Jejak Orang Bijak
Konon, ahli mantik, ahli hukum, ahli agama, dan beberapa pakar lainnya yang berjumlah tujuh orang berkumpul di istana raja untuk menginterogasi Nasruddin, seorang tokoh sufi. Mereka menganggap ulah Nasruddin sebagai kasus yang serius. Sebab, Nasruddin sering kali berkelana dari satu desa ke desa lainnya dengan meneriakkan khutbah yang sama: Orang-orang yang mengaku dan disebut bijak, ahli dan terhormat itu, sebetulnya, adalah orang-orang bodoh, kebingungan dan orang yang tidak bisa mengambil keputusan. Tentu saja, perkataan seperti itu dianggap subversif yang dapat mengganggu stabilitas negara.
Nasruddin kemudian dituding melecehkan, merendahkan, dan mencemarkan nama baik para elit pada waktu itu. Singkat cerita, Nasruddin ditangkap, kemudian disidangkan di hadapan raja dan para pakar istana. Sebelum para pakar itu diberi waktu untuk menginterogasi Nasruddin, raja terlebih dahulu memperkenankan Nasruddin untuk bicara dan menyampaikan sesuatu jika ada yang ingin disampaikan.
"Tolong dibawakan kertas dan pena", kata Nasruddin. Raja pun menyuruh pelayannya untuk memenuhi permintaan Nasruddin.
"Tolong bagikan kertas dan pena kepada tujuh pakar yang duduk di hadapan saya". Kemudian kertas itu dibagikan. "Saya mohon, setiap orang menulis jawaban di kertas itu dari pertanyaan yang saya akan lontarkan", pinta Nasruddin.
Ia melanjutkan, "Apa itu roti? Kemudian, raja meminta para pakar itu untuk memenuhi permintaan Nasruddin. Tujuh pakar itu pun melaksanakan permintaan raja. Setelah selesai, kertas yang dibagikan itu kemudian di serahkan kepada sang raja. Kemudian, raja membacakan jawaban para pakar yang ditulis di atas masing-masing kertas.
"Roti adalah sejenis makanan", kata pakar pertama. Pakar kedua menulis roti adalah tepung bercampur dengan air. Pakar ketiga mengatakan, "Roti adalah tepung yang sudah di masak. Kemudian, pakar keempat menulis makna roti berubah-ubah, tergantung apa yang Anda maksud dengan roti. "Roti adalah karunia Tuhan", kata pakar kelima. Menurut pakar keenam, "Tidak seorang pun yang tahu sebenarnya apa itu roti". Terakhir, pakar ketujuh berkata, "Hanya Tuhan yang tahu makna roti yang hakiki".
Mendengar beragam jawaban para pakar yang dibacakan raja, Nasruddin tersenyum dan berkata kepada raja, "Dapatkan Raja yang Mulia memercayakan urusan penilaian, keputusan, kepada orang-orang ini? Bukankah sangat aneh, mereka tidak sepakat tentang sesuatu yang mereka makan setiap hari, tetapi mereka sepakat menentukan bahwa saya ini seorang yang bertindak-laku bidah dan melakukan subversi?"
Bagaimana kelanjutan kisah di atas? Saya sendiri tidak mengetahui apakah kisah di atas benar-benar terjadi atau tidak terjadi pada masa lampau. Mungkin hanya kiasan, gambaran. Tetapi, yang saya pahami terlepas dari benar-tidaknya peristiwanya dari kisah tersebut, merupakan cara yang digunakan kaum bijak untuk memberikan nasihat atau pelajaran kepada orang-orang mengaku-aku paling segalanya dan punya otoritas untuk menyalah-benarkan orang lain.
Kisah di atas adalah cara kaum sufi untuk menggambarkan para pengaku ahli agama, tetapi sibuk berdebat memperebutkan mazhab yang benar dan yang salah. Pada sosok Nasruddin, ia ingin memberikan sekaligus menyampaikan pelajaran kepada kita, juga kepada para pemikir, para pakar agama, tentang sesuatu hal dengan cara yang sangat bijak.
Sering kali identitas jabatan, kepakaran, dan keahlian yang disematkan pada seseorang, menjebak dan menjauhkannya dari pengenalan identitasnya sendiri: siapa sebenarnya diri mereka sendiri. Karena tidak disadari, jebakan itu membuatnya menghabiskan sisa hidup untuk menjaga dan melindungi identitas kehormatan yang tersemat dan dianggap final itu.
Akibatnya, ulah dan tingkah orang lain mudah dicurigai, dan ia mudah tersinggung atasnya. Para pakar, elit, dan ahli yang sudah terperosok pada jebakan identitas serta mudah tersinggung itu sering kali satu suara untuk memvonis seseorang. Tetapi, karena vonisnya hanya didasarkan pada asas ketersinggungan, maka ketika diminta pertanggungjawaban atas vonis itu, mereka tidak punya alasan selain hanya karena sakit hati.
Ibarat peristiwa pada kisah Nasruddin di atas, sebenarnya yang mereka sepakati ialah bahwa orang yang mereka vonis itu adalah bersalah. Dan kesalahan yang diperbuat terdakwa, itu karena menyinggung identitas kebesaran dan kehormatan mereka.
Andai saja para pakar itu ditanya lebih tentang detail sakit hati mereka, maka jawabannya bisa beragam, sebagaimana beragamannya jawaban para pakar ketika ditanya tentang roti oleh Nasruddin.
Terakhir, saya teringat pernyataan seorang guru, "Andai saja sakit hati dan tersinggung bisa dijadikan alasan yang benar dan diterima untuk mengutuk dan mencaci orang lain, maka betapa banyak yang saya a*jin* dan bab*kan dalam hidup ini. Sakit hati dan tersinggung adalah hak semua orang. Namun, kalau itu dijadikan pemandu kehidupan, akan hilanglah perikemanusiaan hidup ini.
Wallahualam bish-shawab.
Category : kolom
SHARE THIS POST