Ketajaman Akal Manusia Menurut Ibnu Rusyd: Retoris, Dialektis, dan Demonstratif

slider
10 Februari 2025
|
490

Manusia tidak hanya dibekali oleh Tuhan dengan fitrah untuk condong kepada kebenaran, tetapi juga dengan akal sebagai instrumen pelacaknya. Sejak lahir, manusia menggunakan akalnya untuk menyadari realitas sekitarnya. Indra hanya mampu meraba, tetapi akal bekerja untuk membedakan apa yang layak dikonsumsi demi kesehatan dan tumbuh kembangnya. Misalnya, bayi yang mengenali ASI sebagai sumber nutrisi melalui pengindraannya sesungguhnya juga melibatkan akal, meski masih terbatas.

Seiring pertumbuhan, manusia semakin mengandalkan akal dalam menghadapi realitas. Awalnya, akal digunakan untuk memenuhi kebutuhan lahiriah. Namun, dengan berkembangnya kemampuan berpikir, manusia mulai memenuhi kebutuhan batiniahnya melalui proses pembandingan (tamyīz atau qiyās) dari informasi yang telah ia ketahui. Ketajaman akal berbeda-beda antarindividu, tergantung pada sejauh mana akal digunakan untuk memahami hal-hal non-indrawi.

Bukti keberagaman ketajaman akal manusia terlihat pada kemampuan memahami dan menguasai ilmu. Ada yang menguasai satu ilmu, beberapa ilmu, hingga banyak ilmu dalam ragam bahasa. Meski begitu, banyaknya ilmu yang dikuasai tidak selalu berbanding lurus dengan ketajaman akal seseorang dalam memahami kebenaran.

Ibnu Rusyd membagi manusia menjadi tiga golongan berdasarkan kapasitas rasionya dalam memahami informasi. Pertama, golongan khiṭābī (retorika), mereka yang hanya memahami informasi sederhana dan bersifat langsung. Kedua, golongan jadalī (dialektika), mereka yang mampu memahami informasi melalui perdebatan logis. Ketiga, golongan burhānī (demonstratif), mereka yang mampu berpikir mendalam dengan pola pikir seorang filsuf, yang menghasilkan argumen lebih meyakinkan.

Artikel ini akan berupaya membahas ketiga golongan tersebut dalam perspektif Ibnu Rusyd. Namun, sebelumnya akan mulai dari biografi dan pemikiran Ibnu Rusyd, definisi tiap pola piker manusia dari Ibnu Rusyd, hingga relevansinya dengan fenomena masa kini.

Biografi dan Pemikiran Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd, atau dikenal di eropa sebagai Averroes (1126–1198 M), adalah seorang filsuf, ahli hukum, dan cendekiawan Islam terkenal dari Cordoba, Spanyol. Lahir dalam keluarga terpandang ahli hukum, ia mengikuti jejak kakeknya sebagai qādī (hakim) utama di Cordoba, sebuah posisi bergengsi yang menggabungkan otoritas hukum dengan tugas pemerintahan.

Ibnu Rusyd mendalami ilmu-ilmu Islam, termasuk tafsir Al-Qur’an, hadis, dan fikih, serta unggul dalam bidang kedokteran dan filsafat. Karier intelektualnya berkembang di bawah naungan para pemimpin Dinasti Al-Muwaḥḥidun, dimulai dengan pertemuan penting antara 1153 dan 1169 M, ketika ia diperkenalkan kepada Khalifah Abu Ya’qub Yusuf oleh filsuf Ibnu Ṭufayl.

Dari percakapan yang berfokus pada pertanyaan filosofis mendalam, membuat Ibnu Rusyd memperoleh kepercayaan khalifah dan ditugaskan untuk menjadi komentator karya-karya Aristoteles. Tugas ini menjadi tonggak warisan Ibnu Rusyd. Dengan interpretasinya, Ibnu Rusyd memengaruhi dunia Islam dan Eropa abad pertengahan.

Selain prestasi intelektual, Ibnu Rusyd juga menjabat sebagai dokter pribadi para pemimpin Dinasti Al-Muwaḥḥidun, menggantikan Ibnu Ṭufayl pada 1182 M. Meskipun sibuk sebagai qādī di Sevilla dan Cordoba, Ibnu Rusyd tetap mendedikasikan waktu yang signifikan untuk filsafat, terbukti dari karya-karya berpengaruh seperti Faṣl al-Maqāl, Tahāfut al-Tahāfut, dan Kasyf al-Manāhij.

Karya-karya Ibnu Rusyd tersebut membela keselarasan antara agama dan filsafat, sekaligus menantang para kritikus penyelidikan rasional. Kontribusi Ibnu Rusyd yang menjembatani pemikiran Islam dan Yunani, menjadikannya tokoh penting dalam melestarikan dan menyampaikan filsafat Aristoteles ke dunia Barat. Warisan Ibnu Rusyd yang abadi mencerminkan dampaknya yang mendalam terhadap tradisi intelektual Islam dan skolastisisme Eropa.[1]

Khiṭābī, Jadālī, Burhānī: Tiga Pola Pikir Manusia

Dalam Faṣl al-Maqāl, istilah khiṭābī, jadālī, burhānī terinspirasi dari surah Al-Naḥl ayat 125, “Ud‘u ilâ sabîli rabbika bil-ḫikmati wal-mau‘idhatil-ḫasanati wa jâdil-hum billatî hiya aḫsan, inna rabbaka huwa a‘lamu biman dlalla ‘an sabîlihî wa huwa a‘lamu bil-muhtadîn.”

Artinya, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah [burhānī] dan pengajaran yang baik [khiṭābī] serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik [jadālī]. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”

Inspirasi dari surah Al-Naḥl ayat 125, mengajarkan tiga cara argumentasi yang sesuai dengan ketajaman akal manusia agar syariat dapat diterima semua kalangan. Argumentasi terkuat adalah yang bersifat demonstratif (burhānī), sebab argumentasi ini memberikan pemahaman yang meyakinkan (al-ta’wīl/al-qiyās al-yaqīnī). Kebenaran argumentasi demonstratif pasti tidak akan menyelisihi syariat, karena kemustahilan kebenaran menolak kebenaran yang lain.[2]

Untuk sampai pada pola pikir demonstratif, seseorang harus sudah menguasai pola pikir retoris (khiṭābī) dan dialektis (jadālī). Argumentasi khiṭābī bersifat dapat dipahami oleh seluruh golongan manusia. Bila kita melihat kembali ayat 125 dari surah Al-Naḥl, pengajaran yang baik dalam bahasa Arab disebut mau’iẓah yang secara tekstual berarti nasihat.

Khiṭābī atau retorika bertujuan untuk meyakinkan lawan bicara tentang apa yang tersampaikan padanya. Struktur informasi dalam bentuk khiṭābī bersifat sederhana, serta mengutamakan informasi yang dapat dipahami secara langsung tanpa proses berpikir yang lebih rumit.

Adapun jadālī dan burhānī memerlukan proses berpikir yang kompleks. Pembeda keduanya terletak pada proses dan relevansinya dengan pola pikir yang lain. Argumentasi jadālī sering digunakan oleh para teolog (mutakallim) dan ahli hukum fikih. Namun, Ibnu Rusyd mengkritik pola pikir mereka ini karena hanya dapat dipahami oleh kalangan mereka sendiri.

Kaum khiṭābī hanya bisa tercengang dengan dialektika mereka, dan kaum burhānī merasa heran dengan argumentasi mereka yang problematik. Penjelasan secara jadālī dan burhānī dirasa berbelit oleh orang awam, dan kurang sempurna atau teliti bagi para filsuf.[3] Ibnu Rusyd sudah mengisyaratkan hal ini dengan penafsirannya atas Al-Naḥl ayat 125.

Mau’iẓah yang retoris dapat dipahami semua kalangan dan begitu pula hikmah yang demonstartif. Sedangkan dialektika harus bermula dari ketaksepemahaman (debat) untuk memahami argumentasinya. Konsekuensi dari jadālī adalah mengunggulkan salah satu dan mengkerdilkan selainnya. Sedangkan argumentasi khiṭābī sederhana, dan argumentasi burhānī yang kompleks dapat berelevansi dengan pemahaman umum manusia.

Contoh-contoh pernyataan khiṭābī, jadalī, burhānī beserta relevansinya akan dijelaskan pada poin berikutnya.

Relevansi Pola Pikir Khiṭābī, Jadalī, dan Burhānī dengan Fenomena Sekitar

Ketiga term (khiṭābī, jadalī, dan burhānī) ini dalam pemikiran Ibnu Rusyd sebenarnya digunakan untuk mengkritik para teolog, terutama dari aliran Asy‘arīyah. Dalam Kasyf al-Manāhij, Ibnu Rusyd mengkritik aliran-aliran teologi secara berurutan berdasarkan cara mereka bernalar.

Teologi Asy‘arīyah menetapkan sifat ma‘nawīyah yang tujuh (qudrah, irādah, sama’, baṣar, hayāh, ‘ilm, kalām) bagi Allah yang menurut Ibnu Rusyd sifat-sifat ini rancu. Sifat-sifat ini saling terkait, tetapi dan dapat disederhanakan jika berfokus pada sifat ‘ilm, tetapi para teolog Asy‘arīyah malah membuatnya rumit.

‘Ilm harus ada bersama hayāh, sementara hayāh tidak masalah jika tanpa ‘ilm, dan pada ‘ilm sudah ada qudrah, irādah, baṣar, sama’ serta kalām, lalu mengapa sifat-sifat tersebut berdiri sendiri? Menurut Ibnu Rusyd, ‘ilm sudah mewakili semua sifat tersebut, karena syarat ‘ilm adalah hayāh dan enam sisanya adalah bagian dari ‘ilm.[4]

Kalangan Asy‘arīyah yang menetapkan sifat ma‘nawīyah yang tujuh dengan jelas terdapat paradoks di dalamnya. Jika ‘ilm-Nya meliputi segala sesuatu, dalam berbagai waktu dan tempat, berarti ‘ilm-Nya sudah ada (hayāh), mampu (qudrah), sesuai kehendak-Nya (irādah), bahkan terhadap manusia (baṣār, sama’, kalām). Dari sini terlihat argumentasi Ibnu Rusyd lebih sederhana dan tepat, karena bersifat demonstratif. Argumentasi Ibnu Rusyd lebih dapat dipahami dengan mudah oleh orang awam (khiṭābī/retoris) dan memberikan keyakinan bagi filsuf (burhānī/demonstratif).

Para teolog tetap benar dengan keyakinannya, tetapi keyakinannya terselimuti oleh keangkuhan, karena hanya kalangan mereka sendiri yang dapat memahami penjelasan mereka yang berbelit (jadalī/dialektik).

Contoh lainnya adalah mengenai istiwā’ Allah. Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 28 (“… Kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia akan mematikan kamu, Dia akan menghidupkan kamu kembali…”) atau hadis yang menerangkan bahwa Allah berada di langit, manusia berbeda pendapat akan maknanya.

Bagi yang bermodel nalar khiṭābī, percaya bahwa Allah memang di langit secara harfiah. Bagi yang bermodel nalar jadalī (teolog), percaya bahwa Allah tidak berada di langit, karena Dia tidak diliputi makhluk. Pendapat dari hasil bernalar secara jadalī ini muncul dari hasil berdialektika dengan ayat lain yang menyatakan bahwa Allah tidak menyerupai apa pun.

Sedangkan bagi yang bermodel nalar burhānī, akan berkata bahwa Allah berada dalam keagungan. Sebab langit adalah lambang keagungan, dan kata samā’(langit) berasal dari kata samā (agung).Keunggulan model nalar burhānī terletak dari cara berargumennya yang tidak meninggalkan teks yang dapat dipahami secara langsung; kata “agung” juga menunjukkan ketakserupaan Allah dengan selain-Nya.

Model nalar burhānī ini yang perlu diterapkan dalam keseharian kita, untuk mengatasi kontradiksi tanpa keluar dari hal-hal dasar. Kita dapat menghindari hal-hal rasional dan logis yang menipu atau yang belum bebas dari bantahan. Meskipun demikian, kekurangan nalar burhānī terletak pada kapasitas ilmu penalarnya.

Penutup

Pemahaman terhadap tiga pola pikir khiṭābī, jadalī, dan burhānī sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Rusyd, menunjukkan bahwa keberagaman kapasitas nalar manusia adalah sebuah keniscayaan. Dengan memahami pola pikir khiṭābī, jadalī, dan burhānī dapat membantu kita dalam menyikapi realitas yang kompleks di era modern, di mana perbedaan pendapat dan sudut pandang sering kali menciptakan ketegangan.

Dengan mengadopsi pola pikir burhānī yang lebih mendalam, logis, dan inklusif, kita dapat menyelaraskan pemahaman antara berbagai kelompok tanpa mengabaikan esensi kebenaran. Hal ini juga menjadi pengingat bahwa nalar yang tajam bukanlah sekadar kemampuan menguasai banyak ilmu, melainkan juga kemampuan untuk mengintegrasikan ilmu dengan kebijaksanaan, sehingga menghasilkan pemahaman yang utuh, mendamaikan, dan membangun harmoni dalam kehidupan.

*Disampaikan dalam Kelab Baca MJS Diskusi Buku “Metode Kritik Filsafat Syaikh Ibnu Rusyd”, pada 26 Januari 2025 di Taman Indah Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.

Referensi:

“Contents and significance of works of Averroes” dalam https://www.britannica.com/biography/Averroes/Contents-and-significance-of-works, Diakses pada 27 Januari 2025.

Al-Iraqi, Muhammad Atif, 2020, Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd, penj. Aksin Wijaya, Yogyakarta: IRCiSoD.

Rusyd, Ibn, 1986, Faṣl al-Maqāl, Beirut: Dar al-Masyriq.

_________, 1998, Kasyf al-Manāhij al-Adillah fī ‘Aqāid al-Millah, Beirut: Dar al-Masyriq.

 

 

[1] “Contents and significance of works of Averroes” dalam /www.britannica.com/biography/Averroes/Contents-and-significance-of-works. Diakses pada 27 Januari 2025.

[2] Ibn Rusyd, Fal al-Maqāl (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hlm. 34–35.

[3] Muhammad Atif al-Iraqi, Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd, penj. Aksin Wijaya (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), hlm. 63-65.

[4] Ibn Rusyd, Kasyf al-Manāhij al-Adillah fī ‘Aqāid al-Millah (Beirut: Dar al-Masyriq, 1998), hlm. 129–36; Al-Iraqi, Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd, hlm. 113–40.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Arya Aulia Razmi

Pegiat Komunitas Balai Sunyi