Iqra (Bacalah) sebagai Seni Memahami
Perintah “Iqra” (Bacalah) Malaikat Jibril kepada Muhammad sebagai wahyu pertama yang terima, Nabi diliputi rasa gelisah, keraguan, dan harapan akan kebenaran menjadi awal dari tugas kenabian. Hingga hati Rasulullah diliputi lagi oleh kegelisahan yang sangat dan merasakan beban emosi yang menghimpit, Nabi pun pulang ke rumah dengan perasaan waswas, dan meminta istrinya untuk menyelimuti. Lalu turunlah perintah yang kedua dalam QS Al-Muddathtir [74]: 1 yang artinya, “Hai orang yang berkemul (berselimut)”.[1]
Kisah lainnya datang dari bumi Nusantara, yaitu kisah perseteruan yang melibatkan sepucuk keris antara Sutowijaya dan Arya Penangsang. Akhirnya Arya Panangsang gugur di medan pertempuran karena kerisnya sendiri akibat kesalahan dan ketidakpekaan menerima/membaca isyarat (makna) gurunya (Sunan Kudus) saat mereka masih berdiplomasi dengan Sutowijoyo yang kemudian dikenal dalam sejarah sebagai pendiri Kesultanan (Islam) Mataram II.[2]
Dari kedua kisah di atas, kita dapat melihat siapa yang dapat memahami makna dan siapa yang tidak. Kondisi hari ini pun demikian, banyak orang yang mengaku paham Islam tetapi tidak membaca makna secara utuh. Akibatnya yang terjadi ialah apabila ada orang yang tidak sepaham dengannya dianggap kafir, bid’ah, radikal, tidak toleran, dan lain sebagainya. Padahal, syariat Islam itu bukan hanya iman dan Islam saja, tetapi ada ihsannya juga.
Dapat dikatakan, “persoalan” pemahaman teks dalam Islam dari masa lalu adalah makna dari kata “Iqra” dalam surah Al-Alaq dan terkait dengan kondisi Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu pada saat itu yang sampai bergemetar dan merasa cemas hingga meminta istrinya untuk menyelimuti beliau.
Untuk memahami sebuah makna teks, kita dapat menggunakan hermeneutiknya Paul Ricoeur. Ia adalah seorang filosof Prancis yang paling sedikit kontroversial dan paling tidak pretensius dibandingkan pemikir-pemikir Prancis lainnya yang cenderung provokatif dan radikal. Ricoeur lahir pada 27 Februari 1913 di Kota Velence, selatan Lyons, Prancis. Motif yang melandasi pemikiran-pemikirannya adalah keserentakan antara interpretasi dan refleksi kehidupan, antara hermeneutik dan makna hidup.[3]
Menurut Kuntowijoyo, dalam memahami Islam sebagai ilmu harus memiliki karakteristik sebagai Islam yang humanitas (memanusiakan manusia), liberasi (membebaskan manusia dari penindasan), dan transendensi (membawa manusia kepada Tuhan).[4] Pemahaman terhadap Islam ini dapat terlaksana apabila umat Islam dapat membaca (Iqra) sebagai seni untuk memahami.
Upaya untuk menyingkap intensi yang tersembunyi di balik teks, adalah tugas utama dari Iqra (Bacalah). Menempatkan humanisasi sebagai amar ma’ruf, liberasi sebagai nahi munkar, dan trasendensi sebagai tu’minunah billah yang bersumber pada QS Al-Imran [3]: 110. Ketiga muatan tersebut merupakan salah tiga di antara risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan (Rasulullah) kepada umat manusia, khususnya bangsa Arab yang pada saat itu masih diliputi sifat jahiliyah.
Relevansinya dari hermeneutika Paul Ricoeur dengan kata “Iqra” (Bacalah) sebagai seni memahami berarti sebisa mungkin kita mengaitkannya dengan makna hidup, dan kita mengaitkan teks (Al-Qur’an) dengan makna hidup, yakni lewat refleksi. Sebuah teks tidak hanya memiliki makna di dalam dirinya: ia juga mengacu pada makna di luar dirinya, yaitu kepada kehidupan kita, dan dunia.[5] Maka tugas Iqra tidak hanya memahami makna yang termuat dalam teks, melainkan juga memahami kehidupan dan dunia.
Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, semua yang dipahami manusia ialah bersifat simbolik dan tugas kita adalah membaca simbol-simbol tersebut. Contohnya pohon, bagi sebagian orang memahami pohon itu memiliki makna sebagai penyuplai oksigen yang sangat penting bagi manusia. Sedangkan bagi yang lain, pohon dimaknai sebagai bahan untuk membuat saka rumah. Artinya pohon tersebut tidak pernah bunyi menurut dirinya sendiri, pohon selalu ditempeli makna oleh yang membaca/memahami.
Ada dua hal yang harus kita pahami di sini, yaitu percaya supaya memahami berarti bahwa iman merupakan presuposisi pemahaman dan memahami supaya percaya berarti bahwa interpretasi membantu orang modern untuk beriman. Presuposisi (presupposition) berasal dari kata bahasa Inggris “pre-suppose” yang berarti to assume beforehand (praanggapan/dugaan sementara).
Perspektif Islam sebagai ilmu dan Iqra (Bacalah) sebagai seni untuk memahami makna, maka melahirkan creative tension yaitu hadirnya inovasi-inovasi baru yang kreatif yang dapat memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban dunia Islam. Karena itu, coba kita curigai dahulu diri kita sendiri sebelum orang lain, bahwa jangan-jangan yang kita anggap kebenaran dan tepat itu adalah kreasi kita sendiri, bukan dari makna yang hakiki. Sebab, makna dari satu teks selalu ditentukan oleh signifikasi yang ditempelkan seorang interpreter terhadapnya.
Asumsi-asumsi dasarnya—dalam konteks hermenetika—bahwa manusia adalah self-interpreting being. Self (manusia) itu terbentuk oleh sejarah dan bahasa. Self (manusia) itu juga sifatnya dialogis/dialektis. Dunia tempat kita tinggal pun adalah satu konstruksi mental yang kita bentuk sendiri dengan perspektif subjektif kita. Dan pemahaman kita tetang dunia, penerimaan kita terhadap makna yang ada dibaliknya ditentukan oleh pengalaman hidup yang kita miliki. “To know” itu berhubungan erat dengan “to be” (Ngaji Filsafat edisi Hermeneutika, 11/9/2013).
Iqra (Bacalah) sebagai seni untuk memahami, akan menghindarkan dari sifat merasa paling benar dibanding orang lain yang berbeda pendapat dengan kita. Untuk sampai ke sini, jangan hanya mengurai makna asli yang terdapat dalam teks atau suara dalam dialog (level literal), tetapi diupayakan pembacaan untuk mengurai makna dari konteks sosio-historis saat teks diproduksi (level historis kultural) dan memahami sebagai “penyatuan” antara aurhor dan reader—fusion of horisons—(level eksistensial).
Referensi:
F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2018).
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, Dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007).
Ngaji Filsafat edisi Hermeneutika bersama Fahruddin Faiz di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, 11 September 2013.
Otto Sukatno. Politik Identitas: Kesaktian dan Identitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018.
Philip K. Hitti. History Of The Arabs (Jakarta: Serambi, 2013.
[1] Philip K. Hitti, History Of The Arabs (Jakarta: Serambi, 2013), hlm. 141.
[2] Selengkapnya lihat Otto Sukatno, Politik Identitas: Kesaktian dan Identitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), hlm. 62.
[3] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hlm. 236.
[4] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hlm. 81.
[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, hlm. 241.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST