Media Cetak dan Tradisi Keilmuan Komunitas Muslim
20 Maret 2019
|
1185
Tulisan ini merupakan review singkat atas tulisan Goran Larsson ÔÇ£The Print RevolutionÔÇØ (Chapter 1) dalam bukunya Muslims and New Media, Historical and Contemporary Debates (England: Ashgate Publishing, 2011) sebagai pembacaan terhadap reaksi awal dari komunitas Muslim terkait kehadiran media cetak. Kehadiran media baru (hasil dari metode penggunaan huruf cetak bergerak untuk percetakan berbagai materi tulisan oleh Johann Gutenberg [1400-1468]) media cetak, di hadapan komunitas Muslim bukannya memberikan satu tawaran yang menggiurkan, namun ternyata ada kekhawatiran yang muncul bagi kelangsung pengetahuan. Bahkan, mempromosikan media baru tersebut sekaligus menggunakannya sebagai medium untuk menyebarkan pengetahuan dipahami sebagai sebuah ancaman. Padahal menurut Roderic H. Davison[1] lewat analisanya terkait manfaat media baru, dalam hal ini telegram (kabar kawat yang berisi kombinasi kode yang ditransmisikan oleh alar yang disebut telegraf). Ia mengemukakan bahwa inti dari penggunaan telegram adalah untuk memberikan banyak kemudahan. Melalui telegram, kita bisa memperoleh pengetahuan maupun informasi yang luas dari berbagai bidang subyek. Di samping itu, telegram juga tentu telah mempersempit jarak dimana sumber informasi berada dan obyek informasi itu tertuju.[2] Hal demikian pun berlaku pada media cetak. Dengan media cetak, telah membuka kesempatan yang lebih luas bagi banyak orang untuk menikmati ilmu pengetahuan. Media cetak juga telah mempersempit jarak bagi para pencari ilmu pengetahuan. Meskipun manfaat dan kelebihan tersebut ada, lalu mengapa dari komunitas Muslim muncul kekhawatiran, takut dan menganggap media baru, mesin cetak sebagai sebuah ancaman? Adalah tradisi lisan dan hafalan menjadi media penyebaran ilmu pengetahuan di komunitas Muslim awal. Cara tersebut diperuntukkan tidak hanya untuk┬á ilmu-ilmu agama tetapi juga berlaku dalam ilmu-ilmu lainnya. Berangkat dari asumsi di atas, menurut Larsson, ulama mulai khawatir bukan saja terhadap kesucian Al-Quran manakala dicetak lalu tersebar ke tangan orang non-muslim tapi juga juga otoritas keagamaan mereka juga menjadi taruhan. Untuk memperkuat argumentasinya, Larsson mengutip pernyataan Charles Hirschkind. Hirschkind mengatakan: In its capacity to reproduce versions of the QurÔÇÖan in vast, seemingly infinite quantities, the printing press threatened to unleash the sacred text from the structure of discipline and authority that governed its social existence and ensured its ethical reception.[3] Sementara bagi Walter J. Ong dalam Kelisanan dan Keaksaraan, keengganan, kalau tidak ingin menyebut penolakan, mereka yang berbudaya lisan untuk mengadopsi media baru, termasuk tulisan ataupun cetakan, lebih karena usaha dan kerja keras mereka mengkonsepkan, menghafalkan, dan mempelajari pengetahuan secara susah payah selama berabad-abad akan sia-sia. Bukan hanya itu, bahkan reputasi dan derajat atau citra mereka sebagai orang bijaksana, orang yang dihormati pun akan tergerus oleh media baru tersebut.[4] Lebih jauh lagi, revolusi media cetak ini membawa semacam ÔÇ£ancamanÔÇØ akan ternodainya kesucian kitab suci bila dicetak. Bagi komunitas Muslim, dua hal negatif akan terjadi bila mesin cetak digunakan dalam tradisi keilmuan. Sisi negatif itu ditakutkan terutama jika digunakan dalam memproduksi dan memperbanyak kitab suci Al-Quran maupun buku keagamaan dan lainnya. Pertama, kekhawatiran yang berlebihan ditunjukan oleh pernyataan Muhammad al-SibaÔÇÖI, teolog Muslim Maroko. Ia menilai bahwa jika mesin cetak digunakan sebagai media penyebaran ilmu maka transmisi keilmuan melalui buku cetak akan menghilangkan kekuatan hafalan, melupakan pengetahuan Islam bahkan mengurangi keinginan dalam pembelajaran. Kedua, ketika Al-Quran diperbanyak dengan mesin cetak, tentu ini akan tersebar bukan hanya sampai pada semua Muslim tapi juga tersebar ke non-Muslim. Saat Al-Quran yang sakral sampai pada tangan non-muslim ada semacam rasa takut yang begitu besar akan ÔÇ£ternodaiÔÇØ kesuciannya sebab tidak bisa dikontrol cara mereka dalam memperlakukan Al-Quran. Ternyata ketakutan yang sama pun terjadi di dunia Barat, yakni para teolog gereja. Mereka pun menolak memperbanyak kitab sucinya karena takut terjadi kesalahan selama proses percetakan. Hal ini tentu untuk menghindari hilangnya makna atau pesan yang dibawa oleh isi kitab suci. Namun hal yang paling penting adalah ditakutkan kitab suci yang telah tersebar akan ditafsirkan dan dipahami berlawanan dengan gereja. Ternyata itulah mengapa masih ada komunitas Muslim awal bahkan pihak Gereja yang berpikir bahwa hadirnya media baru tersebut dianggap akan mengganggu epistem-epistem dalam transmisi ilmu pengetahuan yang sudah berlangsung. Namun apakah media baru ini ditolak semata-mata karena kekhawatiran terhadap kesucian kitab suci? Atau jangan-jangan ada kontestasi yang terjadi antara media baru dengan otoritas ulama, teolog? WaallahuaÔÇÖlam. [1] Untuk pembacaan lebih komprehensif bagaimana telegram memainkan peran dalam kerajaan Ottoman, lihat Roderic H. Davison, Essays in Ottoman and Turkish History 1774-1923 The Impact of the West (Austin: The University of Texas Press, 1990), h. 133-158. [2] Goran Larsson, Muslims and New Media, Historical and Contemporary Debates (England: Ashgate Publishing, 2011), h. 25. [3]┬á Pembacaan lebih lengkap terhadap tulisan Hirschkind lihat Charles Hirschkind, Media and The QurÔÇÖan, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.) The Encyclopaedia of the QurÔÇÖan, Vol. 3 (Leiden and Boston: Brill, 2003). [4] Walter J. Ong, Kelisanan dan Keaksaraan, terj. Rika Iffati (Yogyakarta: Gading, 2013), hlm. 61-62.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST