Kehidupan Anak-Anak di Masa Jepang
Judul : Di Bawah Bendera Fasisme; Kehidupan Anak-Anak di Yogyakarta Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 | Penulis : Alfrida Restu S | Penerbit : Dialog Pustaka | Cetakan : 2019 | Tebal : viii + 157 halaman | ISBN : 978-602-51427-4-1
Catatan tentang kehidupan anak-anak kurang mendapat perhatian dalam dunia tulisan. Begitu pun keberadaannya cenderung dinegasikan dalam pembentukan sejarah Indonesia.
Diksi bermain selalu lekat dialamatkan kepada semua anak. Tabiat anak mampu menyulap dalam sekejap berbagai hal menjadi permainan. Seperti cerita Ki Hadjar Dewantara dalam majalah Mimbar Indonesia, nomor 52, tertanggal 25 Desember 1948. Cerita itu berjudul “Permainan Kanak-Kanak; Pendidikan diri dari Kodrat ke-arah Adab”. Perkembangan diri anak di masa lalu dipengaruhi oleh daya kreatif permainan yang dibuatnya. Semakin banyak dan sering anak bermain, kemampuannya akan semakin bertambah.
Mari kita simak pesan Ki Hadjar Dewantara di majalah tersebut, “Apabila ada seorang anak tidak suka bermain-main, bolehlah dipastikan, bahwa ia itu sedang sakit, djasmaninja ataupun rochaninja... Anak jang tak berbuat apa-apa, dalam bahasa Djawa ‘nganggur’, boleh dikata tidak ada”. Kita sedang berbicara anak di masa lalu yang keberadaannya dibangun dengan bermain.
Pada topik yang sama, kita bisa menemukannya di buku garapan Alfrida Restu S bertajuk Di Bawah Bendera Fasisme; Kehidupan Anak-anak di Yogyakarta Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Di buku ini Alfrida memberi tinjauan, bahwa anak tidak melulu bermain. Bermain hanya menjadi bagian kecil yang dialami oleh anak-anak di masa penjajahan Jepang.
Sebelum kedatangan Jepang, anak-anak masih punya ruang dan waktu untuk bermain. Sebut saja permainan dakon, pasaran, picekan, dan berbagai macam bentuk permainan sederhana lainnya (hlm. 27). Bermain menjadi rutinitas yang dilakukan setiap hari, di samping membantu orang tua dan sekolah.
Membantu orang tua pun sifatnya mendidik dan memberi pembelajaran terapan sebagai bekal anak di masa depan. Bagi anak yang memiliki orang tua petani, anak akan diajari cara bercocok tanam dan memanen padi di sawah, tanpa ada teori dan kritik materi. Begitu pun anak yang berasal dari kalangan priyayi, si anak akan dididik dengan memasukkannya ke sekolah. Tetapi sekolah-sekolah di masa lalu, sayangnya hanya dinikmati oleh anak-anak yang memiliki keturunan priyayi, bangsawan, dan kaum menengah ke atas (hlm. 35). Sedangkan bagi masyarakat biasa sekolah bak mimpi.
Lalu kehidupan dan bermain anak setelah Jepang menjejakkan kakinya di Indonesia, mengubahnya. Ruang dan waktu bermain anak-anak, membantu orang tua, dan sekolah diubah seturut aturan dan strategi Jepang guna memenangkan perang Asia Timur Raya.
Memang di awal, Jepang berhasil memikat hati rakyat Indonesia dengan diperbolehkannya menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan mengibarkan Bendera Merah Putih. Di sisi lain, slogan “Jepang sebagai saudara tua” (hlm. 62) berulang-ulang didengungkan sebagai wujud pahlawan yang akan membebaskan negeri ini dari cengkeraman penjajah. Belum lagi dengan wacana kemerdekaan yang akan diberikan kepada rakyat Indonesia dikemudian hari. Siasat ini cukup ampuh untuk menjebak rakyat Indonesia ke dalam perayaan kebebasan, tetapi semu.
Momen Jepang sebagai saudara tua tidak bertahan lama. Perubahan peta perang memaksa Jepang untuk meresponnya dengan cepat. Beberapa strategi seperti romusha dan pembentukan prajurit heiho, keibodan, seinendan, dan barisan hizboellah (hlm. 82-83) diadakan. Strategi dalam menghadapi perang ini menyasar mulai dari usia remaja. Pemilihan usia dilakukan bukan hanya mempertimbangkan faktor fisik semata, tetapi juga kemudahan Jepang untuk memberikan pengarahan tentang apa saja yang harus dilakukan ketika di lapangan.
Lambat laun, strategi Jepang dalam pembentukan prajurit mulai melibatkan anak-anak. Anak-anak diajak untuk mengikuti romusha, diajari baris-berbaris, dan mengikuti latihan semi militer.
Selain itu, strategi Jepang yang lain memberi keleluasaan pada pemeluk Agama Islam. Tokoh-tokoh didekati agar memperoleh legitimasi bahwa Jepang ada memang untuk memberi perlindungan dan kemerdekaan pada Indonesia. Berbagai peringatan hari besar Islam diperbolehkan.
Strategi ini berhasil menguntungkan Jepang, selain memperoleh dukungan dari tokoh agama, Jepang juga bisa memberi pengawasan dan melakukan kontrol sehingga dengan mudah bisa merespon dan menekan langsung jika ada kemunculan benih-benih pemberontakan di akar rumput.
Strategi lain yang tidak kalah pentingnya adalah propaganda melalui layar tancap. Pertunjukan ini gratis, tapi tidak semua film bisa ditayangkan. Hanya film-film tertentu yang tayang, seperti Pahlawan Teng, dan Jepang Melawan Tiongkok (hlm. 103). Pemilihan didasarkan pada muatan pesan di dalam film yang memberi kesan baik pada Jepang.
Propaganda juga dilakukan dalam ranah pendidikan. Anak-anak tidak hanya diajari membaca dan berhitung, tetapi juga berbahasa Jepang. Begitu pun sebelum masuk ke kelas dan memulai pelajaran, anak-anak diwajibkan untuk senam atau taiso selama lima belas menit (hlm. 123). Kedua hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa pendidikan di masa Jepang memang disiapkan untuk keperluan perang. Kecakapan berkomunikasi dan kebugaran fisik menjadi dua di antara beberapa syarat untuk memenangkan peperangan.
Buku ini secara umum berhasil menarasikan kehidupan anak-anak di masa Jepang. Anak-anak yang harusnya tidak berurusan dengan perang, kenyataannya turut terlibat di dalamnya. Membaca buku ini tidak lagi seperti membayangkan anak dengan wajah-wajah lugu, polos, dan mungkin plonga-plongo, memakai baju kumal terkena debu dan keringat, tetapi anak-anak yang setiap harinya harus siap diperintah kuasa fasisme.
Category : resensi
SHARE THIS POST