Memaknai Kehadiran Nabi Muhammad Saw
Mengapa Tuhan mengutus Nabi dan Rasul pada saat umat manusia masih terbilang sedikit? Sedangkan sekarang jumlah manusia beserta rangkaian permasalahannya sangat banyak, sementara wahyu dan para nabi/rasul sudah tidak diutus lagi? Apakah Tuhan sudah tidak mau intervensi lagi, sudah menyerahkan sepenuhnya kepada manusia. Secara normatif, dalam konsep orang Islam, bahwa ulama merupakan pewaris para nabi yang bertanggungjawab sebagai “penyambung lidah” dari ajaran yang dibawakannya.
Tanggungjawab membimbing dan mengayomi umat adalah tugas ulama, jadi apakah masih pantas disebut ulama jika seseorang yang diklaim sebagai ulama, tetapi dalam orasinya malah mengajak pada perpecahan umat. Ceramah yang penuh dengan ujaran kebencian kepada sesama muslim, bahkan hanya hanya karena beda pilihan atau dukungan kepada Capres dan Cawapres, sungguh ini suatu perkara yang memprihatinkan.
Dalam khutbah atau ceramah-ceramah sering juga kita mendengar para khatib/dai mengutip sebuah hadis yang kurang lebih artinya, “Manusia tidak akan sesat selagi ia berpegang pada Al-Quran dan as-Sunnah” (HR. Muslim, No: 4425). Persoalan sekarang bukan perkara berpegang atau tidaknya kepada kedua perkara tersebut, akan tetapi lebih kepada berpegang pada “versi yang mana”-nya mayoritas umat sekarang.
Seandainya yang kita pegang adalah esensi dari kedua perkara tersebut, maka ia akan selalu hidup dan harmoni dalam kondisi sekarang. Akan tetapi jika slogan “Kembali kepada Al-Quran dan as-Sunnah” tersebut hanya sekedar kembali kepada terjemah/literal maka justru akan menimbulkan problem baru. Kita semua tahu, beberapa waktu yang lalu ada seorang yang katanya “ustad gaul”, menyebut bahwa Nabi Muhammad saw pernah sesat, merayakan maulid nabi dianggap sebagai merayakan kesesatan beliau. Uangkapan semacam ini bersumber dari pemahaman tekstual terhadap teks suci agama.
Memaknai dan membumikan pesan dari langit yang dibawakan oleh para nabi/rasul merupakan sebuah keharusan, sebagaimana Prof. Quraish Shihab dalam bukunya yang bertajuk Membumikan Al-Quran, menekankan akan pentingnya upaya membumikan pesan Al-Quran seiring dengan perubahan zaman.
Para nabi merupakan revolusioner pembaru sejati bagi tiap kaumnya. Sebagaimana Ibrahim merupakan cermin perubahan yang cukup mendasar akal terhadap tradisi-tradisi yang menyimpang, yaitu tauhid melawan berhala-berhala. Musa merefleksikan perubahan yang cukup mendasar pada pembebasan melawan penguasa yang sewenang-wenang. Isa merupakan contoh dari perubahan yang cukup mendasar ruh atas dominasi pandangan hidup yang memuja kebendaan. Sedangkan Muhammad saw merupakan teladan psikologis umat, pembela kaum ß©ìu’afâ dan hamba sahaya. Berjuang menegakkan keadilan, menciptakan masyarakat yang bebas, penuh kasih, persaudaraan, dan bersifat sama; sederajat.
Pada bulan kelahiran Nabiyullah Muhammad saw ini, selain kita berupaya untuk meneladani akhlak beliau yang menawan, kelembutannya, murah senyum, penuh cinta kasih terhadap sesama, dan masih banyak akhlaq terpuji lainnya. Kita juga harus meneladi kearifan beliau dalam berfatwa, hal inilah yang sekarang barangkali sudah terlupakan oleh para mubalih pop, para dai, ustad ketika berceramah atau berfatwa. Pintar dalam mengutip dalil, akan tetapi terkadang malah memelintir makna atau substansi dari dalil yang dikutip tersebut. Selain itu, Nabi Muhammad saw tidak pernah merasa paling mulia, juga tidak memiliki pakaian khusus yang menunjukkan akan kerasulannya.
Misi kenabian tersebut harus diwarisi oleh umatnya, tidak perlu terlalu latah menyatakan bahwa diri kita yang paling nyunah, paling menjalankan sunah nabi, jika yang kita tiru hanyalah penampakan luar saja, sedangkan jiwa kita gersang. Ucapan dan perbuatan kita masih jauh dari apa yang diteladankan oleh beliau. Hati kita belum lapang, belum bersih, masih dikotori dengan iri, dengki, suuzan, dan cinta terhadap perkara duniawi yang terlalu berlebihan. Waktu kita lebih banyak dihabiskan untuk perkara yang tidak bermanfaat, serta tidak peduli dengan permasalahan sekitar kita. Masihkan kita mau mengklaim bahwa kita sudah meneladani beliau?
Nabi Muhammad saw merupakan seorang da’i bi qoulihi wa fi’lihi (mengajak/ pengajak dengan ucapan dan perbuatan), tidak cukup hanya sekedar mengajak dengan lisan, namun perlu pembuktian dengan pebuatan. Ada kaidah yang menyatakan: Lisanu al-hal afshahu min lisani al-maqal (seruan atau ajakan dengan perbuatan itu lebih pas/kena daripada seruan dengan ucapan verbal). Orang akan lebih cenderung mengikuti apa yang kita contohkan daripada apa yang kita katakan. Kita juga sering mendengar ungkapan bahwa, “Dakwah itu mengajak, bukan mengejek”, “Dakwah itu merangkul bukan memukul”, “Dakwah itu membina bukan menghina”, dan sebagainya.
Dakwah Nabi Muhammad saw, selain sebagai utusan untuk memperbaiki akhlak (Innama bu’itstu li utammima makarima al-akhlaq [HR.Bukhari, No: 273]), Islam yang dibawa beliau hadir setelah rusaknya tatanan masyarakat (ekonomi, sosial, dan politik). Selain itu, rasa persaudaraan memudar, rasa kebencian dan permusuhan dikedepankan. Budaya persamaan (sederajat) melemah, penguasaan sumber kehidupan oleh jaringan pengusaha besar, keserakahan, penguasaan ekonomi dan politik oleh segelintir orang kuat juga terjadi. Tugas kenabian tidak lain ialah untuk memberikan solusi sekaligus merubah kondisi tersebut. Masyarakat pada masa itu juga belum memiliki konsep spiritual dan moral luhur dalam kehidupannya. Kehadiran Nabi Muhammad saw jua lah yang mengisi “ruang kosong” tersebut.
Memasuki bulan kelahiran beliau ini, marilah kita perbanyak membaca salawat, mauludan, membaca sirah beliau, mengingtkan kembali kepada kita tentang perjuangan beliau sebagai pemimpin agama yang sekaligus sebagai pemimpin masyarakat pada umumnya.
Mari kita lihat kondisi kita sekarang ini, “ruang kosong” mana atau apa yang harus kita isi, sisi mana yang perlu kita perbaiki, atau minimal memberikan ide/gagasan sebagai solusi. Kita diperintahkan untuk membaca (Iqra’), perintah pertama ini bukan saja sebatas membaca buku, berita, dan media lainnya, tetapi juga membaca kenyataan, membaca permasalahan keumatan dan kebangsaan guna memberikan solusi.
Beliau, Nabi Muhammad saw, adalah seorang yang berbudi luhur, toleran, berperikemanusiaan, pemecah masalah (problem solver, law maker), suami/bapak yang baik, teladan umat, dan juga seorang pengusaha. Peran yang seperti inilah yang kita butuhkan sekarang ini, meneladani beliau sebagai seorang yang toleran dan pengabdi kepentingan sesama umat manusia. Sebagai seorang yang membawa perubahan, menyelesaikan problem dengan bijak dan relevan, serta sebagai seorang yang berjiwa pengusaha yang jujur dan dermawan.
Pada penghujung tulisan ini, mari bersama kita meresapi puisi tentang Nabi Muhammad Saw karya Taufik Ismail.
Puisi Nabi Muhammad Saw
Yaa Nabi Yaa Rasulullah
Cahaya hati kami, kekasih Allah // Anta syamsun anta badrun // Anta nurun fauqa nuri // Engkaulah surya yang menyinari kelamnya hati manusia // Engkaulah purnama penerang gelapnya jiwa manusia // Engkaulah cahaya diatas cahaya
Yaa Nabiyallah, Yaa Habiballah
Betapa mulia akhlakmu // Bagai cahaya kemuliaan al-Qur’an // Besarnya perjuanganmu menegakkan agama // Agungnya cintamu menyayangi sesama // Harum senyummu pada wajah dunia // Betapa ramah sikapmu tertanam dalam jiwa
Yaa Nabiyallah, Yaa Habiballah
Betapa indah akhlakmu // Bagai cahaya keindahan al-Qur’an // Rindu kami kepadamu sepanjang waktu // Engkaulah cermin bagi hidup kami // Engkaulah petunjuk perjalanan kami // Engkaulah mata air hati dan pikiran kami // Wahai teladan yang tak pernah padam
Yaa Nabiyallah, Yaa Habiballah
Betapa suci akhlakmu // Bagai cahaya kesucian al-Qur’an // Hadirkan cintamu dalam ibadah kami // Ajarkanlah ketabahanmu dalam do’a kami // Mengalirlah jihadmu dalam hati kami // Tumbuhkanlah akhlakmu dalam hidup kami
Yaa Nabi Yaa Rasulullah
Pujaan hati kami, kekasih Allah // Anta syamsun anta badrun // Anta nurun fauqa nuri // Engkaulah surya, engkaulah purnama // Engakaulah cahaya diatas cahaya
*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-10 Jumat, 30 November 2018/22 Rabuilawal 1440 H
Category : buletin
SHARE THIS POST