Jejak Sang Penyair

slider
18 Desember 2020
|
1668

“Dia seorang penyair yang dilahirkan demi menggembirakan hati orang dengan nasihat yang indah. Maka dia akan hidup di setiap relung-relung hati manusia, tak ubahnya seperti Sang Pencipta. Karena kita tahu bahwa Tuhan tidak hidup di Ka’bah melainkan hidup di dalam hati.” Itulah pesan Maulana Rumi di dalam sajaknya. Begitu pula seorang penyair, ia akan terus hidup dalam hati dan pikiran, walaupun jasadnya sudah tiada.

Manusia tak ubahnya sebagai hewan yang berpikir. Mereka dengan mudah akan melupakan orang-orang di sekitarnya yang berjasa besar dalam kehidupannya.

Seperti kata Gibran, “Waktu demi waktu akan berlalu, dan penduduk kota tidak sadar akan kelupaan mereka. Begitu mereka terjaga dan mata mereka menyaksikan fajar pengetahuan, mereka baru akan sadar dan terbelalak, betapa pentingnya seorang penyair yang mengubah hidup mereka” (Kahlil Gibran, 2004: 22).

Khalil Gibran dilahirkan pada 6 Januari 1883 M di kota Beshari, Lebanon. Ia melakukan migrasi ke Amerika pada 1895 bersama ibu dan saudaranya, karena ia ingin meneguk cawan pengetahuan di Barat, yang secara metodologis dan sistem pembelajaran cukup jauh berbeda dengan apa yang ia dapatkan di negeri Timur. Di samping memang ada konfrontasi politis di negara-negara Timur Islam itu sendiri.

Di usia 16 tahun, menjadi usia bagi Gibran untuk kembali kenegaranya. Pada saat itu, Gibran juga merasakan belaian cinta yang ditambatkan kepada seorang perempuan. Namun apalah daya, cintanya bertepuk sebelah tangan, sampai-sampai membuat Gibran kecewa berat dan depresi. Kegagalan cintanya itu ia rekam dalam bukunya bertajuk The Broken Wings. Buku yang membuat pembacanya turut mengamini kisah cinta Gibran yang pilu.

Untuk menghilangkan rasa pilu cintanya itu, Gibran memutuskan untuk kembali lagi ke Amerika pada 1912. Di sana ia menyewa sebuah rumah yang disebut sebagai “tempat perenungan”.

Pada 19 tahun kemudian, tepatnya di hari Jumat, 10 April 1931, Gibran menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit St. Vincent’s Hospital karena sakit yang sudah ia derita sejak lama.

Banyak orang yang datang berduyun-duyun untuk memberikan penghormatan terakhir, sebelum jenazahnya diterbangkan ke Lebanon. Untuk menghormati dan mengenang Gibran, pemerintah Lebanon atas dukungan masyarakat mendirikan Museum Kahlil Gibran.

Gibran merupakan seniman serba bisa. Ia kadang disebut sebagai filosof, penyair, pelukis, sekaligus spriritualis dari negeri Lebanon. Kendati Gibran sudah wafat lebih dulu, namun karya-karyanya tetap bergema di sela-sela kehidupan manusia sesudahnya.

Sajak-sajak yang digurat Gibran merupakan sajak yang bersifat spiritualitas. Setiap sajak yang ditulis, dibaca, dan disampaikan akan membangkitkan gairah kehidupan pelakunya, karena ada semacam ruh yang membalut setiap katanya. Seolah-olah hati akan berkecampuk lantaran gubahan sajak dari Gibran. Manusia yang tadinya sedih, bisa dengan tiba-tiba menjadi gembira. Pun begitu manusia yang tadinya putus asa, akan menemukan kembali gairah hidupnya. Atau yang tadinya merasa bahagia, tiba-tiba merasakan sedihnya meratapi kehidupan.

Sendiri / Dia berpakaian sederhana / Dan / dipelihara oleh keramahan / Dia duduk di pangkuan Alam belajar mencipta // Dan / terjaga dikeheningan malam // Menantikan turunnya ruh // Seorang suami yang menabur hati di kebun perasaan // Di mana mereka membuahkan hasil // Demi menopang mereka yang mengumpul (Kahlil Gibran, 2004: 28).

Sajak tersebut bertajuk Syair Airmata yang ditulis oleh Gibran sendiri, berdasarkan kisah asmaranya yang memilukan dan tidak terbalas. Kesendiriannya mengartikan hatinya yang sedang kosong, tanpa teman, tanpa pasangan kehidupan. Hanya keramahtamahan yang menemaninya di setiap waktu. Sedih tak bertepi, itulah yang dirasakan oleh sang penyair. Ia hidup di setiap relung kalbu manusia, tapi ia merasa sepi untuk diri sendiri. Sajak berikutnya berbunyi:

Inilah penyair yang diabaikan manusia pada zamannya // Dan / dikenal oleh mereka pada dunia yang sesungguhnya / Setelah kembali ke tempat kediaman surgawinya // Inilah dia yang tak mencari sesuatu dari manusia // Demi menyelamatkan seulas senyuman / Yang tertiup bangkit dan memenuhi cakrawala / dengan bayangan keindahan yang hidup // Namun membuat orang bersembunyi / dari makan dan tempat perlindungannya (Kahlil Gibran, 2004:29).

Kesedihan, kesendirian, dan kesunyiaannya dipertegas dalam syair ini. Di kota yang amat ramai dan bising, sang penyair merasa sendiri dan tidak ada satu orang pun yang tahu tentang dirinya. Ia merasakan manusia hanya sebagai hewan yang rakus, kehidupan mereka hanya siklus antara makan dan tempat berlindung. Mereka tidak menyadari ada kekuatan adikodrati yang mereka sendiri tak mampu untuk melawannya. Sang penyair sadar, senyumnya akan kembali merekah merona tatkala menjemput kehidupan yang abadi di alam setelah dunia.

Kahlil Gibran merenungi abad-abad geram yang menginjak-injak hancur tindakan-tindakan manusia. Namun, itu tdak mampu meremukan mimpi-mimpinya, tidak pula mereka berhasil melemahkan cintanya, karena mimpi dan cinta kasih senantiasa hidup bersama Roh Abadi.

Kata Gibran, “Mereka bisa lenyap untuk sementara, mengikuti matahari ketika malam tiba, dan bintang gemintang ketika pagi datang, tapi bagi cahaya surga mereka pasti akan kembali” (Kahlil Gibran, 2000: 53).

Manusia mungkin baru akan sadar ketika sang penyair menutup mata untuk selamanya dan cakrawala pengetahuan pelan-pelan sirna. Akhirnya mereka akan berduyun-duyun memberikan penghormatan, dan membuat patung untuk menandai jejak sang penyair selama hidupnya.

Tapi satu hal yang mungkin luput disadari, bahwa sajak-sajak sang penyair akan mengubah pola kehidupan manusia dan memberi cahaya yang menuntun pada kebaikan.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Raha Bistara

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Aqidah dan Filsafat Islam