Karen Armstrong: Merawat Jagat Melalui Ritual
Judul: Sacred Nature: Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam | Penulis: Karen Armstrong | Penerjemah: Yuliani Liputo | Penerbit: Mizan Pustaka, 2023 | Tebal: 176 halaman | ISBN: 978-602-441-309-5
Karen Armstrong merupakan seorang pemikir yang fasih dalam mengulas perihal ketuhanan dan fundamentalisme agama. Di antara karyanya yang fenomenal dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa adalah A History of God, The Battle for God, Holy War, Islam, Buddha, The Great Transformation The Case of God dan Fields of Blood.
Berkat sumbangsih pemikirannya tersebut Armstrong mendapat banyak penghargaan dari dunia, seperti anugerah TED Prize, Franklin D. Roosevelt Four Freedoms Medal dan Educator’s Prize by ISESCO.
Dalam Sacred Nature (2023) kali ini, Armstrong membawa spirit teologi untuk menerjemahkan universalitasnya ke dalam pengetahuan dan kebutuhan manusia menjaga alam. Gagasan-gagasannya membuka wawasan dalam memandang dunia hari ini dengan kacamata spiritualitas.
Nilai-nilai spiritualitas yang sedikit sekali terserap hari ini, tidak lain karena modernitas memungkinkan manusia mengabaikan nilai tersebut. Armstrong secara garis besar ingin mengajak manusia kembali ke arah sana: sebuah kesadaran total akan spiritualitas.
Kita barangkali sudah banyak menemui penelitian yang mengungkap gegap gempita modernitas hingga menepikan moral-spiritual manusia yang berdampak terhadap alam. Menyadari itu, Armstrong membuat pembacaan lain. Ia menyuarakan gagasan ritual keagamaan terhadap alam demi eksistensi alam itu sendiri melalui berbagai tradisi keagamaan populer hingga yang dianggap lokal.
Armstrong berpendapat bahwa ritual dapat menjadi jalan alternatif untuk membangun kembali keakraban dengan alam. Melalui pengetahuan tentang tradisi-tradisi keagamaan di dunia, dapat diketahui bahwa alam memiliki posisi sentral dalam jagat spiritualitas selama berabad-abad yang tercurahkan ke dalam ritual-ritual.
Menghadapi bencana besar modernitas yang di satu sisi dianggap sebagai kemajuan, Armstrong mengajukan pendapat bahwa alam harus dikembalikan kesakralannya, tidak sebatas memperbaiki gaya hidup, melainkan termasuk kesadaran epistemik atas alam. Ia memandang para leluhur dalam tradisi-tradisi keagamaan masih menghidupi bumi melalui penghormatan dan mensucikan alam.
Berbeda dengan masyarakat modern, yang terbiasa menyikapi apa pun dengan logos sebagai pikiran rasional yang kebenarannya hanya mampu diterima berdasarkan fakta objektif dan empiris. Logos dapat menyingkap fakta-fakta menakjubkan perihal semesta fisik. Kita bisa menengoknya dalam khazanah sains yang mengupayakan itu secara apik. Namun, logos tidak mampu menerjemahkan makna dan nilai dari kehidupan. Keterbatasan logos inilah yang akan dilengkapi oleh mitos (hlm. 27).
Laku penghormatan terhadap alam yang diwariskan para leluhur kuno terselubung dalam mitos-mitos yang direalisasikan dengan wujud ritual. Sebab tanpa adanya ritual, mitos tidak akan dapat diterima oleh akal.
Tentu tidak semua mitos yang muncul mengandung nilai kebaikan. Beberapa mitos bahkan amat sangat destruktif dan melahirkan kejahatan besar seperti pembunuhan massal dan genosida. Maka, kita membutuhkan mitos-mitos yang baik untuk membantu semakin dekat dengan kesadaran tentang pentingnya welas asih kepada semua makhluk ciptaan Tuhan, termasuk alam semesta.
Mitos mampu menampilkan alam sebagai sesuatu yang sakral. Sehingga dari dasar kepercayaan ini alam akan terawat secara tidak langsung dalam sikap penghormatan dan pemuliaan terhadapnya.
Pandangan mengenai kesakralan maupun perintah untuk menjaga alam diperkuat dengan dalil yang termaktub dalam teks-teks keagamaan. Para filsuf terkemuka pun banyak yang memiliki pandangan serupa dan menyerukan pemuliaan terhadap alam sebagai sesuatu yang suci (hlm. 55). Sehingga, sebenarnya sudah cukup alasan untuk kembali merekontruksi kepercayaan kita tentang alam sekaligus menyelaraskan diri dengannya, alias, hidup selaras dengan alam.
Alam: Korban atau Penghancur?
Alam dan seisinya terus mengalami perubahan. Selain karena memang sudah sunatullah dari proses alamiah yang mengiringi perjalanan waktu, perubahan besar yang terjadi juga sebagai akibat dari bencana. Alam beberapa kali menampilkan keretakannya.
Buku ini menyebutkan bahwa terdapat perbedaan pandangan mengenai keadaan mula penciptaan alam. Di antaranya mitos penciptaan yang dipercaya di India menyiratkan bahwa dunia ini memang penuh kekurangan secara mendalam dan telah retak sejak semula. Sementara dalam Kitab Kejadian, dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu itu dalam keadaan “baik” (hlm. 69).
Sulit menafikan bahwasanya rusaknya alam adalah bagian dari kesalahan para penghuninya sendiri, seperti terjadinya kekeringan, kebakaran hutan, tanah longsor, dan banjir bandang. Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam ternyata juga memosisikan alam sebagai korban yang pada akhirnya juga mengalami kerugian besar dan itu terwujud dalam krisis lingkungan dan bencana lainnya.
Kerusakan lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap keberlangsungan hidup seluruh makhluk. Bencana alam yang besar mampu menghancurkan tatanan kehidupan tanpa dapat diantisipasi dan diprediksi secara pasti kapan akan terjadi. Kontruksi bangunan fisik maupun non-fisik yang telah menjadi tatanan kehidupan dapat hancur begitu saja tanpa tersisa. Seakan alam dengan energi besarnya adalah penghancur bagi penghuninya sendiri.
Amstrong mengutip banyak kisah mengenai fenomena alam yang termaktub dalam kitab suci dari beragam kepercayaan. Hal ini sebagai manifestasi bahwa agama justru menyusun cerita dan ritual-ritual yang mendorong manusia untuk melihat tanpa gentar pada kesengsaraan yang melekat pada kehidupan.
Tradisi-tradisi agama membawa kita untuk merenungkan dengan sungguh-sungguh tentang berbagai penderitaan di dunia. Dari kisah-kisah tersebut kita mampu menyadarinya dengan cara yang tidak menimbulkan depresi dan kewalahan, melainkan menumbuhkan welas asih pada sesama makhluk, termasuk alam semesta.
Pada berbagai fakta yang kita ketahui, alam yang memenuhi hajat hidup kita ini terlampau sering menjadi korban dari keserakahan manusia, sehingga alam barangkali akan beralih peran dari korban menjadi penghancur lewat berbagai bencana alam sebagai dampaknya. Manusia-manusia yang melakukan ritual atas alam, mempercayai hal itu dapat terjadi. Bahwa, alam mampu membalas perbuatan manusia.
Sacred Nature menjadi bukti keberhasilan Armstrong dalam mengupas fungsi ritual dalam menjaga keseimbangan alam. Banyaknya referensi teks keagamaan yang dikutip di satu sisi dapat menjadi penguat dan menambah wawasan, namun di sisi lain, bagi pembaca yang tidak memiliki latar belakang wawasan agama-agama, kiranya hal ini tidaklah mudah untuk dimengerti.
Secara keseluruhan buku ini mampu menyampaikan pesan-pesan universal yang menggugah kesadaran untuk lebih peka terhadap pengaruh sistem kepercayaan kita terhadap eksistensi alam semesta.
Category : resensi
SHARE THIS POST