Kisah Seorang Remaja Ekstremis
La Jeune Ahmed (2019) | Sutradara: Luc dan Jean-Pierre Dardenne | Produser: Jean-Pierre Dardenne, Luc Dardenne, Denis Freyd | Naskah: Jean-Pierre Luc Dardenne | Pemain: Idir Ben Addi, Olivier Bonnaud, Myriem Akheddiou, Victoria Bluck, Claire Bodson, Othmane Moumen, Amine Hamidou | Durasi: 84 menit
Seorang remaja berusia tiga belas tahun berlari menaiki tangga untuk mencari sinyal smartphone-nya. Ia ingin memastikan dirinya dijemput oleh saudara dan temannya. Ia kembali ke kelas dan menyelesaikan tugas matematikanya. Remaja tersebut ngeloyor pergi hingga si guru perempuan berteriak memanggilnya. Si guru ingin si murid menyalaminya, sementara si murid menolak bersalaman dan berkata, “Muslim sejati tidak akan bersalaman dengan perempuan.”
Murid itu bernama Ahmed (diperankan oleh Idir Ben Addi). Ahmed adalah tokoh utama dalam film berjudul Le Jeune Ahmed (Young Ahmed, 2019). Ahmed adalah remaja imigran dari Timur Tengah yang tinggal di Belgia.
Ahmed muslim yang taat. Ia rajin membaca Al-Qur’an dan sembahyang. Namun, ia juga mampu melontarkan kata-kata kasar kepada gurunya, Madam Ines (Myriem Akheddiou). Ines bukan sembarang guru bagi Ahmed; sang guru sudah mengajari Ahmed sejak umur lima tahun dan menangani masalah disleksia Ahmed.
Ahmed juga berlaku kasar kepada ibunya (Claire Bodson), yang gemar minum satu hingga dua gelas anggur saat makan malam. Perilaku serupa ia lakukan kepada kakak perempuannya, Yasmine (Cyra Lassman). Ahmed melontarkan istilah perempuan jalang karena cara berpakaiannya. Semua perubahan dalam diri Ahmed terjadi hanya dalam semalam.
“Sebulan lalu, kamu (masih) bermain video game,” ujar sang Ibu.
Ahmed belajar agama dari imam lokal bernama Imam Youssouf (Othmane Moumen). Youssouf adalah orang yang membuat Ahmed berubah. Melalui sang Imam, Ahmed terpapar dengan ideologi Islam ekstremis. Ia ingin Islam yang murni dan sejati dalam kehidupan kesehariannya. Islam seperti itu harus dijaga dan dipelihara. Untuk itu, kekerasan diperlukan.
Orang yang menjaga kemurnian Islam adalah seorang mujahid seperti sepupu Ahmed, yang telah tiada karena berjihad. Ahmed termotivasi oleh hasrat menegakkan Islam yang murni. Kejihadan sepupu Ahmed mendorongnya menjadi muslim yang lurus dan memiliki tekad bulat untuk berjihad. Ia tidak peduli dengan keinginan ibunya agar tidak mengikuti jejak sepupunya.
Menegakkan Islam murni berarti menyingkirkan yang tidak murni, seperti Madam Ines. Ines memiliki proyek belajar bahasa Arab modern, yang sebagian orang tua murid menganggap program tersebut bertentangan dengan bahasa Arab al-Qur’an yang hendak dilestarikan. Youssouf tentunya sangat tidak setuju dengan proyek ini, begitu pula Ahmed.
Karena program tersebut, Ines menjadi target Ahmed. Di luar kehendak Youssouf, Ahmed datang ke apartemen Ines dan mencoba membunuhnya. Ahmed gagal dan kabur menuju masjid tempat Youssouf tinggal. Merasa bahwa tindakan Ahmed bukan atas perintahnya, Youssouf menyerahkan Ahmed ke polisi dengan tujuan melindungi masjid, dan tentunya dirinya.
Sampai di sini, satu babak dari film La Jeune Ahmed ini telah dilalui. Babak berikut adalah babak saat Ahmed menjalani konsekuensi hukum dari tindakannya. Dalam menjalani hukumannya, Ahmed diharuskan untuk mengikuti program-program, seperti berkonsultasi dengan psikolog, berolahraga, dan program lainnya.
Salah satu program rehabilitasi itu adalah bekerja di peternakan. Di peternakan ini Ahmed berkenalan dengan seorang remaja perempuan bernama Louise (Victoria Bluck). Louise adalah anak pemilik peternakan. Mereka bekerja bersama dan saling jatuh cinta.
La Jeune Ahmed, yang disutradarai oleh Luc dan Jean-Pierre Dardenne, memvisualisasikan seorang remaja keturunan imigran Arab yang teradikalisasi. Ia merasa punya tradisi yang harus dipelihara dan dijaga. Dengan tradisi tersebut, Ahmed menentukan apakah sesuatu atau seseorang itu benar atau salah, beriman atau sesat, teman atau musuh.
Bagi seorang Ahmed, dunia di mana ia tinggal adalah dunia serba bebas, permisif, dan ambigu; suatu dunia yang tidak sesuai dengan tradisi agamanya. Dunia tradisinya tidak melihat seseorang itu muslim atau non-muslim, keturunan Arab atau non-Arab, sesama anggota keluarga atau di luar anggota keluarga. Sudut pandang Ahmed hanya melihat seseorang apakah ia melaksanakan tradisi tersebut atau tidak.
Kontradiksi ini ditampilkan oleh Dardenne bersaudara dalam ruang yang privat, tertutup, tersembunyi: keluarga. Di satu sisi, ada Ahmed yang tidak kenal kompromi dan menarik garis tegas antara salah dan benar. Di sisi lain, ada Ibu Ahmed dan Yasmine yang terbaratkan dengan cara berpakaian mereka atau minum anggur setelah makan malam.
Satu keluarga dengan dua (atau lebih) tradisi berbeda membutuhkan adaptasi untuk memelihara harmoni atau keselarasan. Dalam konteks film ini, adaptasi tersebut termasuk beradaptasi dengan tradisi Barat. Namun, dua tradisi berbeda itu juga bisa saling tidak berkesesuaian dan berkonflik karena resistensi terhadap tradisi tertentu.
Dalam konteks film ini, resistensi tersebut adalah resistensi terhadap tradisi Barat. Terkadang resistensi tersebut bermuara pada ekstremisme, meski tidak selalu. Dardenne bersaudara memilih yang terakhir untuk ditonjolkan.
Ketegangan seperti ini juga muncul dalam film Blinded by The Light (2019). Javed Khan (Viveik Kalra) adalah remaja keturunan Pakistan yang tinggal di Inggris. Ia menyukai Bruce “The Boss” Springstreen dan dipengaruhi oleh The Boss sehingga memiliki semacam “impian Amerika” (American dream) untuk menjadi seorang British Asian.
Ayahnya, Malk (Kulvinder Ghir), lahir dan besar di Pakistan, tetapi mencari rezeki di Inggris. Inggris bagi seorang Malik hanyalah lahan rezekinya dan ia tetap merasa sebagai muslim Pakistan. Malik pekerja keras tradisional, menentang cita-cita Javed untuk menjadi penulis. Dengan menentang cita-cita anaknya, ia menentang impian Javed. Konflik pun muncul antara Malik dan Javed.
Pada akhirnya, harmoni memeluk perbedaan antara Malik dan Javed. Keduanya berasal dari generasi berbeda dan memiliki aspirasi berbeda serta tumbuh dalam lingkungan yang berbeda. Meski perbedaan di antara Malik dan Javed cukup tajam, Javed menyadari kesamaan antara dirinya dan ayahnya. Javed menyadari harmoni dalam keluarganya adalah prioritas.
“Makna dari menjadi dibutakan (diambil dari lagu Springsteen, Blinded By The Light) adalah aku tidak dapat melihat betapa diriku seperti ayahku dan ayahku seperti diriku,” ujar Javed. Javed sendiri tetap menjadi penulis.
Di sini letak perbedaan antara Blinded By The Light dan Le Jeune Ahmed. Yang pertama menumbuhkan dan memelihara harmoni, dengan tetap mengejar kepentingan masing-masing. Yang terakhir memelihara konflik hingga film mencapai akhir.
Meskipun begitu, Dardenne bersaudara berusaha menampilkan ambiguitas dengan membuat Ahmed jatuh cinta kepada Louise. Ahmed sempat melembut karena cinta. Bahkan, ia menawari Louise untuk pindah agama dan menikahi Ahmed sehingga Ahmed tidak perlu merasa berdosa lagi karena jatuh cinta kepada Louise. Satu solusi untuk yang ganjil bagi budaya Barat yang modern.
Namun, satu plot twist muncul: Louise adalah seorang ateis. Fakta ini membuat Ahmed marah. Jatuh cinta kepada gadis kulit putih non-muslim adalah satu hal, tetapi jatuh cinta kepada Louise yang mengaku ateis adalah hal berbeda.
Dengan penuh amarah yang dipendam dalam kendaraan kembali ke rehabilitasi, Ahmed kabur keluar mobil saat berhenti. Dalam pelarian itu, Ahmed kembali ke dirinya sebelum rehabilitasi: mengejar dan membunuh Ines.
Apakah Ahmed berhasil membunuh Ines kali ini?
Mari kita kesampingkan terlebih dahulu pertanyaan di atas, karena ada satu hal yang menjadi pertanyaan saya: mengapa Ahmed kembali berniat untuk membunuh Ines setelah Louise menolak ajakan Ahmed untuk memeluk Islam dan menikahinya?
Apakah membunuh Ines sebentuk tanggung jawab (sense of duty) dalam keberimanan Ahmed atau sekadar pelampiasan dari kekesalan Ahmed yang ditolak oleh Louise? Ataukah Dardenne bersaudara hanya ingin menunjukkan kekacauan pikiran yang berasal dari cara berpikir biner seorang remaja yang teradikalisasi?
Jika yang terakhir, saya merasa kekacauan berpikir tersebut belum dieksplorasi lebih dalam. Dardenne bersaudara hanya menampilkan indikasi, kebiasaan, tingkah laku, dan tindakan Ahmed sebagai seorang remaja ekstremis. Sayangnya, sisi kejiwaan seorang Ahmed kurang disentuh, sehingga tidak menjawab pertanyaan: apa yang mendorong seorang Ahmed menjadi ekstremis?
Hal lain yang kurang tereksplorasi adalah ambiguitas. Ambiguitas memang hadir dalam menampilkan hubungan antara Ahmed dan Louise. Namun, jika ambiguitas diyakini bisa memediasi ekstremitas, ada ruang lain bagi ambiguitas untuk lebih kentara. Ruang tersebut adalah melalui tokoh Rachid (Amine Hamidou).
Rachid adalah tokoh yang mampu menampilkan warna ambigu. Ia tidak sepenuhnya mendukung ibu dan Yasmine. Namun, ia juga tidak sepenuhnya berpihak kepada Ahmed dan Youssouf.
Rachid adalah remaja yang relatif “normal”. Ia masih bisa bercanda dengan temannya saat menjemput Ahmed. Ia tidak seserius dan seekstrem Ahmed dalam keyakinannya.
Adegan Ahmed yang terganggu mengaji Al-Qur’an di mobil oleh kelakar Rachid dan temannya adalah adegan keseriusan agama (Ahmed) lebih utama daripada kesantaian dalam beragama (Rachid). Kesantaian dalam beragama bisa diperdalam di film ini, Rachid bisa diberikan peran lebih.
Singkatnya, Rachid bukan Ahmed yang begitu serius dan ekstrem dalam beragama dan membelah dunia menjadi dua sisi: dunia kami dan mereka. Rachid tidak menjadi seorang ektremis. Jika karakter Rachid dieksplorasi lebih dalam, film ini tidak terjebak ke dalam penyederhanaan.
Category : resensi
SHARE THIS POST