Memasyarakat
Kegiatan bakti sosial atau Kuliah Kerja Nyata (KKN) menjadi fase wajib bagi mahasiswa sebagai implementasi terhadap Tri Dharma perguruan tinggi. Tema-tema pengabdian yang diangkat pun tidak jauh dari pemahaman mainstream yang beredar di antara akademisi, yakni seputar kondisi masyarakat. Sering kali, tema yang dimunculkan berkutat pada perihal kemiskinan, ketimpangan, atau hal-hal suram lain yang dianggap sebagai permasalahan dari kaca mata akademisi.
Padahal, bisa jadi dari sudut pandang lain, sebenarnya masyarakat memiliki potensi sendiri untuk mengelola permasalahan-permasalahan tersebut. Masyarakat memiliki kemampuan bersolidaritas, berdiskusi secara kolektif guna mengidentifikasi permasalahan-permasalahan, untuk kemudian merumuskan solusi terbaik. Sayangnya, potensi-potensi tersebut tidak terlebih dulu dipahami mahasiswa sebelum berkegiatan. Cara pandang mahasiswa terhadap masyarakat, umumnya terpengaruh oleh atmosfer diskursus di kampus.
Dalam dunia pendidikan, kita mengenal dua mazhab besar, yakni humanisme dan behaviorisme. Dua cara pandang ini memengaruhi saya dalam melihat sesuatu—yang dalam hal ini adalah masyarakat. Singkatnya, ketika kita melihat suatu permasalahan secara behavioris, maka kerangka berpikir yang terbentuk ialah tentang idealitas-idealitas yang seharusnya terjadi. Misalnya, dalam idealitas dunia akademik modern yang memandang bahwa tempat produksi pengetahuan adalah universitas atau lembaga pendidikan lain.
Pandangan itu akan berdampak pada kegiatan-kegiatan yang apabila ingin dilakukan secara ilmiah, harus terlebih dahulu mendapatkan legitimasi dari kampus. Oleh karenanya, dalam benak saya terbangun persepsi bahwa universitas lebih kaya akan pengetahuan. Selain itu, apabila kita sebagai mahasiswa melaksanakan kegiatan di lingkungan masyarakat, maka jalurnya tidak akan jauh-jauh dari pakem-pakem teori yang sudah “dilegalkan” oleh kampus. Teori-teori yang “dilegalkan” tersebut kemudian dijadikan sebagai kerangka utama dalam berkegiatan.
Sementara itu, permasalahan masyarakat hanya menjadi komponen pelangkap. Sudut pandang yang terbentuk kemudian adalah permasalahan di masyarakat akan bisa diselesaikan dengan pendekatan pengetahuan yang diproduksi oleh kampus, apa pun permasalahannya.
Akan sedikit berbeda apabila kita memandang permasalahan secara humanis. Dalam mazhab humanis, justru yang dilihat kali pertama ialah masyarakat sebagai subjek utama. Potensi-potensi yang dimiliki masyarakat akan diproses menjadi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi.
Dalam menghimpun dan memproses inilah, teori dan pengetahuan yang dimiliki kampus diposisikan sebagai media untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Artinya, saya menyadari bahwa dalam kegiatan yang berbasis masyarakat, kita hanyalah pelengkap, fasilitator, atau katalisator.
Apabila saya renungkan lebih dalam lagi, antara kampus dan masyarakat memiliki jarak (gap) yang memicu terjadinya mispersepsi. Misalnya, kekurangtepatan perumusan kegiatan atau kajian kebijakan yang dibuat akademisi dengan memandang melas masyarakat hanya melalui kacamatanya. Begitu pula dengan masyarakat yang terus-terusan dijadikan objek tanpa pelibatan partisipasi, memandang bahwa kampus hanya bisa ngisruh dan menggurui terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
Kebijakan-kebijakan yang jarang melibatkan partisipasi aktif masyarakat biasanya berujung pada proyek-proyek praktis yang mengedepankan fasilitas fisik dan kejar target dalam jangka waktu pendek. Sementara, proses-proses partisipatif memerlukan tahapan yang terbilang panjang. Tan Malaka mewanti-wanti sejak jauh hari, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”
Hal itu pula yang saya diskusikan ketika kali pertama bergabung bersama yayasan tempat saya bekerja: gap antara kampus dan masyarakat. Dalam keseharian, kami mencoba berkegiatan membersamai masyarakat dengan menerapkan mazhab humanisme. Maka, prinsip kesetaraan menjadi penting bagi kami. Masyarakat kami beri ruang untuk mendiskusikan permasalahan dan juga solusi yang memungkinkan untuk dilakukan.
Kami membantu menghubungkan masyarakat dengan pemangku kepentingan yang dalam hal ini ialah pemerintah, komunitas atau lembaga lain, termasuk juga kampus. Masyarakat dijadikan sebagai subjek utama, sedangkan pihak-pihak lain mendukung sesuai porsinya. Tahapan-tahapan dan pengetahuan ini pula yang seharusnya secara terbuka didiskusikan dengan kampus agar gap dengan masyarakat menjadi semakin mengecil.
Etika Ketika Memasyarakat
Dalam refleksi inilah saya mencoba merumuskan sikap-sikap yang diperlukan ketika kembali bersama masyarakat—setidaknya, untuk pengingat diri saya sendiri. Pertama, karena pada dasarnya kita adalah masyarakat itu sendiri, maka sudah selayaknya kita bersikap setara. Barangkali, kita belajar di kampus tentang banyak teori, tetapi pengalaman yang telah ditempuh oleh masyarakat merupakan praktik yang nyata. Maka, harus ada kesadaran bahwa kita ataupun masyarakat sama-sama memiliki pengetahuan. Sikap yang tepat adalah dengan tidak menggurui.
Kedua, masyarakat menghadapi permasalahan-permasalahan yang sedemikian kompleks dengan dampak yang dirasakan secara langsung. Maka, dalam melakukan pemetaan permasalahan dan perumusan solusi harus melibatkan masyarakat. Pendekatan partisipatif menjadi pilihan tepat agar masyarakat turut berproses secara aktif dan mampu bertransformasi secara nyata.
Ketiga, menyadari bahwa proses yang dialami masyarakat juga merupakan upaya pembentukan pengetahuan yang baru. Sebab, pada dasaranya pengetahuan-pengetahuan yang ada di kampus tidak akan ada jika masyarakat tidak pernah diikutsertakan. Ketiga hal tersebut akan mudah dilakukan apabila kita mampu memahami bahwa kita sama-sama manusia yang harus memanusiakan manusia.
Dengan meyakini bahwa proses yang dihadapi merupakan proses memanusiakan manusia, maka tentu perlu pula menyadari hal-hal yang perlu dihindari. Pertama, memaksakan kehendak sendiri atau ambisius. Jangan sampai dengan kita membersamai masyarakat, masyarakat menjadi berubah semata-mata sesuai kemauan kita. Proses demi proses perubahan tentu akan terjadi secara organik.
Namun, apabila memaksakan perubahan harus seperti idealitas yang kita harapkan, maka akan menganak ke permasalahan lainnya. Perubahan seharusnya dirumuskan bersama.
Kedua, menjadi pendengar yang buruk. Dengan anggapan bahwa kita memiliki bekal teori dan berbagai macam solusi dari kampus, jangan sampai kita mendengar hanya untuk menjawab. Hindari untuk tidak benar-benar mendengar dan terburu-buru memberikan solusi. Dengarkan dengan saksama bagaimana pendapat masyarakat. Bisa jadi pendapat mereka justru menjadi solusi yang tepat karena sesuai dengan kebutuhannya.
Ketiga, mengabaikan orang yang dianggap sebagai sumber masalah. Dalam beberapa kesempatan turun lapangan, biasanya pihak-pihak yang dianggap sebagai masalah seringkali diabaikan begitu saja. Padahal, para troublemaker itu juga memiliki suara yang harus didengar. Dari suara mereka, kita bisa tahu mengapa mereka membuat masalah. Oleh karena itu, hendaknya mereka juga diikutsertakan dalam proses mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi. Langkah awalnya, dengan tidak menjustifikasi mereka dengan persepsi sendiri.
Ketiga poin tersebut sebisa mungkin dihindari untuk mengantisipasi kecenderungan mengidap hero (Messiah) complex. Semacam, menjadi seorang pahlawan kerja sosial yang datang kepada masyarakat yang dianggap membutuhkannya, padahal bisa jadi masyarakat justru menganggapnya sebagai masalah baru.
Sebagai pungkasan, kerja-kerja untuk masyarakat pada dasarnya memang berat. Hal-hal yang saya ceritakan di atas hanya menjadi sekelumit dari rentetan kejadian yang mungkin tidak bakal berkesudahan. Kendati begitu, mendharmakan diri kepada masyarakat saya rasa tidak boleh selesai hanya karena berat dan sulit.
Category : buletin
SHARE THIS POST