Masa Depan adalah Belantara Kemungkinan

slider
20 September 2017
|
1327

Dalam rangka memperingati tahun baru Islam, 1439 Hijriah, saya menulis catatan ringkas ini. Kebetulan saya sedang membaca Sapiens: A Brief History of Humankind (2015) karya Yuval Noah Harari. Dari setelah membaca buku tersebut, dan kalau saja kita sepakat dengan apa yang disampaikan oleh penulisnya, kita juga akan mengamini bahwa dunia ini dibentuk selain oleh kenyataan objektif di mana kita tak perlu lagi mempertanyakan keberadaannya—seperti tanah, air, api dan udara—juga dibentuk oleh realitas fiktif yang mana dengan realitas tersebut, tatanan kehidupan dimungkinkan ada. Realitas fiktif tersebut, menurut Yuval, diantaranya adalah norma, hak asasi, demokrasi, korporasi, alam akhirat, bahkan Tuhan.

Dari deretan realitas fiktif yang dijajakan Yuval, dan apa yang mungkin dapat kita bayangkan berdasarkan apa yang dijelaskan olehnya, kita bisa jadi mengkategorikan bahwa waktu—sebagaimana Tuhan—juga termasuk fiktif: sesuatu yang patut dipertanyakan kembali keberadaannya. Kita dalam lena, tentu menganggap laku tanya ini sebagai tiada guna. Mempertanyakan hal yang sudah pasti, sama arti dengan mempertontonkan ketololan diri. Namun, kita tidak bisa menyamakan cara berpikir kita sebagai umat beriman dengan Yuval yang, selain turunan Yahudi dan bersuami—padahal dia seorang laki-laki—dia tergolong dari new atheis. Maka sah-sah saja jika Yuval berpendapat bahwa Tuhan, beserta perangkat pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci) yang membangunnya adalah fiktif: tidak pernah nyata ada.

Kembali membahas tentang waktu. Saya kira perbincangan tentang waktu akan menjadi lahan yang abadi untuk digarap, bahkan, kepala skeptis saya sempat berpikir bahwa keabadiannya berbanding lurus dengan keabadian Tuhan, atau bahkan berjalin-kelindan, atau waktu adalah Tuhan itu sendiri malah. Terlepas dari perdebatan berdasar seperangkat pengetahuan ketuhanan (teologis) tentang waktu, mari kita melihat waktu dari sudut pandang yang paling bisa dijangkau oleh pikiran manusia.

Jika kita mengingat slogan dari filsuf Yunani yang hidup di sekitar abad ke-5 SM (540-480 SM), Herakleitos, bahwa semuanya mengalir dari x ke y sejauh dipahami dalam bentang ruang dan rentang waktu. Artinya segala sesuatu itu mengalir. Karenanya, kaki kita ketika dalam sungai tidak pernah dialiri oleh air yang sama. Itu juga artinya bahwa waktu yang dimaksud di sini hanya terbatas pada waktu yang dapat di ukur malalui satuan-satuan tertentu. Maka apa yang disampaikan oleh seorang filsuf Gilles Deleuze berikut adalah semacam pengimbuhan dari apa yang disampaikan sejak purba oleh Herakleitos.

Gilles Deleuze memiliki konsep waktu yang jauh lebih menawan ketimbang menganalogikannya seperti arus sungai. Deleuze membagi waktu dalam istilah chronos dan aion. Waktu yang pertama, chronos, adalah jenis waktu yang senada dengan apa yang dimaksud oleh Herakleitos, yang dapat diukur, tak dapat diulur, senantiasa mengalir, seperti air, terdiri dari satuan detik, menit, jam, hari, bulan, tahun dan seterusnya. Sedang waktu yang kedua, aion, adalah waktu kreatif, waktu kejadian.

Deleuze menyebutnya waktu kedua sebagai aion, kalau Martin Heidegger yang memiliki konsep waktu kurang lebih sama tapi dengan sebutan eregnis, waktu kejutan, sesuatu yang terjadi di luar hubungan kausal. Waktu yang kedua ini kemudian menghubungkan ingatan saya pada bangkangan Quentin Meillassoux ketika menolak waktu yang hanya dipahami oleh Herakleitos. Baginya, waktu tidaklah tetap, melainkan dalam artian terus menjadi. Waktu adalah sesuatu yang hyper-chaos: sangat-kacau. Waktu adalah suatu kontingensi. Karenanya satu-satunya yang pasti, bagi dia, adalah kemungkinan-kemungkinan.

Mari kita cukupkan diri mengutip sana-sini dalam membahas waktu ini, karena tentu ada banyak pandangan tentangnya.

Bila kita sepakat dengan apa yang disampaikan oleh para filsuf di atas, maka alangkah mengerikannya waktu. Masa depan adalah belantara kemungkinan-kemungkinan. Kita tidak pernah tahu dengan pasti apa yang akan terjadi. Tetapi, meski masa depan demikian mengerikan di mana ada misteri dan misteri yang menanti, tentu semua itu tak boleh melumpuhkan kita.

Waktu adalah rumah, di mana kita harus mengisinya. Maka dalam waktu sebagai chronos, kita dapat mengukur satuan waktu yang telah kita lewati, menghitungnya sebagai pengalaman, lalu mengakumulasikannya sebagai usia. Tapi dalam waktu sebagai aion, kita ditantang untuk percaya, bahkan yakin, bahwa akan selalu ada kejutan dalam hidup. Dengan mental aion, maka takdir, baik atau pun buruk, bukan hanya diterima, melainkan ditunggu, karena kita sudah yakin akan adanya.

Sejalan dengan mental aion ini, ada baiknya kita teladani para penganut agama saintisme, yang meyakini bahwa alam adalah self renewing system, senantiasa memperbaharui diri. Dengan apa? Tentu dengan chaos, bahkan hyper-chaos, dengan kemungkinan-kemungkinan, dalam bahasa sehari-hari, dengan badai, topan, kemelut, kejut, dan lain-lain.

Jika kita manut bahwa alam adalah makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmos, maka keduanya memiliki cara kerja yang sama: manusia akan selalu memperbarui diri dengan guncangan-guncangan yang menimpa dirinya, baik lahir maupun batin. Itu sebabnya, agama kita yang rahmatan lil ‘alamin ini menganjurkan umatnya untuk senantiasa sabar, ikhlas, dan tawakal, yang kesemuanya ini baik menurut agama kita juga agama apa pun—termasuk saintisme—membawa pada keseimbangan termal.

Dalam hitungan chronos, tahun baru Hijriah telah menghampiri kita. Tak terasa, betapa betahnya manusia di dunia, hingga menghuni mencapai ribuan bahkan jutaan tahun lamanya. Kemudian kita sadar bahwa waktu ternyata terdiri dari angka juga. Jika sudah berurusan dengan angka, maka masa depan demikian jelasnya: bahwa angka memiliki batas, dan usia pasti tewas.

Saat kita kembali memperingatinya, pengulangan tahun baru membuat waktu seakan berputar, tidak linear. Maka meski kita tidak pernah berada pada titik yang sama, tapi saat itulah saat yang bisa dijadikan momentum untuk self renewing, memperbarui diri. Dalam bahasa agama, kita sebut hijrah. Momentum inilah saat yang mungkin tepat untuk merenungkan kembali segala guncangan yang pernah menerjang dalam bentang dan rentang chronos setahun kemarin.

Setelah kita ketahui apa yang kurang, maka segera lengkapi, setelah kita ketahui apa yang salah, maka segera perbaiki. Kita harus yakin, sebagaimana penggalan dari lirik lagu Banda Neira, bahwa “yang patah akan tumbuh, bahwa yang hilang akan berganti.” Maka pada momentum inilah, yang terpenting bukanlah bagaimana kita di masa lalu, juga apa rencana kita di masa depan, melainkan kesiapan menghadapi kemungkinan-kemungkinan. Karenanya mari amalkan amanah kitab suci bahwa hidup adalah perlombaan, fastabiq al-khayrat. Kita hanya berusaha tanpa pernah tahu apakah kita akan jadi pemenang atau hanya jadi pecundang. Satu-satunya yang pasti adalah: berjuang!


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Riki Kurnia