Keadilan sebagai Imperatif Etis: Membaca Dimensi Filosofis dan Normatif Ayat Innallaha Ya’muru bil-‘Adli
Realitas sosial umat Islam seringkali bertolak belakang dengan ideal etis yang diamanatkan Al-Qur’an. Adanya diskriminasi, kesenjangan ekonomi yang ekstrem, marginalisasi kelompok minoritas, serta korupsi yang merayap dalam struktur sosial dan birokrasi nyaris menjadi potret sistemik yang membentuk lanskap ketidakadilan dalam masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya adalah muslim.
Di berbagai belahan dunia, komunitas muslim masih terjebak dalam praktik-praktik sosial yang justru bertentangan dengan esensi fundamental ajaran Islam tentang keadilan. Kelompok elite menggunakan agama sebagai instrumen legitimasi kekuasaan, sementara mayoritas masyarakat terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakberdayaan, yang pada gilirannya turut melanggengkan praktik ketidakadilan.
Dalam konteks inilah penggalan ayat “Innallaha ya’muru bil-‘adli” yang termaktub dalam surah An-Nahl ayat 90, memiliki signifikansi dan makna yang sangat mendalam untuk mengurai tuntutan moral dan etis dalam Islam. Ayat ini merupakan salah satu formulasi teologis paling fundamental dalam Al-Qur’an yang mendefinisikan keadilan sebagai perintah Ilahi yang esensial.
Secara harfiah, ayat “Innallaha ya’muru bil-‘adli” bermakna, “Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil.” Namun, signifikansinya jauh melampaui terjemahan literal, menyentuh dimensi filosofis, etis, dan sosiologis yang kompleks.
Ayat tersebut juga bukan sekadar formulasi teologis abstrak, melainkan mengandung kritik sistemik terhadap struktur ketidakadilan yang telah mengakar di dalam struktur sosial. Ia menghadirkan semacam manifesto etis yang mendesak transformasi sosial fundamental, menginterogasi setiap praktik sosial yang melanggengkan ketimpangan dan penindasan.
Keadilan sebagai Prinsip Universal
Dalam tafsir-tafsir klasik, ayat “Innallaha ya’muru bil-‘adli” diinterpretasikan sebagai perintah universal yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Keadilan dalam perspektif ini bukanlah sekadar konsep abstrak, melainkan prinsip dinamis yang harus diimplementasikan dalam setiap relasi sosial, baik vertikal maupun horizontal.
Secara epistemologis, ayat tersebut mengandung beberapa implikasi fundamental. Pertama, ia menegaskan keadilan sebagai atribut Ilahi yang ditransendensikan ke dalam praktik kemanusiaan. Allah tidak sekadar mendefinisikan keadilan, melainkan menjadikannya perintah yang mengikat. Hal ini mengindikasikan bahwa keadilan bukanlah pilihan subjektif, melainkan kewajiban objektif yang memiliki dimensi spiritual dan sosial.
Dari perspektif hermeneutis, frasa “ya’muru” (memerintahkan) memiliki signifikansi metodologis yang mendalam. Ia bukan sekadar instruksi normatif, melainkan seruan untuk melakukan transformasi sosial. Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an (2009) menekankan bahwa perintah semacam ini melampaui dimensi ritual, masuk ke ranah etika sosial yang komprehensif.
Kompleksitas ayat ini terletak pada kemampuannya mendialogkan antara prinsip transendental dan realitas empiris. Keadilan yang dimaksud tidak bersifat abstrak, melainkan konkret dan implementatif, mencakup seluruh spektrum hubungan manusia: hubungan antarindividu, antarkelompok, antarbudaya, bahkan hubungan manusia dengan lingkungan.
Ketidakadilan Sistemik
Dalam kerangka maqashid al-syariah (tujuan utama syariah), ayat “Innallaha ya’muru bil-‘adli” dapat dibaca sebagai fondasi filosofis bagi konstruksi etika sosial. Ia menjamin perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia (hifz al-nafs), menjamin kesetaraan (musawah), dan mendorong terciptanya tatanan sosial yang berkeadilan.
Pemikir Islam kontemporer seperti Muhammad Abid al-Jabiri dalam The Formation of Arab Reason (2011) dan Kritik Nalar Arab Muhammad ‘Abid Al-Jabiri (Ro’uf, 2018), mengeksplorasi bagaimana ayat-ayat Al-Qur’an dapat dipahami sebagai kritik terhadap struktur kekuasaan yang tidak adil. Perintah keadilan dalam konteks ini tidak sekadar moral individual, melainkan kritik sistemik terhadap rezim ketidakadilan yang mapan.
Al-Jabiri melihat bahwa Al-Qur’an secara inheren bersifat politis karena ia menawarkan visi transformasi sosial yang melibatkan penghapusan struktur ketidakadilan. Ia menyoroti bagaimana ayat-ayat yang menyerukan keadilan sering kali lahir dalam konteks pergulatan Nabi Muhammad melawan tatanan sosial yang zalim di Mekkah. Dalam konteks ini, perintah keadilan bukan sekadar nasihat moral, tetapi seruan revolusioner yang menuntut perubahan sistemik.
Sebagai kritik terhadap rezim ketidakadilan, al-Jabiri menekankan pentingnya membaca teks-teks agama dengan pendekatan historis-kontekstual. Misalnya, ia menggarisbawahi bahwa seruan untuk “berbuat adil” dalam Al-Qur’an sering kali diarahkan kepada pemegang kekuasaan, menuntut mereka untuk mendistribusikan sumber daya secara merata dan menghapuskan eksploitasi. Hal ini, menurut al-Jabiri, menunjukkan bahwa Islam menempatkan keadilan sebagai prinsip struktural yang melampaui sekadar relasi interpersonal.
Namun, dalam praktiknya, pesan keadilan yang diserukan dalam Al-Qur’an sering kali tereduksi menjadi narasi normatif yang tidak memiliki daya kritis terhadap struktur sosial yang timpang. Hal ini terjadi ketika teks-teks agama hanya dipahami secara literal dan tidak dilibatkan dalam analisis historis maupun konteks sosial yang aktual.
Dalam banyak kasus, seruan keadilan berhenti pada level individu dan tidak diterjemahkan ke dalam aksi kolektif yang mampu menantang rezim ketidakadilan. Akibatnya, seruan Al-Qur’an untuk “berbuat adil” kehilangan dimensi transformatifnya dan hanya menjadi bagian dari ritual keagamaan tanpa dampak signifikan terhadap perubahan sosial.
Lebih dari itu, pendekatan literal sering kali digunakan untuk mempertahankan status quo, di mana pesan-pesan keadilan dipisahkan dari realitas sosial yang sesungguhnya. Al-Jabiri mengingatkan bahwa ketidakmampuan untuk membaca teks agama secara kontekstual membuka ruang bagi manipulasi makna oleh pihak-pihak yang berkuasa, sehingga keadilan yang sejatinya menjadi nilai utama dalam Islam justru terabaikan. Oleh karenanya, penting untuk mengembalikan dimensi kritis dan struktural dari seruan keadilan melalui reinterpretasi yang berakar pada konteks sosial dan politik saat ini.
Khutbah Jumat dalam Transformasi Sosial
Makanya, ayat ini selalu diulang dan diserukan di setiap khutbah Jumat. Pengulangan ayat “Innallaha ya’muru bil-‘adli” dalam setiap khutbah Jumat merupakan mekanisme hermeneutis yang kompleks, di mana teks suci Al-Qur’an dihadirkan sebagai instrumen transformasi kesadaran sosial.
Dalam tradisi intelektual Islam, khutbah Jumat tidak sekadar ritual retorika keagamaan belaka, melainkan ruang dialogis yang strategis untuk mentransformasikan pesan-pesan etis dan spiritual ke dalam konteks sosial yang dinamis.
Dengan memahami khutbah sebagai media yang memiliki potensi politis, pesan keadilan dapat berfungsi sebagai pengingat kolektif dan dorongan untuk mengatasi ketimpangan serta ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat.
Pengulangan ayat-ayat etis seperti ini memiliki fungsi pedagogis yang mendalam. Ia bukan sekadar proses pengingatan normatif, melainkan upaya sistematis untuk menciptakan kesadaran kritis (critical consciousness). Kesadaran kritis, sebagaimana dikemukakan oleh Paulo Freire dalam konteks pendidikan pembebasan, adalah kemampuan untuk melihat realitas sosial secara mendalam, memahami struktur penindasan, dan berupaya mengubahnya.
Dalam tradisi Islam, pengulangan ayat-ayat keadilan bertujuan untuk membuka wawasan umat agar tidak hanya memahami konsep keadilan secara abstrak, tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk melawan ketidakadilan sistemik. Dengan kata lain, pengulangan ayat “Innallaha ya’muru bil-‘adli” bukan sekadar ritual, tetapi sarana untuk merangsang umat agar merenungkan bagaimana keadilan bisa diwujudkan dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi mereka.
Lebih dari itu, pengulangan ini juga berfungsi sebagai mekanisme internalisasi nilai-nilai etis. Dalam budaya oral-tradisional, pengulangan menjadi alat penting untuk memastikan pesan moral terserap ke dalam memori kolektif masyarakat. Namun, fungsi pedagogis ini baru sepenuhnya terwujud ketika ayat-ayat tersebut tidak hanya dihafal atau diucapkan, tetapi juga dipahami dan diimplementasikan dalam tindakan nyata.
Dengan demikian, khutbah Jumat–dengan pengulangan ayat-ayat seperti ini di dalamnya–harus menjadi ruang untuk memperkuat kesadaran kolektif tentang keadilan sebagai prinsip universal yang wajib diperjuangkan di semua tingkat kehidupan.
Referensi:
Al-Jabri, Muhammad Abid. 2011. The Formation of Arab Reason: Text, Tradition and the Construction of Modernity in the Arab World. London: I.B. Tauris.
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.
Hasan, Ahmad. 1971. “Social Justice in Islam”. Islamic Studies, Vol. 10, No. 3, September 1971.
Ro’uf, Abdul Mukti. 2018. Kritik Nalar Arab: Muhhamad ‘Abid Al-Jabiri, Yogyakarta: LKiS.
Masud, Muhammad Khalid, Armando Salvatore, Martin van Bruinessen (eds.). 2009. Islam and Modernity: Key Issues and Debates. Skotlandia: Edinburgh University Press.
Mohamed, Yasien. 2020. “More Than Just Law: The Idea of Justice in the Qur’an”. Yaqeen Institute. https://yaqeeninstitute.org/read/paper/the-idea-of-justice-in-the-quran
Nasr, Seyyed Hossein. 2002. The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. PerfectBound.
Al Qurtuby, Sumanto. 2013. “The Islamic Roots of Liberation, Justice, and Peace: An Anthropocentric Analysis of the Concept of ‘Tawhid’.” Islamic Studies, Vol. 52, No. 3/4, 2013.
Rahman, Fazlur. 1984. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
_____________. 2009. Major Themes of the Qur'an. Chicago: University of Chicago Press.
Category : keislaman
SHARE THIS POST