Ketidaktahuan dan Kebahagiaan

slider
04 Januari 2025
|
693

Where ignorance is bliss, 'tis folly to be wise” (Di mana ketidaktahuan adalah kebahagiaan, adalah kebodohan untuk menjadi bijaksana) kata Thomas Gray, dalam puisi On a Distant Prospect of Eton College (1747). Penulis kali pertama mengetahui adagium “ketidaktahuan adalah kebahagiaan” (ignorance is bliss) dari postingan reels Instagram bernuansa dark academia pada suatu pagi yang malas. Setelahnya sebab penasaran, ibarat kapal selam, mengeksplorasinya jauh lebih dalam.

Sependek riset penulis, frasa klasik tersebut berakar dari bait puisi penyair Inggris abad ke-18, Thomas Gray. Sependek pengetahuan dan ingatan penulis, sepanjang sejarah ungkapan idiomatik tersebut merentang, secara implisit, dari Alegori Gua Plato sampai lirik lagu Tame Impala, The Less I Know The Better (2015).

Di banyak budaya, hadir berbagai variasi kalimat yang bisa dikatakan mempunyai bobot makna serupa. Sebut saja, “A fool lives in their paradise” (Orang bodoh tinggal dalam surga mereka). Menyoal variasi frasa ini, kalau boleh menambahkan, maka, “Orang yang pintar tinggal dalam neraka dunia.” Hemingway dalam novel The Garden of Eden (1986), pun seakan memvalidasinya dengan menulis bahwa “Kebahagiaan pada orang yang cerdas adalah hal yang paling langka yang kutahu.”

Di titik ini, penulis ujug-ujug teringat Žižek, filsuf yang mempunyai masalah sinusitis dan gelar magister dalam bidang memasang wajah badmood. Pada 2008, dalam suatu wawancara dengan Rosanna Greenstreet, ia ditanya “Apa yang membuatmu depresi?” Žižek menjawaban, “Melihat orang bodoh bahagia.”

Apakah Ketidaktahuan adalah Benteng?

Penulis hampir selalu menaruh curiga bahwa satu-satunya alasan mengapa dunia selama masa kanak-kanak tampak lebih baik ketimbang hari ini adalah sebab pada saat itu diri kita merupakan seorang anak. Apa yang ada dalam pikiran senaif dan penalaran sesederhana itu (Kita bisa berdebat panjang soal itu), tetapi kita tetap tidak bisa melakban fakta bahwa ketidaktahuan adalah sesuatu yang melindungi kita dari betapa rumit dan mengerikannya realitas. Dan sebaliknya, pengetahuan membuka mata kita pada berbagai dilema membagongkan dan memusingkan.

Scientia potentia est” (Pengetahuan adalah kekuatan), kata Sir Francis Bacon. Filsuf beken penanda transisi antara Renaisans dan Era Modern Awal, benar. Tetapi mungkin yang dimaksud ‘kekuatan’ dalam pepatah Latin tersebut adalah “kekuatan untuk berlarut-larut mempertanyakan masalah-masalah yang membikin lupa punya perut dan pertanyaan-pertanyaan abadi tentang kehidupan yang belum/tidak ada jawabannya”.

Bagaimana tidak? Secara garis besar, yang-tak-ignorance cenderung berpikir berlebihan dan terus-menerus menganalisis peristiwa-peristiwa, lingkungan sekitar, dan seterusnya. Segala sesuatunya tidak pernah sehitam-putih yang kasatmata, yang-tak-ignorance senantiasa membaca setiap baris dan kata, maka dan makna. Tak jarang, surplus pikiran membawa pada kesimpulan yang tidak memuaskan atau malah membikin frustrasi. 

Ketika sebagian besar orang merasa puas dengan melakukan doom scrolling di TikTok, yang-tak-ignorance dipusingkan hanya karena mereka mencoba menjawab, misalnya, Kapitalisme lanjut yang merongrong eksistensi manusia, masalah troli, bahaya AI, atau paradoks fermi. Mereka sepuluh kali lipat lebih rawan tersiksa oleh isu-isu seperti kepunahan massal ke-6 ketimbang seseorang yang tahu Efek Rumah Kaca—yang tiak lebih dari sekadar nama sebuah band—alih-alih proses naiknya suhu bumi yang disebabkan perubahan komposisi atmosfer.

Memangnya, siapa mau menelan fakta-kemungkinan pahit, katakanlah, bahwa tempat berpijak yang tampak tak berbatas ini hanyalah titik biru pucat—insignifikan—dalam panggung semesta (sebagaimana Sagan puisikan)? Siapa bisa tidur nyenyak setelah membaca kemungkinan bahwa dalam sekitar 5 juta tahun lagi matahari bakal meledak?

Fakta-kemungkinan ini niscaya membikin siapa pun yang mengetahuinya kehilangan makna dalam hidup. Secara sepintas, argumennya adalah “Apa yang tidak kau ketahui tidak akan menyakitimu.” Mengingat banyak dari kita berakhir menjadi prajurit yang menempa terlalu banyak pedang sebab takut mati terlalu dini dalam perang.

Dengan demikian, dapat kita bayangkan ketenangan-kenikmatan surgawi yang dirasakan seorang nirliterasi dan kurang informasi. Bukankah, betapa indah hidup templat: lahir, bekerja-menghamba pada kapitalisma, mati. Dan betapa susah: lahir, memikirkan masalah kesadaran yang sulit à la Chalmers, mati? Bagi penulis yang rasa-rasanya masih mempunyai humanisme meski sebiji sawi, sulit untuk tidur nyenyak dan makan enak setelah membuka mata bahwa masih di planet yang sama Israel melakukan genosida atas Palestina.

Ketidaktahuan akan hal-perihal tertentu dapat menghindarkan kita dari kecemasan berlebih. Bayangkan jika kita harus mengetahui fakta-kemungkinan bahwa terdapat sekitar 49 juta kanguru di Australia dan 5,4 juta manusia di Kabupaten Bogor—itu artinya, kalaulah Kanguru menyerang Kabupaten Bogor, maka setiap dari mereka harus bertarung melawan setidaknya 9 kanguru.

Sebagai catatan, selain mempunyai kaki belakang berotot yang mampu mengerahkan kekuatan tendangan sekitar 344 kg, kanguru juga memiliki kekuatan pukulan sekitar 125 kg. Dengan asumsi dasar ini, ditonjok kanguru, secara kasar, rasanya serupa ditabrak motor dengan kecepatan sekitar 64 km/jam. Tentu, itu lebih dari cukup untuk meremukkan tulang rahang manusia dewasa.

Kita akan kesal dan merasa tidak dapat melakukan apa pun untuk mengubah situasi. Jadi, kita berusaha berhenti memikirkannya dan dengan demikian melupakan betapa sulitnya jika setiap orang Kabupaten Bogor harus beradu jotos dengan 9 Kanguru. Setelah melupakannya, kita kembali bahagia, atau setidaknya sama bahagianya seperti sebelum mendengar fakta-kemungkinan itu. Di titik ini, “ignorance is bliss”, menemukan pembenarannya. Kalau kita menerjemahkannya sebagai, “Apa yang tidak kita ketahui takkan memusingkan kita.”

Di sisi lain, secara umum, gagasan bahwa ketidaktahuan adalah kebahagiaan begitu bertubrukan dengan klaim Socrates bahwa “Kehidupan yang tidak diuji tidak layak untuk dijalani.” Seorang tua yang menyebalkan itu, secara heroik mengucapkan kata-kata ini setelah memilih mati menenggak racun hemlock ketimbang diasingkan.

Socrates percaya bahwa pengetahuan tentang kebenaran begitu penting, begitu esensial, berapa pun harganya. Berbeda dengan Gray, Socrates percaya bahwa hidup dengan “mengetahui” adalah jenis kehidupan yang terbaik. Baginya, hidup dalam ketidaktahuan demi mengejar kesenangan duniawi adalah kehidupan yang lebih cocok untuk hewan, bukan manusia.

Benarkah ketidaktahuan adalah kebahagiaan? Entahlah. Namun yang jelas, sering kali, rasa penasaran adalah front office sebelum menuju kamar kesengsaraan. Meski terdengar pesimistis, penting untuk digarisbawahi bahwa orang-orang pada umumnya tidak tahu tentang banyak hal, dan dalam proses memperluas pengetahuan, rasa sakit tidak bisa dihindari.

Rasa sakit ketika menyadari bahwa kita begitu bodoh tetapi dengan congkak membusungkan dada seakan-seakan mengetahui dunia lengkap dengan seluruh jeroannya. “Tidak seperti perut, otak tidak memberi tahumu ketika ia kosong”—begitulah kata pepatah Arab.

Mengutip Kafka dalam Blue Octavo Notebooks (1953), “Salah satu tanda pertama dari memahami sesuatu adalah keinginan untuk mati.” Seekor ikan laut dalam yang tidak pernah terekspos sinar matahari akan terkejut-terheran-heran dan tersiksa ketika terpapar matahari. Dan tentu sangat gampang untuk diam dalam kegelapan dan merasa puas, tetapi ketika kita mencari cahaya, kita niscaya menemukan dunia baru. Sebuah dunia yang terang, berwarna, dan dipenuhi kompleksitasnya. 

Ketidaktahuan adalah kebahagiaan, tetapi pengetahuan bisa membikin kita bahagia. Kebahagiaan itu bisa kita dapatkan dari sensasi rasa kontrol terhadap alam, misalnya. Sewaktu inonens, kita tersiksa oleh hujan tetapi setelah mengetahui bahwa ada BMKG yang memberikan prakiraan cuaca hari ini kita bisa sedikit mengantongi tenang dengan membawa jas hujan atau payung dan terhindar dari basah yang menyebalkan.

Terakhir, ketika pikiran kita terlalu penuh dan meletup-letup, kita mungkin ingin kehilangan kemampuan membaca; ingin buta huruf. Sayangnya, tidak ada jalan kembali—menuju kepolosan—setelah bisa mengeja. Semoga kita terus lapar untuk belajar dan mengetahui-memahami sesuatu. Apa pun dan berapa pun harganya.

“Seseorang akan tetap menjadi berilmu selama ia masih terus mencari ilmu, tetapi jika ia mengira (telah) berilmu (tiada belajar lagi) maka sungguh ia telah menjadi bodoh.”—al-Mujaalasah wa Jawaahiril-‘Ilmi, jilid 2, hlm. 186.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Mochammad Aldy Maulana Adha

Mochammad Aldy Maulana Adha lahir di Bogor, Jawa Barat—pada 27 Maret 2000. Seorang Pengarang; Founder Gudang Perspektif; Editor-Ilustrator Omong-Omong Media; & Penerjemah paruh-waktu. Bisa disapa melalui: email-genrifinaldy@gmail.com; instagram-@genrifinaldy; twitter-@mochaldyma.