Jejak Langkah Warisan Pemikiran A. Mukti Ali

slider
09 Desember 2019
|
1842

Konon, jauh-jauh hari sebelum A. Mukti Ali mencetuskan gagasan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, pengajaran keagamaan masih diwarnai tradisi menghafal dan eksplanasi buku-buku tokoh tertentu, dalam hal ini fikih. Akibatnya, pemahaman agama terbatas pada satu paham tertentu yang berujung pada parsialisme sempit dan cenderung fanatisme kelompok berlebihan.

Tokoh kelahiran Cepu, 23 Agustus 1923, memiliki nama kecil Boedjono, sebagai santri, guru, ulama, intelektual visioner, pluralis, disiplin, dan sangat menghargai ilmu serta seorang politikus. Ia membentuk diri sejak masa anak-anak, ketika masih dalam lingkungan ajaran ayahnya yang tak membatasi mempelajari ilmu agama dan juga ilmu-ilmu lainnya.

Dididik secara mandiri menjadi paket dalam memahami persoalan-persoalan agama dan kemanusian. Ia berasal dari keluarga berlatar belakang saudagar tembakau di Cepu, sangat takzim kepada para ulama atau kiai. Nama Abdul Mukti Ali adalah pemberian K.H. Hamid Pasuruan ketika menjadi muridnya.

Bermula seperti kebiasaan di zaman dulu, pagi hari belajar pendidikan formal di sekolah Belanda, dan sore harinya diisi mengaji di langgar Kiai Usman di Cepu, lalu dikirim ke Pondok Pesantren Tremas, Pacitan. Setelah itu, mendaftarkan diri ke Sekolah Tinggi Islam (Sekarang UII), namun tak sampai selesai, dan lanjut ke Universitas Karachi Pakistan, konsentrasi Sejarah Islam.

Hingga pada akhirnya, Mukti Ali mendapat beasiswa dari Asia Foundation untuk melanjutkan studi di McGill University, Montreal, Kanada. Dan, ini menjadi ruang memikirkan pelbagai hal serta membuat keputusan dalam pembentukan biografi sebagai pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.

Mukti Ali selalu ingin memajukan pembaruan pemikiran Islam dan memuliakan Indonesia di kerja-kerja politik sebagai Menteri Agama Kabinet Pembangunan II periode 1973-1978. Ia dikenal sebagai ulama ahli perbandingan agama, peletak kerangka kerukunan antarumat beragama di Indonesia sesuai prinsip Bhineka Tunggal Ika atau istilah yang sering kita dengar “Setuju dalam Perbedaan”.

Sekian banyak pengalaman dan pemikiran diwariskan kepada kita melalui buku-buku yang sudah diterbitkan. Asal Usul Agama, Ilmu Perbandingan Agama dan Metodenya, Pelbagai Persoalan Agama di Indonesia Dewasa Ini, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia, Dialog Antaragama, dan Beberapa Pertimbangan tentang Peningkatan Mutu IAIN dan Kurikulum.

Buku berjudul Pelbagai Persoalan agama di Indonesia Dewasa Ini, memuat dan pengakuan secara jujur pelbagai persoalan agama yang masih relevan dengan kondisi persoalan agama saat ini. Misalnya, masalah liberalisme, modernisme agama, sekularisme, pluralisme, dan tema-tema lainnya, masih menjadi momok menakutkan, bagi sebagian umat Islam Indonesia  hingga saat ini.

Kita mengutip pemikiran modernisasi Mukti Ali dari buku berjudul Pelbagai Persoalan agama di Indonesia Dewasa Ini, dalam pengertian baku: “... Untuk memodernisasikan Indonesia tidak bisa mencontoh Barat, karena masyarakat Barat sendiri selalu dalam proses. Modernisasi Indonesia tidak bisa mencontoh Barat, karena kesadaran diri sendiri dibentuk oleh perjalanan sejarah Indonesia berbeda dengan proses yang terjadi di Barat. Ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa mengambil sesuatu yang bermanfaat dari Barat. Kita bisa saja mencontoh dan mengambil apa yang bermanfaat bagi kita dari mana saja, baik dari Barat maupun dari Timur.”

Ruang diskusi

Selepas dari jabatan Menteri Agama, Mukti Ali pindah ke IAIN (sekarang UIN) Yogyakarta menjadi Wakil Rektor Bidang Akademis Urusan Ilmu Pengetahuan Umum saat itu. Dari sinilah, Mukti Ali dan para mahasiswa sekitar Yogyakarta bergairah mengobrolkan tema-tema yang pada saat itu masih tabu untuk diobrolkan.

Misalnya, obrolan tentang sekularisme, liberalisme, kapitalisme, hukum Islam, dan tema-tema keagamaan lainnya. Obrolan ini berbarengan dengan diskusi lingkaran Limeted Group yang dipimpin langsung Mukti Ali, sekaligus anggota. Sejak saat itu, awal mula pembaruan pemikiran Islam ditancapkan di Yogyakarta.

Obrolan yang diadakan setiap Jumat sore bertempat di rumah Mukti Ali, kompleks perumahan dosen IAIN Sunan Kalijaga ini menjadi bukti lahirnya pemikiran Islam neo-modernisme di Indonesia. Dalam buku berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Paramadina: 1999) garapan Greg Barton menilai lingkaran Limited Group sebagai orbrolan substansial dari “sesuatu yang baru” pada saat itu dan merupakan cikal bakal pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.

Melalui media berupa buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (1981) yang disunting oleh dua sahabatnya, Djohan Effendi dan Ismet Natsir terbitan LP3ES dan diberi pengantar langsung Mukti Ali, anggota diskusi lingkaran Limited Group terdiri dari anak-anak muda memiliki pemikiran progresif.

Kita simak pengakuan Mukti Ali, “Saya merasa akan sangat rugi apabila kalangan muda itu dibiarkan memendam pelbagai pertanyaan dan mungkin gugatan dalam pikiran mereka, yang justru menyangkut hal-hal yang dasar dalam agama. Mereka itu rata-rata berusia dua puluhan. Mereka sedang dalam proses mencari, dan dalam proses pencarian itu tentu saja pendapat-pendapat mereka masih belum mapan. Justru dalam forum diskusi bisa dilakukan dialog yang terbuka tanpa mereka merasa digurui dan dihakimi.”

Tentu, kita tahu siapa saja anggota anak muda yang dimaksud oleh Mukti Ali tersebut. Sebut saja misalnya, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Syu’bah Asa, Saifullah Mahyudin, Djauhari Muhsin, Kuntowijoyo, Simuh, Kamal Muchtar, Wajiz Anwar, Lafran Pane, Niel Mulder, dan James Peacock serta dari pelbagai pemeluk agama lain yang oleh Mukti Ali dikatakan sebagai cikal bakal dari emrio dialog antarumat. Nama-nama yang sudah tak asing lagi di telinga saat ini.

Kita berhak memberi tanggapan dan mengakuan bahwa sebagian besar anggota lingkaran diskusi Limited Group menjadi pemain aktif dalam penyebaran gagasan neo-modernisme Islam di Indonesia hingga saat ini.

Gagasan-gagasan besar Mukti Ali dulunya berada di bawah naungan lingkar diskusi Limited Group. Kini setelah 15 tahun kepergian A. Mukti Ali, lingkaran diskusi tersebut, tetap eksis dan abadi dalam lingkar “Diskusi Malam Sabtu”. Dalam lingkar diskusi ini, hampir tidak jauh berbeda dengan tema-tema diskusi Limited Group yaitu tertuju pada persoalan-persoalan yang dianggap “final” dan tidak perlu diungkit-ungkit lagi, tapi masih bisa didiskusikan maupun persoalan-persoalan belum “selesai” menjadi bahan diskusi.

Kalau di lingkar diskusi Limited Group ada Djohan Effendi dan Ahmad Wahib Syu’bah Asa dkk, dianggap sebagai tokoh yang memegang peranan penting dalam membangun kesadaran intelektual, dalam lingkar Diskusi Malam Sabtu ada M. Damami, selaku murid langsung A. Mukti Ali, dan Prof. Abdul Karim selaku mederator yang senantiasa mengarahkan kita, serta ada Muhammad Yaser Arafat, selaku pemantik pencari pemateri diskusi.

Tentu, penulis mengakui, sebagai bagian dari lingkaran Diskusi Malam Sabtu sedikit banyak terdapat perbedaan dengan Limited Group. Meskipun anggotanya sama-sama masih mahasiswa di sekitar Yogyakarta dengan lintas kampus, jurusan, ideologi, dan agama serta politik dengan pemikiran yang belum matang dan dalam proses mencari, sebagaimana pengakuan Mukti Ali tadi, tetapi secara spirit dan indiviual mungkin berbeda.

Pada akhirnya, setelah 15 tahun kepergian A. Mukti Ali, nama dan jejak langkah warisan pemikiran Mukti Ali tidak hanya abadi dalam setiap ingatan diskusi Limited Group maupun Diskusi Malam Sabtu, akan tetapi juga abadi dalam ingat Mahasiwa Jurusan Sosiologi Agama-agama, kini berganti nama Juruasan Perbandingan Agama, serta abadi sebagai nama perpustakaan UIN Sunan Kalijaga sejak Selasa, 8 Agustus 2017. Gitu.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Syahuri Arsyi

Mahasiswa dan Penikmat Ngaji Filsafat Virtual