Keberadaan dan Kelanggengan Allah

slider
07 Desember 2019
|
1742

Pernah terpikirkan tidak, kenapa Islam begitu banyak pengikutnya dan ada hingga saat ini? Rasa-rasanya sangat tidak mungkin Islam hilang di bumi atau jika terjadi tentu membutuhkan sekian ribu tahun lamanya. Terlebih di Indonesia, mudah sekali menemui seseorang yang masih dengan fasihnya mengucap kalimah, “la ilaha illa Allah”. Apakah ini termasuk salah satu mukjizat Islam itu sendiri? 

Jika diingat-ingat kembali, bahkan sejarawan masyhur juga sepakat, tak menafikan Islam dari timbulnya peperangan, konflik, pertikaian dan juga kisah-kisah penaklukan yang dilakukan para sahabat Nabi maupun setelahnya. Tapi, kalimah, “la ilaha illa Allah” masih terus bergema. 

Kita harus setuju, bahwa perang secara syariat tentu sesuatu yang salah. Tidak dibenarkan. Namun perang antar muslim bahkan sudah terjadi di zaman para sahabat. Bagaimana berseterunya Sayyidina Ali dan Muawwiyah, peristiwa sangat-sangat penyedihkan di Karbala, hingga Dinasti Abbasiyah dan Umayyah yang pertikaiannya sampai di mimbar-mimbar Jumat untuk saling menjelekkan yang lain. Namun hebatnya, peperangan mereka tidak mengganggu ketauhidan dan keimanan mereka. Tuhannya ya tetap Allah. Secara logika, seharusnya mereka kecewa dan pindah haluan. Pindah Tuhan. Tidak mungkin Tuhan yang sama disembah musuhnya. Tapi hal demikian tidak terjadi. 

Pun dengan kita-kita ini. Sekalipun berseteru sesama, tetap saja meminta bantuan dan doanya kepada Allah yang sama. Tidak ada yang lain. Ketika santri bertikai dengan santri lainnya, keduanya juga berdoa kepada Allah. Secara logika bagaimana hal ini terjadi, meminta bantuan kepada Dzat yang sama tapi diperuntukkan melawan musuhnya. Padahal musuh juga memintanya kepada Allah.

Dengan begitu keadaannya, kita sebenarnya tidak pernah benar-benar membenci seseorang, apalagi sesama muslim. Iman yang permanen. Sekalipun seseorang tidak menjalankan kewajiban Islam secara rutin dan baik, selama ia mengaku Islam pastilah Allah sebagai satu-satunya sesembahan. 

Beberapa waktu lalu di kota saya, Jepara, sedang berlangsung pemilihan serentak kepala desa. Masing-masing calon ada yang berbekal uang dan juga preman/bromocorah untuk meraup suara. Namun yang menarik, ketika salah satu calon mengadakan pengajian dan istigasah agar dimenangkan, lawannya pun juga melakukan hal yang sama, menggelar doa kepada Allah. Loh, seharusnya apabila lawan mengambil langkah A, rival ambil langkah B. Semisal meminta bantuan ke lain hal. Namun hal itu tidak terjadi. Keduanya ingin dikabulkan doanya. Di titik ini semakin yakin Islam begitu solid. Keberadaan Allah nyata betul dalam kehidupan kita.

Dialah Dzat paling jelas. Paling nyata. Allah itu Addzohir. Kebenaran ini sama halnya dengan kebenaran satu ditambah satu pasti hasilnya dua. Entah ilmuan entah orang bodoh tidak sekolah sekalipun akan mengatakan hasil yang sama. Pun dengan Allah, Dzat yang paling gampang dikenal. Baik orang saleh, preman ataupun perampok beragama Islam akan sepakat bahwa, “la ilaha illa Allah”. Sejalan dengan apa yang disampaikan baginda Rasulullah Saw, “Man qola la ilaha illa Allah daholal jannah”.

Sekalipun kita menyesali adanya konflik, pasti ada hikmahnya. Dari dulu kita sering dengar dari para kiai saling beda pendapat dan tak jarang bertengkar, namun Islam di desa-desa tetap pesat, lantas bagaimana jika sejarah Islam sejak awal diiringi tanpa pertikaian? Semakin sadar bahwa Allah menjaga agama ini tanpa menggunakan ikhtiar manusia. Lantas apa yang kita khawatirkan dari konflik selama ini? Gegara konflik kita pada lupa dengan Allah? Sejak zaman sahabat, dinasti, dan sekarang perang seolah tak ada hentinya. Namun tidak ada yang berubah dengan keimanan kita kepada Allah. 

Bukankah sebelum mengerti diri sendiri seharusnya mengerti Dzat yang maha jelas, yaitu Allah. Sama halnya saat melihat gunung, bebatuan, dan benda mati lainnya. Tentu kebendaan tersebut tidaklah memiliki ikhtiar untuk mewujudkan dirinya sendiri. Pun dengan ketakjuban kita akan ada dan guna matahari. Sekalipun canggih secara fungsi, ya, ia melakukan hal yang itu-itu saja, terbit dan tenggelam. Tentu tidak masuk diakal kita, ya, berarti ia ada yang menciptakan. 

Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam pun menyebutkan, “Saya takkan pernah melihat sesuatu apa pun kecuali sebelum itu sudah melihat Allah.” Pun dengan Imam Sibawaih, sang ahli nahwu yang kisahnya sangat masyhur itu, ia masuk surga karena meyakini saat ia ditanya, “Isim ma’rifat paling ma’rifat apa?” Logika orang biasa tentu saja akan menjawab, “ana”, saya. Namun Imam Sibawaih menjawab, “Allah”. “Allahu a’roful ma’arif”. Karena kebenaran dan keberadaan Allah itu absolut. 

Jika sudah demikian, kiranya kita tidak perlu khawatir. Semisal melihat orang ziarah kubur, tentu prasangka kita bermacam-macam. Minta-minta, kok, ke kuburan. Bidah itu jelas. Padahal saat di kuburan juga yang dilafalkan kalimah, “la ilaha illa Allah”.

Wallahua’lam.

*Catatan kecil dari usai mendengarkan ulang Ngaji Tafsir Al-Quran surat Al-Ankabut ayat 25-30 bersama KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha’) di Pleret, Bantul pada 24 April 2017.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Shidqi Niam

Santri lawas Ngaji Filsafat, sedang bercita-cita mensejahterakan petani di kampung halaman