Insan Kamil Muhammad Iqbal
Layar Liquid Cristal Display sudah terpasang di barisan paling depan ruang utama Masjid Jenderal Sudirman (MJS). Layar berkembang berarti bahtera akan segera melaju. Seperti kata Pak Faiz, “Kita jelajahi terus karena ilmu tidak akan ada habisnya.”
Tak pernah terpisah juga, satu meja kecil yang diatasnya tersaji dua termos besar berisi kopi dan teh. Masjid kembali menggelar ngaji filsafat. Semua duduk bersama di atas lantai masjid. Apapun latar belakangnya, siapapun boleh mereguknya. Semakin banyak yang hadir berarti semakin beragam pengalaman yang dirasakan.
Di tengah hiruk pikuk keseharian, ngaji menjadi rejuvenation (peremajaan kembali) atau semacam klik kanan-refresh. Seharian di sekitar kita, mata dan telinga sering direpotkan dan dilelahkan oleh tulisan maupun kata-kata yang saling bersaing berdesakan. Ada waktunya kita perlu untuk menengok ke dalam diri. Mungkin isi di dalam diri sedang berserakan dan bercerai-berai yang perlu ditata kembali oleh masing-masing diri.
Siapa manusia?
Membincangkan tentang manusia seperti memutar kembali ingatan-ingatan yang pernah diajarkan sejak usia dini bahwa banyak sekali label atau gelar keistimewaan yang disematkan pada manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Konon manusia adalah makhluk yang dikaruniai akal dan diciptakan untuk menjaga serta memelihara alam dan makhluk lainnya. Lalu, apakah dalam sepanjang kronologis bumi ini manusia bertindak seperti itu?
Sekali-kali saya suka membaca buku anak-anak karena menyenangkan dan yang jelas ada gambar berwarnanya. Ada salah satu buku anak-anak yang bercerita tentang flora dan fauna. Sebelum halaman terakhir ada halaman yang isi tulisannya membuatku termangu:
“Tidak seorang pun sadar betapa perusaknya manusia. Selama sekitar 50.000 tahun terakhir. Kemanapun kita pergi, satwa cenderung lenyap dalam jumlah yang luar biasa... . Jadi apakah manusia merupakan kabar buruk bagi makhluk-makhluk hidup lain? Yang menyedihkan, kita memang demikian. Laju kepunahan alami di bumi sepanjang sejarah biologi rata-rata adalah satu spesies per empat tahun. Menurut taksiran, kepunahan oleh manusia saat ini barangkali sampai 120.000 kalinya.”
Belum cukup itu, bahkan sebagian manusia ada yang menyerang sesamanya hingga menghilangkan nyawa. Menyedihkan memang. Anehnya, ketika manusia marah dengan penuh kebencian, yang keluar adalah sumpah serapah dengan menyebut nama-nama binatang.
Kalau bisa berbicara, para binatang mungkin akan menuntut perkataan-perkataan sumpah serapah itu. Mungkinkah itu juga termasuk “penistaan binatang?” Seperti yang terungkap dalam cerpen anak-anak yang berjudul “Kepinding yang Bijak” dalam buku Ibuku Sahabatku karya Soekanto SA (2007):
“Aku seekor kepinding. Di daerahmu mungkin aku disebut pula tinggi, tumbila, atau yang tak kusukai, bangsat. Mengapa? Karena sebenarnya tak ada bangsat di dunia kepinding. Kami hanya hidup secara jujur, menghisap darah manusia yang kebetulan berada di dekat kami. Orang orang yang duduk di kursi, tidur di tilam, tikar, dan sebagainya.
Tetapi itu tak penting. Biarkan saja manusia marah kepada kami karena kami menggigitnya. Tapi bukankah kami hanya menjalani kodrat Tuhan? Karena itu kalian anak-anak yang baik, janganlah menyebut bangsaku ‘bangsat’, lebih baik kepinding. Mau bukan? Nah kalian baik hati, karena itu aku akan terus bercerita kepada kalian.”
Manusia memang seringkali bertindak blunder secara kemanusiaan yaitu tidak mau berpikir. Dan tahukah? Dalam kemarahan, yang paling tersakiti adalah diri sendiri.
Manusia dan cinta
Manusia diciptakan sebagai hamba Allah dan sekaligus pemelihara bumi. Muhammad Iqbal (1877-1938) menjelaskan bahwa manusia perlu merealisasikan dirinya dengan wadah yang agung bernama cinta. “Aku ragu akan diriku, namun cinta berkata: aku ada”, ungkap Muhammad Iqbal. Lanjutnya bahwa cinta adalah bentuk tertinggi penciptaan nilai-nilai dan cita-cita serta upaya untuk merealisasikannya.
Sebelum bicara benar-salah ataupun hak dan kewajiban, seyogyanya manusia perlu mempelajari cinta terlebih dahulu.
Nabi Muhammad memberikan teladan. Meski Nabi Muhammad telah mi’raj ke langit dan memperoleh pengalaman spiritual yang setinggi-tingginya tetapi tetap kembali ke bumi. Kesalehan dan cinta perlu dibangun secara ritual, sosial pada manusia dan alam semesta.
Muhammad Iqbal termasuk dalam tokoh aliran eksistensialisme, mengungkapkan bahwa esensi itu ditentukan oleh eksistensi. Kita bisa menunjukkan bahwa Islam itu damai dan rahmatan lil alamin kalau kita bisa membuktikannya dalam realitas keseharian. Bagaimana orang lain bisa percaya jika agama Islam itu membawa kedamaian kalau hari-hari ini umatnya tiap hari tawuran, saling menghina, menebar kebencian dan ketakutan. Soekarno menyebutnya dengan istilah gejala kelompok “Islam Sontoloyo”, yaitu kelompok yang gemar mengkafirkan orang lain, taklid buta, tidak melek sejarah, tidak bisa membaca realitas dan menafsirkan Islam untuk kepentingan kekuasaannya serta keuntungan kelompoknya sendiri. Semoga kita tidak termasuk umat yang sontoloyo.
Dalam konsep Insan Kamil menurut Muhammad Iqbal dikatakan bahwa hidup ini perlu cita-cita dan tujuan. Apalagi tiap manusia adalah individu yang sadar, kreatif dan bertanggungjawab. Tiap individu bisa menemukan makna hidup dalam pengalaman sendiri. Kajian dan ilmu-ilmu yang dipelajari harusnya tersambung realitas dan problem nyata.
Dalam diri manusia ada actus dan potensia. “Actus bersifat material atau minimal memungkinkan registrasi inderawi, sementara potensia bersifat spiritual.”
Terdapat jutaan potensi di dalam diri manusia. Potensi manusia tidak akan habis direalisasikan menjadi sesuatu yang aktual. Manusia tidak boleh menyerah atau putus asa dengan keadaan. Masih ada banyak jalan dan daya yang bisa dilakukan. Manusia perlu mengembangkan potensi, membentuk diri dan menjadi manusia yang bermanfaat. Tanpa mengetahui potensi dan membentuk diri, manusia tidak bisa berbagi bagi sesama manusia dan alam.
Muhammad Iqbal juga menekankan pada pentingnya mengenal diri sendiri. Siapa diri ini? Bukan jawaban nama tetapi lebih pada cita-cita dan tujuan yang diri sendirilah yang mengizinkannya masuk. Orang yang tidak bisa mengenal dirinya sendiri biasanya tidak bisa membaca diri sendiri. Lalu terjebak pada sikap cerewet mencari kesalahan orang lain dan merendahkan orang lain kemudian menonjolkan dirinya sendiri merasa yang paling benar. Orang yang mencari kesalahan orang lain biasanya tidak percaya diri dengan kebenarannya sendiri. Begitu juga orang yang tidak bisa menghargai orang lain biasanya tidak bisa menghargai diri sendiri.
Insan Kamil menurut Muhammad Iqbal harus memiliki kekokohan diri yang jelas dan otentik (ego: karakter, personalitas, kemandirian). Diri yang labil biasanya susah mencapai tujuan karena selalu terseret arus dan tergantung dengan yang lain. Diri yang tidak otentik biasanya tenggelam dalam kerumunan, terjebak dalam imitasi, dan sering berlari-lari dari satu idola ke idola lainnya.
“Betapa pedihnya manusia merdeka yang hidup di dunia yang diciptakan orang lain”, kata Muhammad Iqbal. Memperbudak dan diperbudak adalah dua perilaku orang yang sama lemahnya karena saling tergantung pada orang lain.
Insan Kamil bisa terwujud jika modus hidup yang dijalani berdasar cinta, melakukan kebaikan tanpa memikirkan balasan, ada keberanian, toleran, mencari yang halal, melakukan aktivitas kreatif. Masyarakat Insan Kamil selalu punya cita-cita, bukan masyarakat yang memikirkan perut sendiri dan menghalalkan berbagai cara demi kepentingan sendiri.
Indah nian kalau setiap manusia mengetahui dirinya adalah manusia.
Kembali ke keseharian
Bangun di pagi hari, dimulai dengan udara dan tubuh yang kembali segar. Namun ada juga kebiasaan buruk manusia modern lakukan, kata Isaac Singer (penulis asal Amerika), yaitu membaca koran di pagi hari. Katanya, membaca koran di pagi hari bisa menjadikan awal hari penuh kegelisahan dan kesumpekan dengan berita-berita buruk di hari sebelumnya. Apalagi kini ada media sosial, yang seringkali dipenuhi mentalitas kerumunan yang cenderung berprasangka buruk (suudzon). Ini menjadi tidak menyehatkan secara psikologis.
Manusia biasanya terperangkap dalam prasangka. Prasangka juga hadir karena cenderung bekerja dalam dua kubu yaitu suka atau tidak suka. Orang yang suka biasanya melihat kelebihannya dan orang yang tidak suka biasa melihat dari kejelekannya. Akhirnya kedua kubu hanya bermonolog dan debat kusir. Tak ada dialog.
Apadaya, terkadang hanya bisa tertawa diatas ketidakberdayaan diri sendiri ketika prasangka, kebencian, kekejaman dan popularitas menjadi tontonan di balik layar kaca.
Memahami harus adil. Namun keadilan sejak dalam berpikir dan bertindak, selama ini hanya menjadi sekedar kutipan pemanis untuk sekedar eksis-eksisan atau gaya-gayaan bagi manusia yang miskin perhatian. Manusia kini berlari dari sepi ke sepi lain, ingin menangkap kebenaran tetapi lenyap yang didapat.
Teringat dengan ujian tiga filter menurut Socrates, “Kalau yang akan kamu katakan padaku itu tidak benar, tidak baik dan juga tidak berguna, lalu mengapa kamu masih akan menceritakan juga?” Penting untuk memeriksa dan menganalisis informasi dan kejadian terlebih dulu agar tidak terkesan terus-terusan hobi membagikan dengan mudahnya klik salin dan tempel.
Mungkin inilah saatnya melakukan reevaluasi, termasuk diri saya sendiri. Berharap menemukan actus, potensia dan cinta.
Wallahu a'lam.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST