Kritik dan Metode Demonstratif Ibnu Rusyd

slider
slider
20 Oktober 2020
|
3333

Judul: Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd: Peletak Dasar-Dasar Filsafat Islam | Penulis: Muhammad Atif Al-Iraqi | Penerjemah: Aksin Wijaya | Penerbit: IRCiSod, 2020 | Tebal: 380 halaman | ISBN: 978-623-7378-05-1

Terdapat perbedaan yang mendasar antara metode retorika (al-khatabiyyah), metode dialektika (al-jadaliyyah), dan metode demonstratif (al-burhaniyyah).

Lewat metode al-khatabiyyah (retorika), orang-orang yang berpikir retorik merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorang pun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini.

Lewat metode al-jadaliyyah (dialektika), mereka yang termasuk ahli dalam melakukan tawil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berpikir secara dialektik.

Lewat metode al-burhaniyyah (demonstratif), mereka yang termasuk ahli dalam melakukan tawil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berpikir secara demonstratif. Metode demonstratif bagi Ibnu Rusyd merupakan metode yang lebih unggul dibandingkan dengan metode yang lain.

Kritik metode filsafatnya Ibnu Rusyd hampir ke semua cendekiawan muslim, baik itu para mutakallimun Asy’ariyah dan para pengikutnya seperti Imam Al-Ghazali, kelompok Zahiriyah, para sufi, dan para filosof seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi.

Metode kritik yang dipakai Ibnu Rusyd adalah metode demonstrasi (burhan) yang didasarkan pada landasan akal. Dengan metode demonstratif ini, Ibnu Rusyd ingin mencapai keyakinan, ketegasan, dan kepastian dengan mendayagunakan akal budi. Buku Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd (2020) yang ditulis Muhammad Atif Al-Iraqi merupakan buku yang mengejawantahkan kritik filsafat Ibnu Rusyd atas metode yang lain secara komprehensif.

Kritiknya yang terhadap teolog Asy’ariyah secara sungguh-sungguh mengenai masalah yang menjadi perhatian yaitu berupa metode jadaliyyah yang itu tidak dapat menunjukkan keyakinan dan kebenaran yang hakiki.

Ibnu Rusyd tidak hanya mengkritik kalangan Asy’ariyah, namun juga mengkritik pengikut Asy’ariyah seperti Al-Ghazali. Termasuk juga kritiknya terhadap Al-Farabi dan Ibnu Sina. Sekalipun kritik terhadap Ibnu Sina lebih besar daripada Al-Farabi. Hal itu disebabakan karena Al-Ghazali dalam kritiknya terhadap filsafat lebih difokuskan kepada pendapat-pendapat Ibnu Sina.

Dalam kitab Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik jelas pendapat para filosof. Tetapi, ketika kita membaca buku ini secara detail dan teliti, serangan Al-Ghazali terfokus kepada Ibnu Sina. Bahkan, sebelum Al-Ghazali menulis kitab ini, ia mengusung pendapat-pendapatnya dari filsafat Ibnu Sina. Dari sini dapat diduga ada suatu kesalahan yang dilakukan Al-Ghazali ketika ia menamai bukunya Tahafut al-Falasifah. Seharusnya ia menamai bukunya Tahafut Al-Farabi ataupun Tahafut Ibn Sina.

Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali melakukan kesalahan ketika mengambil pendapat dari Ibnu Sina kemudian menisbatakannya kepada Aristoteles. Dari sini Ibnu Rusyd melihat perlunya mengkritik filsafat Ibnu Sina sehingga ia dapat membedakan di satu sisi filsafat Ibnu Sina sedangkan di sisi yang lain filsafat Aristoteles.

Inilah kiranya yang belum dilakukan Al-Ghazali dalam mencatut pendapat-pendapat Aristoteles melalui buku-buku Ibnu Sina. Sehingga kelebihan Ibnu Rusyd melalui metode demonstratifnya terlihat jelas di sini.

Ibnu Rusyd mengetahui bahwa Ibnu Sina tidak memahami sebagian filsafat Aristoteles sebagaimana yang harus ia pahami. Selain itu, ia juga tidak mengetahui beberapa dimensi filsafat Aristoteles sebagaimana yang harus ia ketahui. Dalam beberapa argumennya, bahkan Ibnu Sina mencampuradukkan dua filsafat, yakni filsafat Aristoteles dengan filsafat Plato, dan ia menisbatkan beberapa pendapat yang belum pernah dikatakan Aristoteles. Barangkali itu disebabkan Ibnu Sina mengalami kesulitan dalam memahami buku Utsulujia Aristoteles (hlm. 260).

Meskipun demikian, bukan berarti Ibnu Rusyd dalam segala hal berbeda sama sekali dengan Ibnu Sina. Ada sisi-sisi tertentu Ibnu Rusyd sepakat dengan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh filosof muslim berkebangsaan Arab bagian Timur ini. Bahkan, di tengah-tengah upaya mengkritik Ibnu Sina dengan metode demonstrasinya, Ibnu Rusyd mempertahankan pendapat Ibnu Sina ketika ketika berhadapan dengan Al-Ghazali, jika Al-Ghazali melakukan kesalahan dalam memahami filsafat Ibnu Sina (hlm. 265).

Merujuk kitab Tahafut al-Tahafut karya Ibnu Rusyd, kita akan mengetahui bagaimana Ibnu Rusyd menyangggah Al-Ghazali yang mengkafirkan para filosof atas argumentasi mereka masalah pengetahuan Tuhan, atas penafsiran Ibnu Sina. Pada hal ini, Ibnu Rusyd mempertahakan pendapat Ibnu Sina. Ibnu Rusyd mengatakan, “Ibnu Sina, sebenarnya, hendak menyatukan pernyataan bahwa Allah mengetahui melalui dzat-Nya, dan bahwa Dia mengetahui semua maujud, dengan pengetahuan yang lebih mulia daripada pengetahuan manusia” (Ibnu Rusyd, 2004:109).

Pernyataan tersebut menunjukan, sekalipuan Ibnu Rusyd mengkritik metode dan pendapat Ibnu Sina yang kemudian dibantah oleh Al-Ghazali dengan argumentasi yang lain, serta Al-Ghazali tidak memahami sepenuhnya apa yang ingin disampaikan oleh Ibnu Sina. Maka disitulah Ibnu Rusyd menemukan alasan untuk menerangkan kebenaran pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina dengan metode demonstratif (burhan) yang dianggap sebagai metode yang lebih unggul dibandingkan metode yang lain.

Misalanya dalam menjawab Al-Ghazali terkait qadim-nya alam, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Apa yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.

Terlihat dari pendapat tersebut metode demonstratif (burhan) yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd. Pendapat tersebut didukung oleh beberapa ayat Al-Qur’an yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Misalnya, sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air, tahta, dan masa.

Buku ini menjadi sumbangan yang berharga dalam dunia intelektual Islam terkait metode filsafat Ibnu Rusyd yang sampai sekarang masih kita pelajari di ruang-ruang akademik. Khazanah intelektual Islam akan semakin kaya dan hidup ketika melahirkan karya-karya seperti buku Muhammad Atif Al-Iraqi ini.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Raha Bistara

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Aqidah dan Filsafat Islam