Kearifan dan Konsistensi Socrates

slider
slider
09 Agustus 2020
|
2885

Socrates merupakan salah satu pemikir besar dalam sejarah filsafat Yunani. Namanya melambung tinggi dalam peradaban filsafat. Kontribusinya dalam filsafat juga tidak dapat dipungkiri lagi oleh berbagai kalangan, termasuk kontribusinya dalam filsafat politik. Bahkan di beberapa literatur mengatakan bahwa Socrates merupakan pemikir yang meletakan dasar perpolitikan melalui gaya filsafatnya.

Socrates juga dikenal sebagai gurunya Plato. Ia lahir di Athena, salah satu daerah di wilayah Yunani. Masa hidupnya antara 470 SM- 399 SM atau sekitar 71 tahun. Ia merupakan anak dari seorang ahli batu (pemahat). Ayahnya bernama Sophroniskos, sedangkan ibunya, Phainarete sebagai seorang yang bekerja menjadi bidan. Ia memiliki seorang istri bernama Xantippe dan dikaruniai 3 orang anak.

Bagi Socrates, karakter pemikiran para pendahulunya -Thales dan seangkatannya- merupakan spekulasi yang tidak memberikan manfaat dan pengetahuan yang benar pada manusia. Ia memberi kritik atas para pemikir pendahulunya dengan konstruksi pemikirannya yang original dengan pola mempertanyakan, seperti dokter yang akan mendiagnosa sakit pasien melalui pertanyaan-pertanyaan.

Pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan oleh Socrates cukup renyah dan jarang dipikirkan oleh filosof sebelumnya. Sehingga, karakter berpikir Socrates kerap ditempelkan dengan identitas ibunya sebagai bidan, artinya filsafat atau gaya berpikir Socrates melahirkan metode baru yang disebut juga dengan metode sokratik (apa itu; apa maksudnya).

Berbagai kearifan yang dilontarkan atau diungkapkan oleh Socrates juga terlihat dalam pemikirannya yang mengungkapkan bahwa mustahil bagi seorang manusia mencapai pengetahuan yang sempurna dan menyeluruh dari berbagai realitas yang ada pada berbagai fenomena yang terjadi, jika dirinya (manusia) tidak dapat mengenal manusia di luar dirinya. Oleh sebab itu, bagi Socrates, mustahil seorang manusia dapat mengenal manusia lain jika dia (manusia) tidak dapat menemukan jati diri atau mengenal dirinya sebagai manusia.

Corak kearifan Socrates membawa pesan mendalam berupa anjuran bahwa setiap upaya berfilsafat, dimulai dari mengenali dirimu, atau dalam istilahnya “gnothi seaution”.

Secara tidak langsung, ungkapan ini memperlihatkan kedisiplinan Socrates dalam memperbarui konsep filsafat dari para filosof sebelumnya yang cenderung memilih objek filsafat di luar dirinya (ekstraversi; mengarah ke luar) untuk mengembangkannya menuju filsafat yang bermanfaat bagi manusia, terkhusus dalam mempertajam pengetahuan seorang manusia menjadi pemikir sebagai diri sendiri yang berkompeten (introversi; mengarah ke dalam). Secara tidak langsung, Socrates bisa disebut juga sebagai pelopor filsafat antropomorfisme.

Socrates memiliki kebiasaan unik yang tidak dimiliki para filosof lainnya. Ia berpikir dengan mencoba melihat berbagai peristiwa atau fenomena yang terjadi di sekitarnya, kemudian menjadi pengamat atas fenomena tersebut, lalu memikirkannya dengan kritis dan menelaahnya sendiri. Socrates juga merealisasikan prinsip pemikirannya dengan cara berbeda.

Socrates merealisasikan prinsip dan metode filsafatnya (metode sokratik) dengan berjalan-jalan menjelajahi isi kota, baik di lorong-lorong maupun di taman dan mengajak berdialog siapa pun orang yang ia temui. Dalam memahami lawan bicaranya, Socrates selalu mengawali dialog dengan pertanyaan “apa itu; apa maksudnya”. Pertanyaan seperti ini menuntut lawan bicaranya untuk merumuskan jawaban yang tepat dan lugas.

Bagi Socrates, definisi dari pertanyaan “apa itu” merupakan dasar awal filsafat. Tanpa adanya jawaban “apa itu?” dari lawan bicara, maka tidak ada kelanjutan pembicaraan. Maka untuk menuju pertanyaan selanjutnya “apa maksudnya?” harus berpijak pada definisi awal dari pertanyan “apa itu?”. Sebab tanpa adanya definisi yang jelas, akan rawan muncul ragam penafsiran bebas yang tidak terstruktur. Dan akibatnya, obrolan, diskusi, dialog, atau pembicaraan akan ngelantur ke sana-ke mari.

Adapun sasaran dialog Socrates adalah para pemuda di Athena. Karena menurut Socrates, konstruksi pemikiran pemuda di Athena umumnya masih murni, belum terlalu banyak terdoktrin oleh kalangan para tetua yang cenderung kolot dan kaku, sehingga mudah untuk diajak dialog sehat. Dalam hal ini, pendiriannya berpijak pada pandangan dasar bahwa perbaikan kondisi hanya bisa diubah melalui proses kearifan (wisdom; kebijaksanaan) dan keutamaan (virthue; kebijakan) yang dikembangkan dalam lingkungan pemuda.

Ironisnya, pemikiran Socrates dan dialektikanya dianggap oleh pemerintah Athena sebagai sumber kerusakan pada pemuda di Athena, khususnya perihal kepercayaan yang kemudian dalam perkembanganya secara tidak langsung menjadi objek dialog para pemuda di Athena. Oleh sebab itu, ia divonis hukuman dengan diberi 2 pilihan, yakni bebas dengan syarat menghentikan aktivitas dialektikanya di Athena atau minum racun yang mematikan.

Akhirnya, Socrates memilih opsi minum racun yang mematikan yang telah disediakan pemerintah Athena sebagai hukumannya. Kendati demikian, Socrates merupakan peletak dasar filsafat, dan dalam sejarah ia disebut sebagai salah satu korban perpolitikan permerintahannya. Pilihan Socrates didasarkan pada prinsip awalnya yakni berupa kearifan. Baginya, yang berharga ialah ajaran dan prinsip yang harus ditegakkan dengan benar.

Dari Socrates, kita dapat mengambil pelajaran bahwa mengenal diri merupakan satu cara untuk mengenal apa pun di luar diri. Bukan itu saja, Socrates juga menganjurkan bahwa mempertajam pengetahuan itu penting, salah satunya melalui dialog sehat yang tidak kaku juga kolot, sehingga dapat menemukan kearifan yang tersirat dalam tiap-tiap perkataan. Bahkan sampai akhir hidupnya, Socrates juga mengajarkan bahwa kebenaran harus konsisten ditegakkan meskipun kematian mendatangi. Kebenaran tidak boleh kalah oleh apa pun.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Khusnun Niam

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta