yang cacat logika. Harusnya ketika seorang tidak menyepakati pendapat saya, ia semestinya fokus pada pernyataan dan mengkritisi pendapat saya secara substansi. Bukan malah mengalihkan fokus ke hal yang di luar substansi pembahasan.

Karena itu, saya rasa kita perlu memahami logika. Terlebih lagi, sangat disayangkan, ketika orang-orang sekelas sarjana ataupun terdidik di perguruan tinggi, tetapi tidak memahami kaidah-kaidah dalam bernalar dan tergelicir ke dalam kesesatan berpikir. Dan dalam pengalaman saya pribdai, hal ini tidak jarang saya temui.

Logika penting untuk dikuasai, karena kemampuan berpikir merupakan pembeda utama manusia dengan makhluk lainnya.

Aristoteles menyebutnya dengan zoon logon echon, makhluk yang berpikir (meski bagi saya, klasifikasi yang dilakukan Aristoteles yang hanya menempatkan laki-laki yang dapat berpikir [logos] jelas perlu direvisi).

Logika merupakan kunci untuk dapat berpikir runtut, jernih, dan dapat dipahami (hlm. xii). Belajar logika dapat menuntun manusia berpikir dengan benar, menemukan dasar keputusan paling masuk akal, dan mendeteksi salah cacat dalam mengambil kesimpulan (hlm. xiii).

Perlu juga untuk dicatat, logika pun menjadi penopang kehidupan manusia sepanjang sejarah dalam membangun peradaban (hlm. xiv). Terakhir, bahwa berpikir juga bisa salah, itulah mengapa kita harus serius belajar logika, juga mengenali jenis kesalahan berpikir (hlm. xix). Dalam rangka belajar logika itulah, bisa dimulai dengan membaca buku karya Pak Faiz ini.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Cusdiawan

Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran