Kenangan Masjid dan Peristiwa Bulan Rajab
Sudah sangat lama tidak menulis di media Masjid Jendral Sudirman (MJS). Tujuh tahun lebih sepertinya, semenjak tidak lagi tinggal di Yogyakarta. Sekarang hanya bisa mengikuti dan menikmati kajian lewat YouTube MJS Channel. Klangenan, ketika admin ngeshare setiap tulisan yang tayang di website literasi masjid ke grup WhatsApp Ngaji MJS.
Kali pertama terjalin dengan MJS dari menulis untuk Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman. Saya menyebutnya sebagai buletin reflektif atau curhat, tidak jamak sebagaimana buletin yang saya dapatkan waktu itu, yang banyak dalil-dalil, dan tidak jauh berbeda dengan khutbah Jumat. Buletin terbitan MJS terbilang beda.
Tonggak awal literasi masjid Masjid Jendral Sudirman adalah keberadaan buletin Jumat. Sejak 2007, Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman ajek menurunkan tulisan setiap hari Jumat—kecuali libur atau meliburkan diri. Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman terakhir terbit cetak pada 9 April 2021—berkenaan dengan pandemi Covid-19. Buletin kembali mulai terbit dalam bentuk cetak (Desember 2023) dengan format baru: Buletin Bulanan Masjid Jendral Sudirman (red.)
Sebagai jamaah—yang tidak selalu rutin shalat lima waktu di MJS—masjid ini menjadi rumah kedua setelah kos-kosan. Bedanya, kos-kosan menjadi tempat rehat, sementara MJS menjadi tempat jeda dari hiruk pikuk duniawi, dengan mengikuti (kala waktu itu) Ngaji Al-Hikam dan Ngaji Rubaiyyat Rumi. Dari mengikuti ngaji ini, menjadikan saya dalam memandang dunia supaya sewajarnya saja. Nggak perlu neko-neko, namun lebih ke ndandani dan melihat diri lebih dalam: sejauh mana spiritualitas kita dalam memandang kasih sayang Allah.
Wujud kasih sayang Allah kepada kita, meminjam bahasa Kiai Imron Djamil kala itu, adalah ni’matul ijad (kenikmatan wujud). Bahwa keberadaan (ijad/wujud) kita di dunia ini, kalau diresapi, merupakan bagian kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, makanya disebut ni’mah/nikmat. Dengan hadirnya kita di dunia, Allah memberikan kesempatan untuk mengenal dan mengabdi kepada-Nya, dan menjadi umatnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw, sungguh kenikmatan yang hakiki.
Mengingat nikmatnya menjadi hamba Allah, mengantarkan saya pada anugerah pada bulan Rajab. Bulan Rajab penuh dengan keutamaan (fadhilah) yang berupa ampunan (maghfiroh) bagi siapa saja yang mau memperbaiki diri, dan juga kenikmatan mendapatkan pahala ibadah sunnah seperti puasa.
Wajar jika Nabi Muhammad Saw memberikan ijazah doa kepada kita, “Allahhumma Bariklana fi Rajaba wa Sya’bana wa Ballighna Ramadhana”, yang artinya semoga di bulan Rajab dan Syaban ini kita diberkahi dan dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan. Guru saya dulu menyarankan supaya memperbanyak doa ini, terutama di tiga hari pertama bulan Rajab.
Bagi saya, doa tersebut adalah alarm kepada kita supaya ancang-ancang, mempersiapkan diri menyambut bulan yang mulia. Persiapan menuju bulan Ramadhan bisa macam-macam, seperti dengan berpuasa, memperbanyak zikir, memperbaiki shalat yang masih bolong-bolong, misalnya. Kalau kita sudah mempersiapkan diri dengan baik, insyaallah nanti pas waktu Ramadhan tiba, tidak kaget. Terutama yang mempunyai riwayat penyakit dalam seperti maag atau asam lambung. Tubuh kita mulai sekarang sudah harus dilatih, dengan berpuasa.
Keberkahan Rajab
Guru saya mengatakan bahwa nama Rajab terambil dari akar kata “Ra” yang menunjukkan Rahmatullah (rahmat Allah), huruf “Jim” menunjukkan Jurmil ‘abdi (dosa hamba), dan huruf “Ba” adalah Birrrullah (kebaikan Allah). Maksudnya apa? Bahwa di bulan Rajab ini Allah menempatkan kesalahan atau dosa hamba kepada-Nya di antara rahmat dan kebaikan. Singkatnya, barang siapa yang mau meraih rahmat dan kebaikan dari Allah di bulan Rajab, maka akan diampuni segala dosa yang pernah ia lakukan.
Dulu sewaktu nyantri, kebetulan masjid di belakang Pondok Kwanaran Kudus, dipakai untuk thariqahan oleh jamaah Thariqah Qadariyah wa Naqsabandiyah. Thariqah ini adalah dahulunya yang diajarkan oleh almaghfurlah Mbah Arwani Amin Kudus. Setiap bulan Rajab dan Ramadhan, mulai dari tanggal pertama hingga ke sepuluh, pengikut thariqah berdatangan ke masjid Kwanaran Kudus untuk tawajjuhan—bertatap muka antara mursyid dan murid untuk berdzikir dan tirakat bersama selama 10 hari. Setelah Mbah Arwani wafat, sekarang dilanjutkan oleh putra-putranya, yakni Gus Ulin Nuha dan Gus Ulil Albab.
Dipilihnya bulan Rajab untuk tawajjuhan, menurut hemat saya karena banyaknya riwayat yang menyatakan keistimewaan dari bulan Rajab. Bahkan Rajab sendiri di dalam Al-Qur’an (QS. At-Taubah ayat 36), dikategorikan sebagai bulan yang mulia (asyhurul hurum). Posisinya setara dengan bulan Muharram, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Di mana pada bulan-bulan mulia ini kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, termasuk puasa.
Nilai Utama Surah At-Taubah Ayat 36
Dari ayat 36 dari surah At-Taubah ini menarik, bahwa Allah SWT sudah menetapkan bilangan bulan yang jumlahnya ada dua belas. Dari dua belas bulan terdapat empat bulan yang mulia. Dari keempatnya ini kita dilarang untuk berperang atau bermusuhan.
Dalam Tafsir Tahlili dikatakan, “Keempat bulan itu harus dihormati dan pada waktu itu tidak boleh melakukan peperangan. Ketetapan ini berlaku pula dalam syariat Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s sampai kepada syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.”
Hal ini menandakan bahwa pada bulan Rajab menjadi ajang rekonsiliasi dan menyeru perdamaian. Intinya berbuat baik, tidak zalim, termasuk kepada diri sendiri. Selaras dengan redaksi ayat فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ (falaa tadzlimuu fiihinna anfusakum), “Janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu).” Walaupun menggunakan redaksi “anfusakum”, menurut hemat saya juga dikhitabkan kepada orang lain, dengan arti, “jangan pula menzalimi yang lain”.
Kembali Ke Ajaran Thariqah
Nilai dalam surah At-Taubah ayat 36, menurut saya, juga sejalan dengan tradisi thariqah. Saya mengamati dalam ajaran thariqah pada waktu mondok adalah adanya khalwat (menyepi). Saya melihat simbah-simbah para pengamal thariqah waktu itu menepi atau menyendiri di tengah keramaian—ibarat bagaimana meniru Nabi Saw saat hendak diturunkannya wahyu pertama. Nabi Saw suka nyepi (berkhalwat), hingga datanglah malaikat Jibril menyampaikan perintah untuk membaca (iqra’). Nyepi yang dilakukan simbah-simbah yang berthariqah bukan berarti anti sosial, tidak mau bergumul di tengah masyarakat, namun lebih ke proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dengan berzikir, beramal salih, dan tidak berbuat zalim.
Sepertinya kita perlu sejenak menyendiri di tengah hiruk pikuk duniawi. Dalam hal ini menginspirasi saya untuk melihat konteks hari ini: kita membutuhkan waktu untuk menepi dari hingar biar media sosial yang kerap menjadi ajang saling hujat satu sama lain. Bulan Rajab menjadi momentum sejenak, kita mengambil jarak untuk berintrospeksi (muraqabah fil qalbi), menjaga hak orang lain, dan memastikan tidak ada kezaliman yang kita lakukan, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Bulan Rajab mengajarkan saya untuk kembali melihat diri, berintrospeksi, menahan diri dari segala bentuk kezaliman dan kembali memperkuat hubungan kepada Allah SWT. Hal ini selaras juga dengan apa yang saya peroleh pelajari dari MJS. Kenangan tentang MJS selama tinggal di Yogyakarta, tidak hanya menjadi pengingat spiritual, tetapi juga tempat menemukan makna sejati dari menjadi hamba Allah dan umat Rasulullah. Semoga kita dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan. Amin.
Harapan saya nanti di lain waktu bisa ikut kembali lesehan, ngeteh bareng, dan menikmati Ngaji Filsafat yang konon santri yang datang mengikuti ngaji sekarang sudah sampai ratusan.
Category : keislaman
SHARE THIS POST