Masalah dan Kesulitan Hidup

slider
12 Mei 2020
|
1803

Menjalani puasa dengan aneka bonus PR peradaban dari Allah tahun ini, tiba-tiba aku teringat pohon jambu air di belakang rumah simbahku di desa. Mungkin karena tahun ini aku tidak akan bisa melihat pohon kesayangan itu karena larangan mudik.

Sejak aku kecil, pohon jambu itu sudah menjadi favorit. Terbayang dulu aku dan adik-adikku harus berlomba dan berjuang memanjatnya saat melihat segerombol jambu segar yang siap petik melambai-lambai di pucuk pohon. Tingginya sekitar 5-6 meter saja. Namun teringat saat itu bagaimana aku harus bersusah-payah memanjatnya, bahkan suatu ketika sampai harus babras-bundas karena jatuh dari atas pohon.

Selain menunggu persembahan buahnya, pohon itu dulu adalah juga tempatku nongkrong siang hari. Saat siang terik menyengat, aktivitas paling menyenangkanku dulu adalah duduk-duduk di atas ketinggian dahannya, diterpa angin semilir, sambil nyemil jambu. Ternyata kebahagiaan zaman itu tidak tergantung kuota, smartphone, atau game online.

Karena kewajiban untuk sekolah dan mondok, akhirnya aku menjadi jarang mengakrabi pohon jambu itu. Suatu ketika, saat aku pulang ke rumah, menjelang masa-masa kuliah, kembali kutengok pohon kenangan itu. Aneh, kini pohon itu tampak lebih mungil, tidak terlalu besar, dan dengan mudah aku bisa naik ke atasnya.

Secara iseng kusampaikan kesanku itu kepada simbahku.

“Mbah, apa pohon jambu belakang rumah itu tambah kecil ya”.

“Maksudmu?”, tanya simbah.

“Dulu, waktu kecil aku kan sering memanjat pohon itu, dan harus susah payah baru sampai atas. Tetapi sekarang rasanya pohon itu mengecil, mudah saja aku memanjatnya”.

Simbahku tertawa. “Yo mesti wae le, saiki kowe wis gedhe, wis kuat, ndhisik isih cilik” (Ya pasti saja, nak. Sekarang kamu sudah besar, dulu masih kecil).

Percakapan kecil dengan simbah itu sekarang terngiang kembali. Tiba-tiba ada pelajaran luar biasa muncul dari percakapan sederhana tersebut. Menjalani hidup dengan segala tantangan dan kesulitannya mungkin seperti memanjat pohon jambu tadi. Jika kita kuat, pohon itu terasa kecil dan mudah. Jika kita kecil dan lemah, pohon itu akan tampak besar dan kuat.

Mungkin suatu ketika kita berhadapan dengan pohon yang sangat besar, tinggi, dan kokoh, betapa melongo dan geleng kepala kita dihadapannya. Membayangkan naik ke atasnya saja kita sudah merinding. Padahal bagi orang yang memiliki ketrampilan dan kekuatan, memanjat dan menaiki pohon tersebut bukan sesuatu yang sulit.

Uniknya, biasanya untuk menutupi kelemahan kita dihadapan pohon yang besar itu, kita justru ‘menyalahkan’ pohon tersebut. “Mengapa ia terlalu tinggi?” “Mengapa ia terlalu besar?” Bahkan kadang kita mencari-cari pembenaran atas kelemahan kita di hadapan pohon tersebut, misalnya dengan menyatakan, “Apa gunanya memanjat pohon itu?”, “Masih banyak pohon lain yang lebih menarik dipanjat”, “Pohon itu kotor dan banyak semutnya”, dan lain sebagainya.

Kita sering bersikap seperti rubah dalam fabel Aesop (620-564 SM). Aesop adalah seorang pengarang dan penutur cerita asal Yunani dengan masterpiece-nya Aesop’s Fable. Berisi kisah-kisah binatang yang dapat berbicara dan bertingkah laku seperti layaknya manusia. Di antara kisah dalam Aesop’s Fable adalah kisah tentang rubah dan anggur.

Cerita ini berkisah tentang seekor rubah yang suatu ketika melewati kebun anggur, dan ia pun kemudian berusaha meraih buah anggur yang menggantung di pohon anggur. Berulang kali meloncat meraih buah anggur tersebut, namun tetap saja gagal. Akhirnya ia menyerah. Namun agar tidak dianggap gagal, ia menyatakan bahwa sebenarnya buah anggur tersebut tidak enak. “Anggur itu pasti masam”, gerutunya. “Mengapa aku harus capek-lelah meraihnya?”

Saat menghadapi masalah, kita lebih sering menyalahkan situasi dan masalah. Padahal solusi dari masalah itu mungkin harus diawali dengan bertanya kepada diri sendiri: “Mengapa aku tidak cukup mampu untuk mengatasi masalah ini?”. Dengan kata lain, dibandingkan menyalahkan situasi atau orang lain, ada baiknya yang kita lakukan adalah memperbaiki diri, meningkatkan kualitas diri, sehingga nantinya saat menghadapi masalah yang serupa kita lebih mampu dan lebih tangkas menyelesaikannya.

Dalam hidup, pasti kita akan berhadapan dengan aneka masalah. Sebagian bisa kita atasi, sebagian tidak. Kita juga pasti akan bertemu dan beraktivitas bersama orang lain. Sebagian cocok dan sesuai dengan kita, sebagian tidak. Ada yang menyenangkan, ada yang menyebalkan. Ternyata kunci menghadapinya tidak terletak pada masalahnya atau orang yang kita hadapi, namun lebih terletak pada kekuatan dan ketrampilan kita menghadapinya.

Jika kekuatan dan ketrampilan kita cukup, maka masalah apa pun atau orang seperti apa pun yang menurut kita sulit akan terasa kecil dan mudah diatasi. Sebaliknya, jika kemampuan dan keterampilan kita lemah, masalah sekecil apa pun akan tampak besar dan sulit dihadapi.

Perlu diingat pula, kita tidak bisa memilih-milih masalah. Tidak mungkin kita memilih masalah yang mudah dan kecil saja atau berhubungan dengan orang yang nyaman dan cocok saja dengan kita. Karena itu, satu-satunya jalan positif yang bisa kita lakukan dalam hidup ini adalah setiap waktu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kekuatan, sehingga kapasitas dan kualitas diri kita senantiasa meningkat dari waktu ke waktu.

Jadikan setiap waktu adalah waktu belajar, setiap orang adalah guru, dan setiap tempat adalah ruang belajar, sehingga warna hidup kita sesuai dengan dawuhnya Kanjeng Nabi Saw, “Yaumuhu khairun min amsihi” (Hari ini lebih baik dari kemarin).


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Fahruddin Faiz

Pengampu Ngaji Filsafat Masjid Jendral Sudirman