Keramahan Masjid dan Ahl al-Shuffah
Malam itu saya datang terlalu cepat. Pengajian di Masjid Jendral Sudirman, belum dimulai. Pembicara belum hadir. Sambil menunggu, saya berbincang dengan seorang tukang becak. Bapak itu, bersama sejumlah pengayuh becak yang lain, menginap di becaknya yang diparkir di samping masjid. Beliau bukan asli Yogyakarta. Asalnya dari Klaten.
“Setiap setengah bulan sekali baru pulang ke rumah”, tuturnya. Tentu untuk menjenguk keluarga. Juga untuk memberikan pendapatan yang diperoleh selama setengah bulan mengayuh tiga rodanya itu.
Setelah seharian mengayuh becak, beliau pulang ke Masjid Jendral Sudirman. Begitu pula rekan-rekannya seprofesi. Sebagai balas jasa, beliau, juga tukang becak lain, membantu takmir membersihkan dan menghidupkan masjid. Bersama takmir, saban Jumat mereka membersihkan tempat wudhu dan kamar mandi. Pada sebuah pengajian di Masjid Jendral Sudirman, saya pernah menyaksikan seorang tukang becak membantu takmir menghidangkan konsumsi bagi jamaah.
Tinggal di samping masjid mengundang berkah tersendiri bagi mereka. Shalat jamaah terjaga. Dengan demikian, sedikit banyak, hati pun terjaga.
Bila berada di sekitar, apalagi di dalam masjid, kita pun berada dalam dzikir yang tak putus-putus. Minimal, kita terpanggil untuk eling sesering mungkin. Allah terasa hadir sepanjang waktu.
Selain memperoleh berkah itu, mereka mendapat berkah lain: dapat mengikuti pengajian rutin yang diadakan pada malam-malam tertentu di masjid tersebut. Saya sering melihat beberapa tukang becak duduk dalam barisan jamaah, menimba ilmu dari kyai atau ustad yang menjadi pengisi pengajian.
Dalam ikhtiarnya mencari nafkah, mereka tetap belajar. Mereka menjadi pekerja yang santri, golongan sosial istimewa yang anggotanya tidak banyak.
Pada zaman akhir yang edan bin materilistis ini, dunia diburu, sedangkan akhirat cenderung dilupakan. Agama menjadi sekadar seperangkat lambang yang tak bermakna, bagai jasad yang kehilangan ruh, bagai kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange.
Gejala umumnya, selain diperdagangkan, agama juga digunakan sebagai kendaraan politik. Di Yogyakarta, selain Masjid Jendral Sudirman, ada sejumlah masjid lain yang ramah kepada tukang becak. Dua di antaranya adalah Masjid Sonyoragi, Gondokusuman, dan Masjid Diponegoro, masjid balai kota.
Di depan pendapa Masjid Sonyoragi, sebuah masjid Pakualaman, kadang-kadang saya melihat tukang becak yang memarkir becaknya di depan pendapa masjid. Di sana mereka melepas lelah. Ketika malam datang, mereka menginap di atas becaknya.
Di sekitar Masjid Diponegoro, saya memang jarang melihat becak diparkir. Walaupun demikian, masjid ini sebenarnya ramah dengan tukang becak.
Pada bulan Ramadhan 1438 H, takmir masjid mengadakan pesantren khusus untuk tukang becak. Siapa pun orangnya, asalkan tukang becak yang beroperasi di Kota Yogyakarta, boleh mendaftar. Tidak dipungut biaya.
Mereka dapat mengikuti pengajian rutin selama Ramadan secara gratis. Selain itu, mereka pun memperoleh tunjangan hari raya yang jumlahnya lumayan. Keramahan ketiga masjid tersebut pada tukang becak mengingatkan saya akan keramahan Masjid Nabawi terhadap kaum mustadhafin, kelompok masyarakat kelas paling bawah, rakyat kecil yang terpinggirkan.
Pada zaman Baginda Rasul, mereka menginap di emperan Masjid Nabawi. Karena itu, mereka disebut Ahl al-Shuffah: penghuni emperan. Baginda Rasul mengelola Masjid Nabawi, rumah Ilahi, sebagai rumah wong cilik: rumah mereka-mereka yang dari segi materi keduniwian mungkin tidak seberuntung yang lain.
Sekarang, banyak masjid yang berdiri megah, mewah, tapi terkadang wegah menerima para wong cilik, barang di emperan-pendapa masjid sekalipun. Malah, sederet kata “Awas” dan “Dilarang” tertempel yang menyiratkan kesan yang tak ramah.
Sebagai fakir yang boleh dikata tunakarya dan tunawisma, Ahl al-Shuffah hidup hanya dari sedakah, khususnya sedekah dari Baginda Rasul. Karena Baginda Rasul sering berpuasa, mereka juga sering berpuasa.
Meskipun penghidupan jasmani mereka tak menentu, mereka memperoleh rezeki ruhani berlimpah. Merekalah termasuk golongan yang paling sering dan paling rajin mendengarkan ceramah Baginda Rasul yang disampaikan di Masjid Nabawi. Tidak heran kalau salah satu Ahl al-Shuffah, Abu Hurairah, kelak masuk ke dalam barisan sahabat dengan jumlah hafalan hadis terbanyak.
Nama Abu Hurairah tercantum dalam kitab-kitab hadis, dalam kitab-kitab keagamaan apa saja, disebut-sebut dalam majelis ilmu. Abu Hurairah dikenang hingga kini, esok dan seterusnya.
Ahl al-Shuffah diperhitungkan sebagai golongan muslim dengan penghayatan keagamaan yang mendalam. Rasa dan perilaku beragama mereka bahkan dipandang sebagai cikal bakal lahirnya tasawuf. Sebutan tasawuf sering dikaitkan dengan kata “shuffah”.
Kaum sufi sering dimengerti sebagai muslim yang hidup serba bersahaja, sebersahaja Ahl al-Shuffah. Pakaian yang dikenakan sederhana. Makan sedikit, tidak hidup mewah dan glamor, tidak terikat pada dunia. Bersikap rendah hati dan iso rumangso, ora rumangso iso.
Demikianlah, Ahl al-Shuffah turut membidani kelahiran tasawuf, cagar spiritual agama Islam. Keramahan Masjid Nabawi terhadap para Ahl al-Shuffah ternyata membuahkan warisan kultural amat berharga.
Mudah-mudahan, keramahan Masjid Jendral Sudirman, Masjid Sonyoragi, dan Masjid Diponegoro terhadap tukang becak juga membuahkan warisan kultural yang berharga.
Warisan kultural bakal semakin besar jumlah dan berkahnya apabila masjid-masjid lain bersikap ramah terhadap wong cilik, dalam arti menjadi rumah Ahl al-Shuffah. Bukan sebaliknya, asing dan jauh dari wong cilik, apalagi membuat mereka segan dan keder. Demikianlah, kita tak perlu mengulang-ulang kritik Gus Mus tentang masjid dalam puisi Kaum Beragama Negeri Ini:
Tuhan,
lihatlah betapa baik
kaum beragama
negeri ini
mereka tak mau kalah dengan kaum
beragama lain
di negeri-negeri lain.
Demi mendapatkan ridhomu
mereka rela mengorbankan
saudara-saudara mereka
untuk merebut tempat
terdekat disisiMu
Category : catatan santri
SHARE THIS POST