Kebahagiaan, Keinginan, dan Penderitaan
“Keinginan adalah sumber penderitaan / Tempatnya di dalam pikiran.” Begitu cuplikan lirik lagu Iwan Fals berjudul “Seperti Matahari” yang dirilis tahun 2002 dalam album Suara Hati.
Lirik tersebut penting sebagai pengingat bagi kita hari ini. Manusia-manusia yang semakin tidak bahagia. Bukan karena berkekurangan, bukan karena tidak punya cukup sumber daya alam untuk dimakan, bukan tidak cukup air untuk diminum, bukan tidak cukup udara untuk bernafas.
Manusia menjadi tidak bahagia justru di saat hidup yang semakin dimanjakan oleh kemudahan dan kelimpahan. Mereka menjadi tidak bahagia oleh sebab alam pikirnya, sebab keinginan yang tidak ada ujungnya. Semua tersedia. Namun mereka hidup dengan mantra, “aku inginnya itu...” atau “aku maunya begitu...” atau “aku inginnya ini, tapi gak mau yang begini...”
Orang yang dimanja untuk memperturutkan segala keinginan, berdampak pada hidup yang menyusahkan dirinya sendiri. Misal di rumahnya telah tersedia banyak makanan, tetapi ia menginginkan makanan yang lain. Atau dalam suatu perjalanan, di sepanjang jalan dijejali banyak warung makan, tetapi ia menginginkan makanan lain yang tidak ada di sana. Ia menderita bukan karena tidak ada makanan, tetapi karena keinginan dan ego.
Dorongan nafsu keinginan membawa daya rusak jika terus dibiarkan. Imam Busiri dalam Qasidah Burdah mengumpamakan nafsu itu ibarat anak kecil yang jika dibiarkan terus menyusu, maka akan semakin besar hasratnya untuk menyusu. Ada waktunya ia harus disapih supaya berhenti menyusu dan menjadi dewasa. Setiap anak harus disapih paksa meskipun awalnya ia akan merengek atau menangis. Demikian halnya nafsu, ketika tidak dituruti, ia akan meronta. Namun manusia harus menyapihnya demi kebaikan jiwa.
Manusia terkadang dimanjakan untuk terus-menerus memuaskan semua hasrat atau kehendak dengan dalih kebebasan. Ia menuntut hidup tanpa aturan. Semua nafsu, amarah, dan kehendak ingin dilampiaskan. Mereka beranggapan bahwa dirinya akan menjadi lebih baik ketika semua keinginannya telah dilepasliarkan. Nyatanya, amarah atau nafsu tidak mereda setelah dipuaskan. Ibarat api, baranya justru semakin membesar ketika diberi bensin atau kayu bakar.
Ketika pendapatan seseorang kecil, ia mampu memenuhi semua keperluannya. Saat pemasukannya sedikit, kebutuhannya juga tidak banyak. Semuanya cukup. Ketika pendapatannya semakin besar, kebutuhannya membengkak. Ia merasa tidak pernah ada cukupnya. Kata Buya Hamka dalam Tasawuf Modern (2015, hlm 173), “Orang yang paling kaya ialah yang paling sedikit keperluannya, dan orang yang paling miskin ialah yang paling banyak keperluannya.”
Kekayaan materi bukan ukuran sesungguhnya untuk menilai derajat seseorang. Banyak orang yang kaya harta, tetapi hatinya papa, lalu mencuri yang bukan haknya. Ia punya segala, tetapi selalu merasa kurang dan tidak pernah puas. Kaya harta, tetapi tidak mengenali diri dan kebutuhannya. Kemiskinan yang sesungguhnya adalah miskin jiwa. Jiwa yang kerdil menjadikan hidup terasa sumpek dan penuh derita, meskipun sebenarnya dikelilingi oleh banyak nikmat.
Sesungguhnya, kebahagiaan yang datang dari luar kerap kali hanyalah bahagia yang hampa dan palsu. Semakin banyak nilai kebahagiaan yang ditentukan oleh hal-hal di luar diri, maka semakin seseorang rentan untuk menderita. Guna mengurangi derita, perlu kiranya mengurangi rasa ketergantungan pada selain Tuhan.
Kita membutuhkan panduan untuk mengontrol diri dari dalam supaya hidup tidak dikendalikan oleh hasrat rendah. Supaya kebahagiaan tidak digantungkan di luar diri, kita membutuhkan kesadaran dan kebijaksanaan. Tidak semena-mena menuruti semua keinginan dengan berbagai cara. Tidak serakah ingin memiliki atau meraih segala, lalu menghalalkan segala cara.
Sebagai makhluk yang istimewa, manusia diberi akal budi. Melalui akal budi, manusia dapat mengatur dan merancang kehidupannya. Melalui akal budi, manusia dapat memenuhi keinginan dan sekaligus merefleksikan eksistensinya. Akal budi menjadi perangkat penting yang memungkinkan manusia untuk menjalani hidup secara bermartabat. Akal budi memudahkan hidup manusia menggapai tujuan mulia.
Tujuan hidup manusia adalah menggapai kebahagiaan. Manusia berusaha menggapai kebahagiaan dengan berbagai cara. Dalam upaya menggapai kebahagiaan, manusia terkadang harus melewati penderitaan. Penderitaan mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas. Bahwa ada sang pemilik dan penguasa atas diri kita yang fana. Berhadapan dengan penderitaan, manusia terkadang menjadi tidak berdaya.
Penderitaan lahir ketika ada ketidaksesuaian antara keinginan dan kemampuan untuk memenuhinya. Manusia menderita karena keinginannya tidak semua mampu diwujudkan. Manusia menderita karena selalu merasa tidak puas atas apa yang dijalani atau yang diraih. Manusia menderita karena terus muncul keinginan baru setiap ada keinginan sebelumnya yang telah dipenuhi atau dipuaskan.
Penderitaan disebabkan oleh keinginan rendah atau perasaan selalu merasa kurang, lalu berambisi untuk terus merasa lebih atau memiliki lebih. Menginginkan lebih pada akhirnya tidak akan pernah ada akhirnya. Dari sini, lahir penderitaan lainnya seperti iri, dengki, benci, culas, gundah, dan serakah.
Ada banyak orang yang menginginkan bahagia, tetapi malah derita yang didapat. Menginginkan semua harta benda, tetapi membiarkan jiwanya miskin papa. Akhirnya hidup dalam penderitaan. Sebab kekayaan sebanyak apapun tidak pernah akan cukup untuk memenuhi keinginan yang serakah. Kata Mahatma Gandhi, bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, namun tidak akan pernah cukup untuk satu orang yang serakah.
Orang yang tidak mampu mengendalikan keinginan, hidupnya selalu dalam kekurangan dan penderitaan. Ia tidak pernah bersyukur, menikmati, dan menghargai apa yang telah dicapai. Ketika ia tidak pernah puas, maka kekhawatiran dan kecemasan menjadi teman setia. Orang yang tidak mengendalikan keinginan, maka keinginanlah yang akan mengendalikan hidupnya.
Belenggu penderitaan harus dilepaskan untuk kebaikan jiwa. Manusia mesti memilah mana keinginan yang masih dalam tahapan wajar dan mana keinginan yang sudah tidak semestinya. Tidak terlarang jika memiliki keinginan dalam rangka menjalani hidup yang bergairah. Tidak terlarang jika mengejar capaian-capaian hidup, tetapi jangan sampai kehendak itu mengelabui diri dan berujung penderitaan.
Semua orang ingin menjalani hidup sesuai dengan yang diinginkannya. Namun manusia perlu menyadari bahwa semua keinginan punya dua sisi: tercapai atau tidak tercapai. Tidak selamanya keinginan kita tercapai, meskipun itu keinginan yang baik. Ketika keinginan tidak tercapai, manusia kadang tidak siap untuk menerima kenyataan, lalu kecewa, marah, sedih. Sementara ketika keinginannya terwujud, ia merasa bahagia. Tetapi itu kebahagiaan sementara, sebab begitu satu keinginan tercapai, akan muncul keinginan baru yang menuntut untuk dipenuhi.
Supaya lepas dari belenggu penderitaan, manusia perlu membiasakan diri supaya keinginannya masih dalam batas wajar. Terus-menerus membandingkan diri dan kemudian menginginkan lebih, hanyalah membuat penderitaan semakin nyata. Semakin sedikit keinginan yang kita punya, maka belenggu penderitaan akan semakin kecil. Semakin tidak banyak keinginan, semakin nyaman dengan kehidupan yang dijalani.
Kita perlu menjalani hidup dengan kesadaran bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh capaian-capaian materi atau raihan pangkat dan jabatan duniawi. Nilai diri sejatinya ditentukan oleh hal-hal yang melampaui materi duniawi, kejernihan batin, dan nilai-nilai luhur di dalam diri.
Category : buletin
SHARE THIS POST