Kota Gresik Tempo Dulu
Judul: Kota Gresik 1816-1916: Sejarah Sosial Budaya dan Ekonomi | Penulis: Oemar Zainuddin | Penerbit: Ruas | Tahun: April 2010 | Tebal: viii + 160 halaman | ISBN: 979-25-1642-5
Sejak pertengahan abad ke-14, kota Gresik adalah salah satu kota yang memiliki peran yang cukup besar sebagai kota dagang. Tidak hanya sebagai jalur perdagangan lokal, tetapi juga internasional. Umumnya pedagang berasal dari Arab, Cina, dan Bugis.
Selain itu, keberadaan etnis Cina memberi pengaruh dalam seni arsitektur, sehingga banyak rumah yang bernuansa Cina-Belanda. Para pedagang bahkan membentuk sebuah pemukiman khusus di Nusantara yang terdiri dari komunitasnya. Hal ini didukung dengan letak geografis kota Gresik yang strategis.
Oleh dasar itulah, Oemar Zainuddin hendak mengungkap historisitas gemilang dari kota Gresik pada masa silam. Buku tersebut menjelaskan setiap peristiwa dengan bahasa yang mudah dipahami dan disertai dengan gambar-gambar, baik itu berupa foto maupun surat-surat perjanjian sehingga pembaca dapat mendapat gambaran tentang peristiwa yang terjadi pada masa lalu, khususnya dalam sejarah sosial, budaya, dan ekonomi di Gresik. Alurnya pun cukup sistematis. Pemaparan yang disampaikan dari bab ke bab menunjukkan kemajuan-kemajuan perdagangan yang pada waktu itu cukup berkembang pesat.
Awal dan Perkembangan Kota Gresik
Pada bagian awal, buku ini berisi tentang penjelasan kondisi kota Gresik sejak zaman kerajaan Majapahit. Sejak saat itu, kota Gresik memiliki peranan sebagai kota dagang sejak pertengahan abad ke-14. Gresik dikenal pula sebagai kota pelabuhan yang letaknya strategis karena secara geografis diapit oleh dua muara sungai besar: Bengawan Solo di sisi barat kota dan sungai Brantas di sisi timur.
Kedua sungai tersebut menjadi penghubung jalur transportasi sungai ke daerah-daerah pedalaman dan menjadi lalu lintas aliran komoditi hasil pertanian yang tidak dapat dihasilkan di wilayah Gresik. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat Gresik tidak hanya berdagang, tetapi juga sebagai pengrajin dan bekerja di pabrik penyamakan kulit.
Pada bagian kedua, Oemar Zainuddin menjelaskan tentang kehidupan sosial budaya meliputi bahasa, pakaian, tradisi, agama, dan kebijakan Belanda terkait dengan perdagangan. Masyarakat Gresik mayoritas menggunakan bahasa Jawa ngoko sebagai alat untuk berkomunikasi karena seiring dengan kemajuan di bidang perdagangan, bahasa tersebut lebih mudah dipahami dan membuat pembicaraan di antara masyarakat Gresik tidak kaku.
Berkembang pula bahasa pergaulan yang biasa digunakan masyarakat yang dinamakan bahasa Gresikan. Di samping itu, mereka mengenal aksara pegon atau aksara arab gundul dan kebanyakan masyarakat yang dominan memeluk agama Islam mampu untuk membacanya. Namun, pada perkembangannya aksara latin mulai digunakan untuk kepentingan dagang.
Dalam kehidupan sehari-hari, baik laki-laki dan perempuan menggunakan pakain khas yang identik dengan identitas mereka sebagai umat Islam. Busana laki-laki adalah baju dari kain putih tanpa kerah, sarung dengan tutup kepala berupa kopiah, dengan alas kakinya adalah terompah Gresikan khas Gresik. Sementara untuk perempuan terdiri atas tiga unsur, yaitu kain batik, kebaya, dan kerudung.
Salah satu tradisi yang ada sejak dahulu ada di Gresik adalah Sinoman, yang anggotanya terdiri dari warga kampung setempat dengan tujuan khususnya untuk mengurus kematian dan pernikahan anggota dan keluarganya. Pertemuan dilakukan setiap tiga bulan di langgar atau surau setempat.
Selain itu, ada pula tradisi Pasar Bandeng (prepekan cilik dan prepekan gede) yang ada diadakan dua hari sebelum Hari Raya Lebaran untuk mengenalkan hasil produksi masyarakat Gresik dan untuk menegaskan kembali hubungan erat antara tradisi, agama dan ekonomi.
Masyarakat Gresik memiliki pandangan tersendiri tentang pekerjaan, orang Gresik menganggap bahwa menikmati pekerjaan adalah bagian dari ungkapan kebebasan, jadi pekerjaan tidak bisa dilakukan dengan keterpaksaan. Masyarakat Gresik memiliki motto “Lebih baik jadi pedagang daripada jadi pegawai”.
Pesatnya pertumbuhan pelabuhan Gresik dan berkembangnya Islam tidak lepas dari jasa Prabu Satmata atau lebih dikenal dengan Raden Paku (Sunan Giri). Seiring dengan pesatnya arus perdagangan, banyak pedagang dari luar membentuk pemukiman sendiri seperti Arab, Cina, dan Eropa.
Perekonomian Gresik Tempo Dulu
Selain itu, Oemar Zainuddin memaparkan kegiatan ekonomi masyarakat Gresik yang mayoritas bekerja sebagai pengrajin, pedagang, dan bekerja di pabrik penyamakan kulit. Pada akhir abad ke-19 sebagian besar masyarakat Gresik telah tumbuh menjadi kapitalis-kapitalis kecil dengan mengandalkan industri rumah tangga dan perdagangan yang tidak pernah tergantikan profesi lain.
Pada abad ke-20 Gresik sudah mampu melahirkan pedagang-pedagang kelas menengah yang cukup tangguh, tidak hanya dikenal di Gresik, tetapi mampu menembus hampir semua kota di pulau Jawa.
Pembahasan dalam bagian ketiga lebih banyak menjelaskan tentang perkembangan pabrik penyamakan kulit di Gresik pada tahun 1896-1916. Di samping bidang perdagangan, Gresik mempunyai daya tarik wisata yang unik terutama dengan adanya berbagai upacara yang ada. Selain itu, sifat ramah penduduk dan keindahan pemandangan serta dengan adanya kompleks budaya menambah daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Gresik.
Setelah itu, pada bagian keempat, buku ini banyak memaparkan tentang keluarga H. Oemar Akhmad yang tidak lain adalah seorang saudagar kulit yang sudah tua. Secara turun temurun keluarga H. Oemar Akhmad menekuni usaha penyamakan kulit Gresik dengan modal sendiri. Untuk mendukung usahanya, ia memanggil guru untuk memberi pelajaran kepada anak-anaknya, khususnya bahasa Belanda. Mempelajari bahasa Belanda diperlukan untuk mengetahui peraturan-peraturan yang dibuat Belanda.
Ketika menjalankan usaha penyamakan kulit, H. Oemar sudah mengenal pembukuan dan semua transaksi banyak dilakukan melalui surat-menyurat dan telegram. Anak-anak H. Oemar yang meneruskan usahanya adalah Pak Asnar, H. Djaelan, H. Achmad Djaenoeddin, H. Moeksin, dan H. Abdul Gaffar.
Sisa-sisa kejayaan pengusaha pribumi Gresik ini dapat ditelusuri dari deretan rumah yang berarsitektur tinggi di sepanjang Kampung Kemasan dan sekitarnya. Pengusaha pabrik penyamakan kulit dikenakan kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu membayar pajak kepada pihak Belanda.
Selain itu, pembahasan penyamakan kulit Gresik tersebut berlanjut pada pembahasan hubungan antarkelompok usaha tersebut. Pabrik penyamakan kulit Gresik tetap eksis selama 20 tahun terhitung dari 1896-1916 dan menjalin hubungan dagang dengan 24 kabupaten di pulau Jawa.
Dari 24 kabupaten/kota tersebut, 8 kabupaten/kota terletak di pesisir Pulau Jawa dan merupakan kota pelabuhan, 6 kota terletak di pedalaman, 4 kota terletak di pulau Madura, 2 di daerah Batavia dan 2 di daerah Gresik sendiri. Delapan kabupaten/kota di pesisir utara pulau Jawa tersebut kebanyakan membeli kulit dari Gresik kecuali Pasuruan, Lamongan dan Tuban yang mengirim kulit dan kulit zool ke Gresik.
Perkembangan sosial budaya dan ekonomi mempengaruhi banyaknya ragam adat istiadat, tradisi, maupun kesenian Gresik. Tradisi yang berkembang antara lain adalah tradisi jomblang, tradisi mengusir wabah, tradisi bedug teter, tradisi tayung raci sidayu, tradisi kemanten sunat, tradisi ater-ater dan pasar jajan. Masing-masing memiliki makna filosofi yang berkembang di Gresik.
Karya Oemar Zainuddin ini , menjadi sebuah kontribusi bagi sejarah kota Gresik yang pernah gemilang pada masa lalu. Gresik memiliki sejarah yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam untuk mendapatkan pemahaman dan informasi yang lebih kaya lagi. Oleh karena itu, buku karya Oemar Zainudin ini sangat cocok menjadi salah satu rujukan dasar untuk memberi garis besar kondisi kota Gresik pada masa lalu.
Category : resensi
SHARE THIS POST