Manusia, Dataisme, dan Lauh Mahfuzh

slider
16 Mei 2020
|
2302

“Bahkan sewaktu kita memandang wajah teman, kita melihat mereka pada masa lalu. Sebab cahaya dari mata mereka butuh seperkian detik untuk merambat ke mata kita” (Richard Dawkins, The Magic Reality).

Seakan sulit untuk menentukan pijakan untuk kita melangkah pada masa depan, sebab pandangan kita selalu berada pada masa lalu. Seluruh indra manusia selalu menangkap masa lalu, seperti mata yang butuh seperkian detik untuk bisa melihat cahaya, namun karena cahaya merambat dengan begitu cepat sehingga membuat kita merasa apa yang kita lihat terjadi bersamaan dengan realitas. Kita hanya bisa menangkap sesuatu yang telah terjadi dan tidak bisa menangkap sesuatu yang belum terjadi.

Masa depan hanya bisa kita prediksi dengan pengalaman-pengalaman di masa lalu, dengan sejarah kita bisa memperkirakan, menghitung, dan merumuskan formula untuk memecahkan suatu masalah. Seperti semboyan Soekarno, “Jasmerah” (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Sebab sejarah menjadi faktor utama pembentuk masa depan dan sejarah merupakan bagian dari masa lalu.

Di dunia ini kita tidak hanya sedang berjuang di masa depan, namun juga sedang berjuang untuk menentukan sejarah masa lalu. Sejarah terekam oleh banyak ingatan, seluruh manusia mengingat di alam pikiran dan semua ingatan itu terbentuk oleh masa lalu. Maka berbuat baiklah agar menjadi bagian dari sejarah yang baik. Tatapi perlu diketahui, ingatan manusia hanyalah alat perekam mikro, ada alat perekam makro yang merekam seluruh pergerakan manusia.

Terkadang aku mulai curiga, jangan-jangan semua yang kita alami adalah masa lalu yang sedang diputar kembali? Jauh sebelum kita lahir di dunia ini, semuanya telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh merupakan sebuah kejadian dan merupakan suatu realitas. Hanya saja ketika kita lahir di dunia kita telah lupa dengan ingatan tersebut.

Bisa jadi alam semesta ini adalah sebuah piringan kaset yang sedang diputar dan ditampilkan dengan proyektor maha canggih. Proyeksi rekaman tersebut terpancar oleh cahaya dan manusia butuh waktu seperkian detik untuk menangkapnya. Dengan adanya jeda waktu, memungkinkan ada perubahan rekaman pada setiap detiknya, dan karena kita diberi peluang untuk menentukan suatu kejadian. Setiap kejadian memiliki peluang. Seperti ketika merasakan sakit, kita memiliki peluang untuk bahagia. Ketika dalam bahagia, kita memiliki peluang untuk sakit.

Relativitas umum mengatakan, ketika kita berada dalam kecepatan cahaya, semuanya akan berjalan melambat dan dari perlambatan itu kita dapat melihat apa yang akan terjadi. Perlambatan membuat sesuatu bergerak cepat dan percepatan membuat sesuatu bergerak lambat. Pada sisi yang lain, kapasitas memori manusia sendiri cukup besar, ia masih bisa diisi oleh banyak data dan tidak akan pernah penuh meskipun terus terisi. Firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS Ya Sin [36]: 12).

Alam semesta adalah kumpulan data. Beberapa perusahaan besar seperti Google mengadopsi cara kerja alam semesta. Seluruh data di dunia ini dikumpulkan untuk merumuskan sebuah algoritma. Contohnya adalah sebuah satelit merekam seluruh dunia dalam satu data, lalu kemudian data tersebut diproyeksikan menggunakan sebuah aplikasi navigasi bernama Google Maps.

Kini data menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan, di dalam data memuat banyak informasi termasuk sejarah peradaban manusia. Dengan data, seseorang bisa menguasai dunia. Di zaman teknologi informasi sekarang ini beragam data berhamburan dalam jagat maya. Dan data itu kita sendiri yang mengisi. Seperti ketika kita mendaftarkan diri pada sebuah toko online atau masuk ke media sosial, terdapat syarat untuk menyerahkan data diri sesuai Kartu Tanpa Penduduk dan beberapa persyaratan lainya. Data-data tersebut dikumpulkam untuk mengamati, memperediksi kecenderungan manusia, dengan begitu akan sangat mudah bagi seseorang atau perusahaan yang memiliki data untuk mengerti apa yang orang-orang suka lakukan dan sering kerjakan.

Para intelektual, seperti Yuvah Noah Harari dan Mary Belknap, mulai memopulerkan “dataisme” sebagai suatu gerakan humanis untuk mengerakkan manusia. Dari Harari kita memperoleh gambaran Homo Sapiens yang berevolusi menjadi Homo Deus atau Homo Deva. Kemudian munculnya konsep manusia sempurna yang akan menjaga bumi dengan lebih baik daripada sebelumnya. Konsep manusia sempurna memang telah dirumuskan dan dituliskan banyak oleh para sufi maupun filosof. Mungkin konsep manusia sempurna penjaga bumi nantinya ini mirip-mirip seperti konsep manusia supermannya Nietzche atau insan kamilnya Ibnu Arabi, tetapi dalam bentuk futuristiknya. Berbasis pada dataisme, konsep manusia sempurna yang dipopulerkan di abad modern ini menjadikan data sebagai satu-satunya bagian terpenting dalam membangun peradaban dan masa depan manusia.

Islam sendiri telah memiliki blueprint lebih dahulu daripada penemuan para ilmuwan maupun rumusan para intelektual. Seorang Albert Einstein terkejut ketika menemukan salah satu hadis yang berbicara tentang relativitas umum, sebuah penemuan yang melampaui zaman. Einsten mengatakan, “Islam adalah salah satu agama yang paling masuk akal”. Islam telah lebih dulu menyadarkan bahwa alam semsta adalah kumpulan data yang terekam dalam Lauh Mahfuzh.

Islam tidak hanya sekadar halal dan haram. Islam telah melampauinya lebih jauh, tentang masa depan, sains, ilmu pengetahuan, cinta, maupun kemanusiaan. Terbukti Barat telah mempelajarinya, para orientalis telah banyak melahirkan karya. Persoalannya, internal umat Islam ataupun kita di negara dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, tertinggal jauh dari Barat, ada apa? Ada yang salah dengan pendidikan kita?

Dalam rentang sejarah peradaban Islam yang telah lalu pernah mengedepankan akal rasional dan menyampingkan pengetahuan-pengetahuan spiritual. Dalam hal ini, aku selalu mengingat perkataan Pak Fahruddin Faiz dalam bukunya Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran (2019), bahwa, “Pola pikir manusia yang menggunakan mekanika akal-rasio selama berabad-abad lamanya, dan peradaban manusia yang diwarnai oleh perilaku praktis-pragmatis, membuat sebagian besar manusia hanya mau tunduk dan percaya kepada yang memiliki daya guna dan fungsi yang terlihat oleh mata” (hlm. 3). Sehingga Islam sebagai agama masa depan yang seharusnya lebih dahulu membangun peradaban umat manusia dengan lebih baik malah tertinggal.

Kembali pada topik tentang alat rekaman milik Tuhan yang bernama Lauh Mahfuzh. Mungkinkah rekaman makro milik Tuhan tersebut sudah selesai sehingga kita hanya berperan menjalaninya dan tidak bisa berupaya untuk mengubahnya? Di atas kita sudah membahasnya bahwa kita memiliki peluang untuk mengubah kehidupan.

Dalam terjamahan “Kun fayakun” dalam bahasa Indonesia diartikan menjadi, “Jadi, maka jadilah”. Pemaknaan atas “Kun fayakun” bukan “Kun fakana” yang berarti “Jadi, maka jadilah” yang membuat kata tersebut memberi artian besar bahwa seluruh penciptaan alam semesta telah selesai dan tak berlangsung lagi.

Padahal tidak, “Kun fayakun” berarti, “Jadi! Maka, terus atau akan terjadi”. Proses penciptaan alam semesta masih berlangsung. Berarti rekaman tersebut masih berjalan dan semua pergerakan di alam semesta masih direkam, seperti halnya kapasitas memori manusia tidak pernah penuh meskipun telah diisi oleh banyak data.

Masih ada peluang untuk berjuang mengubah kehidupan, tinggal sejauh mana semangat berusaha, sejauh itu juga mudah-mudahan Allah akan mengabulkannya. Keputusan hari ini akan menentukan masa depan dan di masa depan akan menjadi hakim bagi masa lalu kita. Kita sudah memiliki bekal yang lengkap untuk hidup, memiliki akal, dan sejuta pengetahuan yang tersembunyi dalam diri. Tinggal bagaimana membuka pintu pengetahuan itu, dan Islam telah menyiapkan blueprint yang utuh sebagai bekal dalam menjalani kehidupan.

Allah begitu menyanyangi kita sehingga bukan hanya kita yang bersaksi bahwa Dia ada, tetapi Dia juga menyaksikan semua pergerakan hambanya yang berjuang dijalan-Nya. God never abandon you!

Terakhir, “… Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS Hud [11]: 6). “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS Al-An’am [6]: 59).


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Rizki Eka Kurniawan

Lahir di Tegal. Seorang pembelajar psikologi dan filsafat Islam. Aktif dalam Forum Sinau Bareng Poci Maiyah Tegal.