Memanipulasi Filsafat: Religiusasi Akal, Merasionalkan Iman

slider
17 Agustus 2022
|
2102

“Selesaikan dulu tauhid baru belajar filsafat”, nasihat semacam ini yang cukup sering saya dengar dari beberapa orang yang saya kenal. Rupa-rupanya filsafat masih menjadi momok bagi beberapa kalangan yang tidak siap dengan pemikiran terbuka.

Ketakutan terhadap filsafat yang suka membongkar berbagai kebenaran (baca: pembenaran) menghalangi orang-orang untuk bersama-sama menjemput kebenaran. Jika kebenaran yang “haqq” itu berada di dalam agama—Islam, maka filsafat sebenarnya ingin mengumumkan kepada setiap orang “inilah kebenaran!”.

Belajar filsafat berangkat dari suatu nilai tertentu, keimanan tertentu nan absolut, bisa jadi dalam berfilsafat hanyalah akan menghasilkan sifat kompromi yang wajar, bersifat eksklusif dan defensif.

Kalau demikian tidak ada lagi gunanya untuk belajar filsafat. Inilah yang terjadi pada beberapa periode filsafat. Ketika beberapa filosof mencoba menafsirkan ide kebaikan tertinggi Platon atau causa prima Aristoteles sebagai Tuhan. Ruang-ruang yang menghendaki keniscayaan dalam argumen kosmos inilah yang dimanfaatkan oleh orang-orang berkepentingan ini.

Sikap Tidak Adil Terhadap Filsafat

Orang-orang ideologis—dalam arti apa pun itu, penganut agama, sektarian, politik, dan sebagainya—mengakui pentingnya filsafat. Tapi sedikit sekali yang mau mempelajarinya secara adil dan terbuka.

Filsafat diletakkan tepat di bawah agama, dan apa yang bertentangan dengan agama akan ditolak. Sebaliknya, apa yang sesuai ambil dalam upaya menunjukkan bahwa agama dan Tuhan adalah sesuatu yang mungkin dan niscaya.

Filsafat tidak tepat diletakkan pada tempat yang demikian. Sebab filsafat tidak memiliki kepentingan, kecuali kebenaran tertinggi dan bersifat universal. Sedangkan agama-agama memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Islam, Kristen, Yahudi, Sikh, Sinto, dan lainnya memiliki sudut kebenaran masing-masing sehingga kebenaran bersifat pluralis.

Maka posisi filsafat seharusnya tidak tepat untuk berada di bawah agama. Tapi tidak pula saya mengatakan bahwa agama berada di bawah filsafat. Agama dan institusi lainnya itu harus mempertanggungjawabkan atas kebenaran. Sedangkan filsafat bertindak untuk mengadili klaim-klaim tersebut.

Jika, agama misalnya yakin dengan kebenaran yang dibawanya, seharusnya tidak perlu takut untuk memasuki pengadilan filsafat. Setiap yang mengajukan dalih harus dapat mempertahankan dalih yang diajukannya.

Tujuan filsafat adalah penyelidikan secara radikal. Mendesak kebohongan-kebohongan sampai pada titik paling nadir. Dalam bahasa Maghfur M. Ramin (2017, Menyobek kedok-kedok busuk yang lahir dari rahim agama serta melenceng dari sistem pengetahuan, politik, ekonomi, kekuasaan, dan kebudayaan yang dikamuflase”.

Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar tentang alasan kaum teologis dengan argumen-argumen mereka tentang kebenaran agama. Argumen-argumen berdasarkan pada penyebab awal, causa prima (Aristoteles), The Ones (Plotinus), kebaikan tertinggi (Platon), hukum kausalitas, creatio ex nihilo, dan lain-lainnya, telah dikritisi secara tajam oleh pemikir-pemikir lain, semisal Richard Dawkins dalam The God Delusion (2006).

Iman Rasional, Merasionalkan Iman

Di dunia Kristen upaya merasionalkan iman—bahkan mendominasinya— telah dimulai sejak abad ketiga, setelah zaman Hellenis. Terdapat beberapa tokoh terkemuka, di antaranya Santo Agustinus (354-430 M), Anselmus dari Canterburry (1033-1109 M), Santo Aquinas (1225-1274 M) yang berusaha meletakkan landasan filosofis keimanan kristiani.

Di dunia Islam upaya penerjemahan besar-besaran buku-buku Yunani termasuk filsafat ke dalam bahasa Arab terjadi pada Dinasti Abbasiyah. Persinggungan dengan filsafat juga tidak bisa dielakkan. Tercatat Al-Kindi (801-873 M) adalah filosof pertama dari dunia Islam. Ia menyusun argumen filosofis melalui pembacaan terhadap Aristoteles.

Seperti terjadi di dalam tradisi filsafat di belahan bumi mana pun, tentu saja terdapat sikap bantah-membantah di antara kalangan filosof Muslim. Polemik paling terkenal adalah antara Imam Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd, kendati keduanya hidup pada kurun waktu yang berbeda.

Benang merahnya tetap saja bagaimana menyusun seperangkat argumen rasional terhadap ajaran Islam. Artinya, di tangan segelintir orang filsafat dipaksa untuk melegalisasi wahyu agama.

Filosof Mulla Sadra tentang hal ini melontarkan pernyataan, “Mustahil hukum-hukum agama Ilahi yang haqq dan cemerlang akan bertentangan dengan pengetahuan pasti (yaqini) dan jelas (dharuri). Celakalah filsafat yang hukum-hukumnya tidak selaras dengan Al-Quran dan Sunnah!” (Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, 2011: 5).

Upaya-upaya ini menjadi semacam alibi tersendiri. Mencoba menjadikan agama agar terlihat sejalan dengan filsafat, menjadikan kebenaran agama itu sendiri menjadi gradual. Upaya-upaya merasionalkan agama terkadang terjatuh ke dalam bentuk ketergantungan dan sikap mengekor.

Misalnya dua filosof Islam yang menjadi sasaran kritik Imam Al-Ghazali, Al-Farabi dan Ibnu Sina, mengadopsi teori emanasi milik Plotinus dalam menjelaskan hubungan kosmos dan Tuhan. Tapi apakah Plotinus atau Aristoteles benar? Jawabnya bersifat kemungkinan.

Sangat wajar Imam Al-Ghazali melontarkan kritik yang tajam kepada para filosof semisal Ar-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Saya sepakat bahwa pencarian kebenaran tidak boleh berhenti hanya atas nama telah adanya kitab suci. Tapi saya juga tidak setuju jika filsafat dipaksa untuk membenarkan agama.

Tugas filsafat adalah membedah klaim kebenaran agama. Maka, kebenaran agama dalam pandangan filsafat menjadi kebenaran mutlak yang harus dapat ditunjukkan dan dibuktikan.

Jika memang benar-benar ingin berfilsafat dengan adil maka tempatkanlah ia pada tempat yang tepat. Bukan sebagai pentakwil (pembenar) tapi sebagai hakim di pengadilan kebenaran. Melakukan upaya aktif, mencari-cari cara supaya agama tampak sejalan dengan filsafat adalah sikap-sikap konservatif dari orang yang ragu-ragu.

Tapi, silakan lakukan kritik dan hermeunetik terhadap teks suci, jika memang ia benar, maka itulah kebenaran tertinggi. Artinya, ia harus ditempatkan sebagai sebuah hasil, bukan sebagai bentuk upaya agar agama terlihat rasional.

Kalau bukan dengan jalan filsafat, agama bisa saja benar dengan jalannya sendiri—walaupun dalam artian lemah, karena episteme dan ontologi yang benar-benar berbeda. Namun bukan merupakan sebuah alasan yang kuat untuk menolak berupaya mencoba mencari kebenaran agama melalui filsafat.

Saya meyakini bahwa sebisa mungkin iman memang harus rasional. Mereka yang mengatakan beriman tapi tidak berupaya mengerahkan segenap kemampuan untuk mengenal Allah, padahal mereka mampu—setiap orang mampu pada batasannya sendiri-sendiri—dapat dikata imannya lemah.

Sulit untuk bisa dimengerti, ada seseorang yang mengaku mencintai seseorang (lainnya) tapi ia tidak mengenal orang yang dicintainya. Tapi—sekali lagi—bukan merasionalkan iman, tapi iman itu yang harus rasional.

Allah sendiri telah berfirman dalam sebuah hadis kudsi, “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku suka dikenali, lalu Aku ciptakan makhluk supaya Aku dikenali”. Bukankah telah begitu jelas Allah SWT berfirman, Wa maa khalaqtul jinna wal insa illaa liyabuduun” (Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku) (QS. Az-Zariyat [51]: 56).

Upaya pencarian dan penjemputan kebenaran itu sendiri memiliki akar yang kuat dalam tradisi Islam. Dapat dilihat bagaimana proses pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Bagaimana Nabi Musa berdialog dengan Tuhan. Nabi Muhammad yang berkontemplasi di Gua Hira.

Nabi Saw melakukan kontemplasi melalui jiwa yang independen dan terbuka dan pada akhirnya menemukan kebenaran pada apa yang namanya Islam.

Kalau seandainya Nabi Muhammad dalam upaya pencarian beranjak dari seorang yang memiliki suatu nilai absolut yang dianut masyarakat Arab waktu itu—terlepas dari beliau sebagai seorang hamba pilihan—bisa saja kebenaran Islam itu tidak bisa menembus dada.

Contoh mudahnya adalah ketika kaum kafir Quraysi yang sulit menerima kebenaran baru karena bertentangan dengan nilai yang mereka miliki. Ketika kebabian berakhir, wahyu berhenti. Satu-satunya yang dimiliki manusia adalah akal. Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali adalah satu contoh yang tepat dalam upaya ini.

Referensi:

M. Ramin, Maghfur, 2017, Teori Kritis Filsafat Lintas Mazhab, Yogyakarta: Sociality.

Yusufian, Hasan, dan Ahmad Husain Sharifi, 2011, Akal dan Wahyu Tentang Rasionalitas Dalam Ilmu, Agama dan Filsafat, Jakarta: Sadra Press.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Daniel Osckardo

Alumni Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyyah) UIN Imam Bonjol Padang.