Marcus Aurelius, Stoikisme, dan Kebaikan
Plato dalam Politeia pernah mengatakan bahwa penguasa negara haruslah seorang filosof. Seorang filosof harus menjadi raja atau sebaliknya seorang raja harus menjadi filosof. Baginya, filosof adalah orang yang memiliki kualitas moral yang baik dan memiliki pengetahuan yang dapat menyejahterakan serta memakmurkan masyarakatnya.
Hal senada juga didengungkan oleh Al-Farabi dalam Madinah Al-Fadhillah. Ia juga mengidealkan suatu tatanan negara atau kota yang dipimpin oleh seorang filosof. Namun, sedikit berbeda dengan Plato, Al-Farabi bisa berpikir demikian karena ia mengidealkan suatu tatanan kota yang disebut dengan “Kota Utama”.
Di dalam kota tersebut, warga dapat menjalankan keutamaan teoretis (memahami sesuatu entitas abstrak seperti fisika, metafisika, kosmologi, dan lain-lain) dan keutamaan praktis (menyelesaikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari) ala Aristotelian. Kedua entitas utama tersebut menjadi ciri-ciri dari kota tersebut. Jika hal demikian bisa dijalankan, Al-Farabi yakin warga kota dapat menuju kebahagiaan.
Karena hal demikian, menurut Al-Farabi, keutamaan teoretis dan keutamaan praktis secara sempurna bisa dijalankan hanya oleh seorang filosof. Al-Farabi pun percaya bahwa kelak ketika memimpin negara, seorang filosof akan mengajarkan dua keutamaan itu kepada warganya.
Namun, adakah suatu tatanan negara yang dipimpin oleh filosof? Bukanlah gagasan itu hanyalah utopis belaka? Marcus Aurelius pernah menjadi seorang kaisar Kekaisaran Romawi. Ia menjabat sebagai kaisar pada masa akhir Kekaisaran Romawi, dari 161 M hingga 180 M.
Marcus Aurelius merupakan salah seorang kaisar yang mendapatkan julukan “Lima Kaisar yang Baik”. Julukan tersebut sebagai tanda bahwa ia berhasil memimpin kekaisaran dan berhasil menyelesaikan berbagai persoalan pada masa pemerintahannya.
Keberhasilan tata kelola yang dijalankan oleh Marcus tak lain karena stoikisme—aliran filsafat yang dianut oleh Marcus. Aliran filsafat ini menuntunnya menuju berbagai keberhasilan. Aliran ini begitu mempengaruhi Marcus ketika ia menuangkan pemikirannya dalam jurnal harian yang kemudian diterbitkan dengan judul Meditations.
Stoikisme
Stoikisme atau yang terkadang disebut dengan filsafat stoa adalah aliran yang didirikan oleh Zeno dari Citeum. Ia adalah seorang pedagang yang kaya raya. Namun, profesi itu seketika lenyap ketika ia berlayar ke Athena, saat kapalnya tenggelam tak berbekas. Seluruh dagangannya pun turut tenggelam dan ia terdampar di kota tersebut.
Hidup dalam kemalangan, Zeno dari Citeum masuk ke toko buku dan menemukan buku-buku mengenai Sokrates. Sejak saat itu, ia membaca buku-buku tersebut dan menjadi pengagum Sokrates sekaligus mencintai filsafat.
Kegemaran tersebut membuatnya berguru kepada Antistehenes, salah seorang tokoh Sinisme yang dianggap murid Sokrates. Ia juga kerap mendengarkan kuliah-kuliah dari aliran epikureanisme. Kedua aliran inilah yang kelak mempengaruhinya saat merumuskan stoikisme versinya sendiri.
Stoikisme terbilang cukup sukses karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai macam status dan bertahan sangat lama dari Abad ke 3 SM hingga 3 M. Kesuksesan ini dicapai karena ajarannya yang tak berkutat pada ide-ide besar yang abstrak, melainkan merumuskan cara agar manusia tetap bahagia dalam setiap waktu dan keadaan.
Stoikisme menekankan pengikutnya untuk hidup selaras dengan alam semesta. Aliran filsafat ini percaya bahwa alam semesta bisa teratur karena dijalankan oleh rasio yang bersifat Ilahi (logos). Karena itu, manusia yang ingin hidupnya teratur juga harus menggunakan rasionya.
Peran rasio sangat fundamental dalam stoikisme karena ia merupakan dimensi internal manusia. Hanya melalui rasio, manusia dapat memiliki pertimbangan, penilaian dan keputusan. Sementara Kekayaan, kehormatan, ketenaran dst adalah elemen eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia.
Selain itu, stoikisme juga menekankan pengikutnya untuk mengendalikan emosi-emosi negatif (iri dengki, rasa sesal, takut dan senang) dan hidup dengan menjalankan keutamaan (kebijaksanaan, keberanian, keadilan dan menahan diri). Intinya, filsafat ini lebih menekankan kepada the way of life. Ajaran-ajaran filsafat itulah yang tampak mewarnai pemikiran-pemikiran Marcus di kemudian hari.
Tentang Kebaikan
“Segala sesuatu—kuda, anggur—diciptakan untuk tugas tertentu—lalu untuk tugas apa engkau diciptakan?” Itulah pertanyaan yang diajukan Marcus kepada seluruh umat manusia. Entah sadar atau tidak, manusia mengemban tugas Tuhan saat diciptakan agar senantiasa melakukan kebaikan.
Bagi Marcus, orang tak perlu memperdebatkan apa itu kebaikan karena dapat menyia-nyiakan waktu belaka. Banyak orang sibuk memperdebatkan persoalan kebaikan, tapi lupa untuk mengamalkannya. Karena itu, bagi Marcus, penting bagi manusia untuk segera mungkin melakukan kebaikan. Misalnya, ketika melihat tetangga kelaparan, secepat mungkin kita mesti memberikannya makan tanpa pernah memperdebatkan apakah itu baik atau buruk.
Selain itu, orang juga tak boleh meminta imbalan atas kebaikan yang ia lakukan. Dengan gaya sarkastik, Marcus berkata: “Apa lagi yang kau harapkan saat membantu orang lain? Tidak cukupkah bahwa engkau sudah menjalankan tuntutan alam? Engkau meminta imbalan juga seolah matamu mengharapkan balasan juga saat melihat, atau kakimu saat berjalan, padahal untuk itulah keduanya diciptakan.”
Bagi Marcus, berbuat baik adalah hukum alam yang harus dijalankan dengan tulus. Lantas, bagaimana bila kebaikan yang kita lakukan dibalas dengan keburukan? Jangan khawatir, orang itu sebenarnya berbuat buruk untuk dirinya sendiri.
Dengan berbuat buruk orang itu sudah membuat dirinya sendiri menjadi jahat. Orang tersebut juga sudah bertindak tidak selaras dengan alam dan alam sendiri yang akan membalas. Namun, apabila kita terasa ingin membalas susah dan malas untuk berbuat baik lagi, maka bayangkanlah bahwa kematian akan segera datang menjemput.
Marcus dengan bijak berkata: “Karakter yang sempurna itu hidup seperti hari seakan ini hari terakhir, tanpa membuat kacau, tanpa ketidakpedulian, tanpa kepura-puraan”. Petuah ini mengingatkan bahwa kehidupan hanya sementara sehingga isilah dengan melakukan kebaikan.
Selain itu, kita tak perlu mengindahkan celaan dan pujian dari orang lain atas kebaikan yang telah kita lakukan. Kita pun tak perlu berbangga hati dan menyombongkan diri setelah berbuat baik. Jika kita sudah terbiasa berbuat demikian, maka jiwa kita menjadi bersih. Jiwa bersih ialah jiwa yang selalu tergerak untuk membantu dan menolong orang lain tanpa ada rasa pamrih sedikit pun.
Dari berbagai pokok piikiran tersebut, Marcus tak seperti Kaisar Romawi umumnya. Marcus justru mengajarkan tentang kewajiban berbuat baik secara tulus dan memaafkan kejahatan yang orang lain lakukan. Jangan heran mengapa kejahatan bisa ada karena hal itu merupakan sesuatu yang alamiah.
Orang yang jahat pun pada dasarnya adalah orang tidak tahu kalau ia berbuat jahat sehingga warga kota mesti bisa memakluminya. Dengan menyadari semua hal itu, jiwa kita akan menjadi bersih.
Ajaran itulah yang semestinya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Toh semua agama, petuah nenek moyang atau nasehat guru/orang tua sebenarnya juga sedikit-banyak mengajarkan demikian. Tinggal kita mau melakukannya atau tidak.
Namun, mengingat filsafat bagi seorang stoik ialah evaluasi atau latihan hidup yang karenanya tidak berhenti pada teori saja—sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melakukannya. Senapas dengan itu, Sokrates pernah mengatakan, “Hidup yang tak dievaluasi, tak layak untuk dihidupi.”
Category : filsafat
SHARE THIS POST