Jalaluddin Rumi: Mengetuk Kerinduan dengan Tarian
“Setiap zarah menari di daratan atau di atas angin berhembusan”—Jalaluddin Rumi
Jalaluddin Rumi Muhammad bin Bahauddin Walad bin Hasin bin Al-Khattabi al-Bakri atau yang akrab dikenal dengan Maulana Jalaluddin Rumi merupakan seorang sufi besar. Ia lahir di Balk Afganistan pada 30 September 1207 M atau 6 Rabiul awal 604 H. Kelahiran Rumi diwarnai dengan kedatangan tentara Mongol, yang mengakibatkan keluarganya berpindah-pindah tempat, mulai dari Samarkand, Waksh, Damaskus sampai menetap di Konya, Anatolia Tengah (Rumi, 2018).
Melalui garis keturunan ibunya Mu’mina Khatun, nasab Maulana Jalaluddin Rumi jika ditarik ke atas sampai kepada khalifah Islam keempat, yakni Ali bin Abi Thalib. Sedangkan jika dirunut melalui ayahnya Muhammad Bahauddin Walad, nasab Maulana Jalaluddin Rumi sampai ke khalifah Islam pertama Abu Bakar. Di Konya, Rumi tumbuh besar dan memiliki kecakapan dalam ilmu pengetahuan sehingga ia diberi gelar “Maulana” yang berarti Tuan Kami. Kecakapan dan kemasyhuran Rumi tidak lepas dari pengaruh dua guru yang mengajarinya banyak hal, pertama ayahnya sendiri Bahauddin Walad, dan kedua Syamsuddin At-Tabriz (Andriyani, 2017).
Bahauddin Walad ialah seorang ahli hukum dan mempelajari tasawuf yang sanad keilmuannya dari adik Hujjatul Islam Al-Ghazali, yaitu Ahmad Al-Ghazali. Bahauddin Walad mengajarkan banyak hal kepada Maulana Jalaluddin Rumi, seperti tentang fikih dan tasawuf. Ketika ayahnya meninggal, Maulana Jalaluddin Rumi menggantikan posisi ayahnya untuk mengajar di Madrasah di Konya. Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan Syamsuddin At-Tabriz. Pertemuan ini sekaligus menjadi babakan baru dalam hidup Maulana Jalaluddin Rumi.
Syamsuddin At-Tabriz atau yang dikenal dengan Syam Tabriz merupakan sosok misterius. Ada banyak versi cerita mengenai pertemuan Maulana Jalaluddin Rumi dengan Syam Tabriz. Beberapa ada yang mengatakan ketika Maulana Jalaluddin Rumi sedang asyik mengajar muridnya di pagi hari seperti biasanya, kemudian datanglah Syam Tabrizi lantas bertanya pada Rumi tentang apa yang dimaksud dengan riyadah dan ilmu. Mendengar pertanyaan dari Syam Tabriz yang sebelumnya tidak ia kenal malah membuat Maulana Jalaluddin Rumi terkesima.
Ada juga versi lain yang mengisahkan Syam Tabrizi datang ketika Rumi sedang mengajar lantas bertanya, “Siapakah yang lebih agung antara Nabi Muhammad Rasulullah atau Bayazid Bistami sang sufi Persia?” Bayazid sendiri pernah mengatakan Subhani (Mahasuci Aku), dan Rasulullah pernah berdoa kepada Allah “Kami tidak mengenal-Mu seperti seharusnya” (Andriyani, 2017).
Pertemuan pertama Maulana Jalaluddin Rumi dengan Syam Tabriz menggetarkan dan memicu banyak keingintahuan, sampai akhirnya ia memutuskan untuk berguru dengan Syam Tabrizi. Syam Tabriz mengajar dan membimbing Maulana Jalaluddin Rumi dengan ilmu yang belum pernah ia pelajari sebelumnya. Ia merasakan hakikat cinta dan ikatan yang kuat dengan gurunya.
Hanya saja, Syam Tabriz pernah pergi meninggalkan Maulana Jalaluddin Rumi. Kepergian gurunya membuat Rumi merasa sedih. Rumi kemudian mulai menulis syair-syair sebagai bentuk pengaduan sedih dan rindu kepada gurunya yang belakangan kita kenal dalam karya Diwan Syamsi Tabriz.
Dalam hal ini juga ada dua versi perihal alasan perginya Syam Tabriz. Pertama, karena datangnya fitnah baru. Ajaran dan khotbah Syam Tabrizi yang kritis dan tajam dianggap berpotensi mengancam kaum ulama ortodoks (Andriyani, 2017). Kedua, Syam Tabrizi pergi demi kematangan spiritual Rumi yakni melalui perpisahan. Saat itu Rumi berusia 40 tahun dan dianggap sebagai simbol kematangan spiritual, sebab Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasulullah pada usia 40 tahun. Kematangan artinya persatuan dengan Sang Kekasih (Rumi, 2018).
Kepergian gurunya ini juga memicu adanya majelis sama’, majelis yang berisi zikir dengan musik dan tarian. Rumi memakai pakaian berkabung dalam majelis ini sebagai simbol kesedihan (Azra, 2008). Majelis dan tarian ini kemudian menyebar melalui tarekat Maulawiyah yang didirikan oleh Maulana Jalaluddin Rumi sendiri. Tarian ini juga menjadi media bagi Rumi untuk berzikir dan meluapkan kerinduannya kepada gurunya.
Tarian yang dilakukan oleh Rumi disebut dengan tari sufi atau istilah yang lain ialah whirling dance, whirling dhervishes, sufi dance yang berarti sufi atau darwis yang menari berputar. Tari ini memiliki ritual dan gerakan. Dalam Kimiya’ al-Sa’adah karya Al-Ghazali disebutkan, dalam sebuah riwayat bahwa Syekh Abu Qasim al-Jurjani saat murid meminta izin untuk menari, beliau berkata, “Jalani puasa yang ketat selama tiga hari, kemudian suruh orang lain memasak makanan yang menggiurkan. Jika setelah itu kau masih lebih menyukai tarian itu, kau boleh ikut” (Al-Ghazali, 2001).
Rumi melakukan tarian sufi bukan karena tidak ada sebab dan perjalanan terlebih dahulu. Rumi berkhalwat selama empat bulan lamanya dengan gurunya Syam Tabrizi, untuk melakukan tarian. Gerakan pada tari sufi ini dimulai dari tangan yang disilangkan, jemari mencengkram bahu, kemudian menunduk seperti gerakan rukuk dalam shalat. Gerakan ini menjadi tanda penghormatan kepada guru. Kemudian berputar ke arah kiri, telapak tangan kanan menengadah ke atas sebagai tanda menerima rahmat Allah, dan tangan kiri tengkurap ke bawah menjadi tanda perantara rahmat Allah kepada makhluk yang lain. Sedangkan kaki kiri sebagai tumpuan saat berputar.
Karena interaksi dan kedekatan Maulana Jalaluddin Rumi dengan Syam Tabrizi cukup erat, tiap kali Rumi melakukan tarian sufi, ia merasakan gurunya hadir dalam dirinya. Dan Maulana Jalaluddin Rumi meluapkan kerinduannya kepada gurunya melalui tarian whirling dance.
Referensi:
Al-Ghazali, 2001, Kimiya’ al-Sa’adah, Jakarta: Zaman.
Andriyani, Cindi, 2017, Jejak Langkah Sang Sufi Jalaluddin Rumi, Yogyakarta: Mueeza.
Azra, Azyumardi, 2008, Ensklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa.
Rumi, Jalaluddin, 2018, Matahari Diwan Syams Tabrizi, Yogyakarta: Forum.
Category : kolom
SHARE THIS POST