Keabadian di Atas Kesementaraan

slider
slider
20 Agustus 2017
|
1314

Suatu kali Sapardi Joko Damono pernah menuliskan dengan sederhana dan indah dalam salah satu sajaknya, “Yang fana adalah waktu. Kita abadi.”

Bagi saya kalimat tersebut betapa sangat tidak biasa, karena bagaimana manusia menjadi abadi sedangkan waktu sendiri adalah fana? Bukankah waktu adalah faktor utama penyebab kehancuran makhluk-makhluk di muka bumi? Bagaimana mungkin penyebab kefanaan tersebut adalah fana, sedangkan kita, makhluk, objeknya, justru menjadi abadi, kekal, tak lekang?

Semesta, kata Ibn Arabi, adalah layaknya reruntuhan. Ia fana, maka suatu saat akan lenyap tak berbekas. Namun, ada suatu pengecualian. Kita bisa memisalkan reruntuhan tersebut dahulunya adalah suatu rumah. Rumah adalah ladang yang sangat potensial untuk melakukan amalan kebaikan. Dalam konteks kita sebagaai manusia, rumah ini adalah jasad kita. Jika jasad melakukan amalan baik dengan penuh kesadaran atas cintanya kepada Allah, maka jasad ini menjadi bernilai abadi. Kenapa demikian? Secara kulit luar, jasad ini fana, karena ia terikat dengan sunnatullah bahwa kehancuran elemen penyusun jasad pasti terjadi.

Namun, karena amal baik tersebut, substansi yang berada di dalam jasad menjadi abadi. Jasad tersebut meninggalkan jejak yang selalu bisa dikenang oleh generasi seterusnya. Teladan yang bisa selalu diambil hikmahnya. Kepribadian jasad tersebut menjadi tinggi serta menjadi khas akibat amalan baik yang ia lakukan. Ada bagian-bagian tertentu yang membuat ia lantas tak layak untuk dilupakan. Mewujud selalu dalam ingatan.

Ada sebuah dialog yang menarik yang pernah saya baca dalam komik Detektif Conan. Seorang polisi tidak bisa melupakan kekasihnya yang telah meninggal dan meratap dengan nelangsa agar Tuhan bisa membuatnya lupa. Namun, salah satu rekan kerjanya segera mengatakan, “Jangan pernah lupakan. Sebab jika orang-orang mati, pergi atau tak kembali, ia hanya bisa hidup dalam kenangan.” Lantas sekarang, apa yang bisa kita lakukan agar kita selalu dikenang? Agar substansi kita selalu hidup di dalam batin-batin yang sedia mengenangnya?

Manusia belumlah menjadi siapa-siapa sampai ia dicintai. Karena pengakuan atas kehadirannya dilakukan oleh orang yang menganggapnya berharga. Sementara, amalan baik seperti yang disebutkan sebelumnya, dilakukan karena begitu cintanya sang jasad kepada Allah.

Cinta seorang hamba, yang sudah mencapai taraf puncaknya, meluap-luap di dalam jasad yang menampungnya. Jiwa menjadi bahagia tiada tara. Dan Allah menganugerahkan limpahan-limpahan cinta ilahiah sebagai balasan, yang bertumbukan di dalamnya menjadikan suatu energi yang maha dahsyat. Energi inilah yang membuat jasad tetap abadi. Karena cinta dan kecintaan adalah sifat Allah, maka jasad tersebut akan mengabadi, selalu baru, bahkan mewujud dalam banyak manifestasi. As time goes by, the same old story will always be a repetition.

Jika kita rajin membaca sejarah, kita akan selalu disodorkan oleh fakta (atau cerita) tentang tokoh-tokoh besar, yang namanya masih dikenang sampai hari ini. Bukan hanya sekedar dikenang, melainkan ajarannya, teladannya, kebijaksanaannnya, masih dilakukan oleh banyak orang sampai hari ini. Tokoh-tokoh ini besar tentu saja karena apa yang telah ia lakukan yang bernilai besar di masyarakat. Dan setiap zaman, selalu ada orang-orang seperti ini yang melakukan hal-hal luar biasa di luar batasan jasadnya, dan Allah mengabadikan dia dalam kenangan dan ulasan-ulasan tak selesai oleh manusia sepanjang zaman.

Keabadian, dan isyarat kenangan adalah suatu hubungan yang memerlukan kedalaman penyerahan cinta. Dalam cinta, aku dan kau menjadi lebur. Apa yang kau lakukan, itulah aku. Jika dalam cinta, terdapat kenyataan bahwa aku adalah aku saja, maka palsulah cinta tersebut. Jalan cinta adalah jalan penderitaan yang bahagia, dimana sang pecinta dengan penuh sukacita berkorban untuk kekasihnya. Ia tidak meminta balasan. Dalam cinta, tidak pernah ada keputusasaan, yang ada hanyalah pengharapan yang terus menerus. Pecinta hidup dalam harapan tersebut, selanjutnya setiap hari cinta akan diperbarui dan setiap hari ia akan merasa baru.

Dalam tahapan puncak, limpahan cinta ilahiah ini merajai batin kita, sehingga kita bisa menyaksikan Allah pada setiap makhluk. Allah Sang Maha Cinta, menjadikan cinta bereinkarnasi dalam milyaran wujud dari masa ke masa. Keabadian menjadi niscaya karena Allah sendiri mengabadikan kecintaan makhluknya dalam berbagai rupa, berbagai manifestasi. Maka benarlah apa yang dikatakan Ibn Arabi jika demikian, “Aku telah berhenti mencarimu, Kekasih, karena aku telah menemukanmu di mana-mana.”

Ketika kita telah melihat Allah di mana-mana, Allah sebagai Kekasih kita, maka setiap saat kita akan melakukan pengorbanan dengan penuh suka cita. Terhadap seluruh makhluk, kita tidak akan lagi membedakan. Kita tidak akan lagi menolak, menyanggah, menafikan, dan memandang rendah mereka yang terlihat berbeda. Tidak ada lagi rasa kebanggaan berlebih-lebihan terhadap golongan dan pembelaan yang sampai rasanya tidak rasional terhadap satu manusia tertentu. Karena siapa pun mesti dibela, apalagi mereka yang nasibnya tidak beruntung, Dan kita, diberi daya oleh Allah untuk membebaskan mereka dari kungkungan “ketidakberuntungan” tersebut. Meski, tentu saja, segala macam nasib dan daya tersebut adalah karunia Allah.

Sebab itu, tidak melulu harus menjadi orang besar untuk mendapatkan keabadian jasad tersebut. Dengan anugerah keunikan dan keotentikan kita masing-masing, dan tentu saja dengan kesadaran bahwa semuanya untuk selalu berada di jalan Allah, kita selaku pecinta selalu dapat mewujudkan cinta dalam bentuk apapun. Bahkan dalam hal-hal sederhana, dalam setiap aktivitas, rutinitas, juga mempersembahkan yang terbaik dalam pekerjaan kita. Jika kerja adalah aktualisasi diri dan peneguhan eksistensi kita di hadapan masyarakat, maka kerja dengan cinta dan sukacita adalah ekspresi peleburan diri antara kita dengan Allah.

Maka, karena saya berusaha lebur dengan cinta yang demikian, lantas Allah pun ada dalam setiap pasien yang masuk ke apotek saya. Allah mewujud dalam setiap keluh kesah mereka atas kesakitan mereka. Atas harga obat yang mungkin tidak terjangkau oleh mereka. Atas rumit dan ruwetnya pelayanan BPJS, dan kelangkaan obat-obat tertentu di pasaran serta kebingungan mereka untuk mendapatkannya. Dan atas ketidaktahuan mereka yang begitu menyedihkan tentang sakit dan sehat.

Mungkin mereka bisa datang dengan senyum, dengan ekspresi kesakitan, atau bahkan dengan ketus dan marah-marah, namun saya bisa apa? Dengan penuh sukacita saya membantu mencarikan solusi, meski Allah dengan penuh kasih mengingatkan saya atas batasan saya. Mungkin sekedar ini yang bisa saya lakukan, mungkin ini hal yang sangat kecil tapi percayalah, semuanya adalah wujud kecintaan saya karena semuanya hadir sebagai manifestasi Allah. Menyakiti semuanya maka celakalah saya! Saya akan menyakiti Allah dan cahaya cinta Ilahiah itu akan pergi. Saya akan ditinggalkan. Fana, tidak dikenang, dan musnah dalam sebenar-benarnya musnah.

Maka setiap pagi, setiap sebelum memulai aktivitas, saya selalu membisikkan kepada diri saya, “Hidupkanlah kami, ya Allah, dalam keabadian. Di atas genangan kesementaraan.” Biarlah waktu terus berjalan dalam ritmenya yang sunnatullah, kelahiran kemudian menuju ke kematian adalah niscaya, namun kita menjadi abadi. Dalam ingatan-ingatan baik dan dalam manifestasi cinta yang bereinkarnasi terus menerus dari masa ke masa. Wallahu a’lam.

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi - 17 Jumat, 27 Januari 2017/28 Rabiul Tsani 1438 H.


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ria Fitriani

Apoteker, Suka Sastra.