Memahami Hakikat Doa sebagai Falsafah Hidup
Setiap yang beriman, dalam melakukan aktivitas apa pun pasti akan berdoa, disadari atau tidak. Minimal berharap untuk kebaikan bagi setiap diri. Doa merupakan kunci komunikasi kepada Allah Swt. untuk mencapai tingkatan paling tinggi agar sampai kepada-Nya. Sebab kita akan merasakan kedekatan antara seorang hamba dengan Rabb-nya, dengan demikian kita akan semakin menyadari betapa kerdilnya diri, bahwa manusia itu maha lemah dan Allah Maha Kuasa untuk segala sesuatunya.
Doa adalah bentuk penegasan kepada manusia, bahwa sombong bukanlah hak kita. Apa yang hendak kita sombongkan jika hidup saja masih penuh pengharapan, entah pada Dia atau pada semesta yang barangkali dapat kita yakini energinya mengubah banyak hal atas izin-Nya. Orang yang sadar akan hakikat doa, semestinya tidak mungkin sombong. Sebab berdoa harusnya disertai ketawaduan, merasa lemah, kurang, dan tidak berdaya. Doa yang tulus mampu mengubah manusia, membuat sadar akan dirinya yang lemah, bukan mengubah ketentuan Allah.
"Prayer is not asking. It is a longing of the soul. It is daily admission of one's weakness. It is better in prayer to have a heart without word than words without heart"—M. K. Gandhi.
Beberapa dari kita akan menunjukkan sisinya sendiri ketika berdoa, dengan cara yang kita percayai mampu mengantarkan harapan demi harapan menemui wujudnya. Beberapa minggu lalu sempat terjadi perdebatan kecil antara saya dengan seorang kawan; apakah berdoa dengan menyebut secara detil tentang keinginan kita lebih dianjurkan, atau sebaiknya secara umum? Bukankah Allah sendiri sudah Maha tahu dari apa pun yang kita ketahui di dunia ini? Bahkan Allah sudah lebih dekat dari urat nadi kita sendiri, bukan? Maka tak perlu kata-kata pun, sebenarnya Dia sudah mengerti dan paham apa yang kita harapkan. Namun demikian, Allah senang kepada manusia yang meminta kepada-Nya.
Dalam Ngaji Filsafat edisi Falsafah Hidup bertema Doa (10/7), Dr. Fahruddin Faiz (Ustad Faiz), mengungkap model-model dalam berdoa. Dari penjelasan Ustad Faiz, sungguh, jawaban demi jawaban dari segala pertanyaan tentang doa itu terulur lembut. Beliau menyampaikan bahwa berdoa, bila dipandang dari sisi etika lebih indah jika cukup diulurkan secara umum, jika terlalu detail, tentu akan lebih banyak yang disebutkan. Pun, dengan demikian kita dapat merasakan lebih tentang kenikmatan dari terkabulnya doa. “Tidak perlu terang-terangan meminta, tetapi dibaliknya ada keinginan. Itulah kenikmatan terkabulnya doa,” demikian kata Ustaz Faiz.
Sebuah quote terkenal yang dikutip dari Søren Kierkegaard mengatakan, "Prayer does not change God, but it changes him who prays". Bahwa doa tidak mengubah Tuhan, tapi mengubah dia yang berdoa. Mengawali sesuatu dengan doa dan tidak dengan doa, tentu berbeda rasanya. Doa juga memperkuat iman, setelahnya pun akan ada buah manis dari keimanan yang efeknya menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat bersandar. Ada kebebasan dari keterikatan dengan selain Ilahi. Doa juga sebagai bentuk kedekatan dan perhatian Allah, sebab manusia akan merasa Allah tahu kebutuhannya dan diperhatikan oleh-Nya.
Terakhir, doa berarti menuju ridha-Nya. Namun, jika kita bertanya, bukankah apa yang kita ridha itu berarti Allah juga ridha? Kita perlu ingat, bahwa tidak semua yang baik menurut kita baik pula menurut Allah. Ini karena keterbatasan pengetahuan manusia, kesempurnaan pengetahuan Allah, dan bentuk cinta Allah kepada manusia. Ketiganya semakin menguatkan keberadaan doa sebagai falsafah hidup, bahwa terkabulnya doa tidak akan selalu persis dengan apa yang kita inginkan, demikian merupakan salah satu perwujudan dari doa.
Segala sesuatu yang terjadi, baik dengan perantara doa dan tanpa doa atau yang sudah digariskan untuk kita ialah skenario Allah Swt. Allah memberikan manusia alternatif-alternatif untuk menuju sejatinya diri, namun perihal perspektif, mana yang terbaik untuk diri kita Allah sudah lebih tahu dan Maha menentukan. Dengan doa pula Allah membuka pengetahuan kita tentang itu. Sejatinya semua doa itu baik selama dilayangkan kepada Allah Swt. Artinya, tidak ada unsur menduakan Tuhan di dalamnya. Sebab hanya Dia, Tuhan yang Esa tujuan memohon dan mengadukan segala hal tentang kehidupan yang kita jalankan. Setiap kita tentu memiliki cara atau model dalam mengungkapkan keinginan kepada Sang Pemilik semesta.
Model peminta-minta
Sebagai hamba yang lemah, memang sudah seharusnya kita meminta kepada-Nya. Namun berdoa dengan cara meminta-minta bisa memengaruhi cara hidup dan etos kerja kita. Sebab, banyak orang yang tertipu di sini. Kita berpikir bahwa dengan cara inilah kita dapat mengenali-Nya lebih, menyentuh tingkatan tertinggi untuk bertemu dengan-Nya, namun kita justru terjebak pada keinginan-keinginan kita. Bila demikian, sebenarnya kita ini sedang menghamba kepada Allah atau malah kepada nafsu kita?
Model pujangga
Cara berdoa model pujangga lebih mendayu-dayu dirasa. Isinya penuh dengan pujian dan rasa syukur terhadap-Nya. Pada intinya, orang yang berdoa dengan model pujangga dalam hidupnya hanya keindahan yang ia lihat, orang yang selalu penuh dengan syukur sehingga kata-kata yang keluar indah. Menurut Ustaz Faiz, cara ini sangat dianjurkan, namun terkadang kita tidak selalu harus pasrah dan bersyukur. Ada hal-hal yang harus kita perjuangkan. Sebab dalam hidup pun banyak unsur-unsur perjuangan, seperti kita ketahui bahwa manusia sendiri diutus sebagai khalifah di muka bumi. Maka kita sepatutnya senantiasa memanfaatkan doa untuk menyeimbangkan kekhalifahan tersebut.
Model eksistensial
Setiap waktu kita senantiasa akan berkomunikasi—terhubung—dengan Allah. Bila sudah mencapai level ini, maka dalam kehidupan, kita akan melibatkan Allah dalam ruang waktu kapan pun dan di mana pun.
Versi terbaik dari seorang hamba saat berdoa ialah dengan menghadirkan hati, pun ketika salat. Karena banyak dari kita berdoa seperti meminum obat, datang kepada Allah hanya ketika kita butuh. Jangan sampai kita jatuh di sini. Ustaz Faiz mengingatkan kepada santri Ngaji Filsafat yang hadir malam itu, bahwa hidup ini memiliki modal, usaha, dan hasil. Modal dari Allah, usaha dari manusia, hasil kembali ke Allah lagi.
Allah memberikan modal berupa akal, kemudian manusia belajar atau tidak hasilnya ada di tangan manusia itu sendiri, sementara penentuan lulus atau tidak di tangan Allah. Jika tidak belajar, kemungkinan tidak lulus. Begitulah cara kerja doa dalam kehidupan. Kita diminta untuk berikhtiar (usaha dan berdoa), lalu serahkan keputusan terakhir hanya kepada-Nya. Doa merupakan wujud eksistensi manusia, tidak ada yang tidak membutuhkan Allah. Sebagaimana sutradara, Allah harus dan selalu terlibat dalam menentukan peran kehidupan pemerannya.
“Do not pray for easy lives, pray to be stronger men. Do not pray for tasks equal to your powers, pray for powers equal to your tasks”—Phillips Brooks.
Itulah filosofi doa. Jangan berdoa untuk hidup yang mudah, berdoalah untuk menjadi orang yang lebih kuat. Jangan berdoa untuk ujian yang setara dengan kekuatan diri, tapi berdoalah untuk kekuatan yang setara dengan ujian yang dihadapi. Doa yang sungguh-sungguh mampu mengubah hidup kita. Seperti yang dituturkan Ustaz Faiz, sebelum berdoa, tegaskan dalam diri tentang kelemahan kita sebagai seorang hamba. Hanya Allah tempat bersandar satu-satunya. Barulah kemudian permohonan, keinginan, menunggu dalam raja' (pengharapan), kepasrahan penerimaan dalam tawakal.
Doa mengajarkan tentang ketulusan dalam mencintai-Nya, dan hikmah dari ketulusan doa bahwa hidup ini butuh tiga bekal, yakni keikhalasan, keberanian, dan kebijaksanaan.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST