Himmah dalam Mencari Ilmu

17 Agustus 2019
|
2202

  Musim mahasiswa baru telah tiba. Hal ini mengingatkan saya pada fase awal masuk kuliah. Masih lekat dalam ingatan, pada awal mula saya menginjakkan kaki di bumi para sultan ini. Daerah istimewa yang melekat pada kota Yogyakarta yang juga terkenal dengan sebutan kota pelajar. Banyak pemuda dari berbagai daerah menekatkan diri pergi jauh terasing dari kampung halaman demi menimba ilmu ke kota ini. Bukan perkara mudah berpisah jauh dari keluarga dan kampung halaman. Menuntut ilmu ke Yogyakarta menjadi sebuah keputusan dan langkah berat bagi semua orang dan termasuk saya waktu itu. Teman-teman saya banyak yang tidak memilih kuliah jauh-jauh, kebanyakan masih di dalam kota dan dekat dengan kampung halaman. Namun, saya yakin pada syair-syair Imam Asy-Syafi’i yang begitu menyengat semangat dan menggugah himmah (kemauan yang kuat) untuk merantau mencari ilmu. Syair beliau yang masyur itu dinamai Diwan al-Imam asy-Syafi’i (Cet. Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam, Beirut, hlm. 39).

Merantaulah! Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing di negeri orang. Merantaulah! Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan). Berlelah-lelahlah! Manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akan kena sasaran. Jika matahari diorbitnya tak bergerak dan terus berdiam tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang. Biji emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang). Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan. Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya. Jika biji emas memisahkan diri dari tanah, barulah ia dihargai sebagai emas murni.

Sunguh indah dan menggugah siapa saja yang membaca atau mendengar syair beliau ini. Perumpamaan-perumpamaan yang beliau ambil sungguh mampu menghembuskan semangat yang begitu besar. Saya pun membulatkan tekad untuk merantau.

Baca juga: Pesan Nabi Muhammad Saw Untuk Kita Perihal Mualaf

Sampai depan pagar rumah, ibu tampak sedih melepas kepergian saya merantau jauh. Beliau berseru dari teras rumah, agak keras suaranya, setengah berteriak dengan suara terdengar berat, “Semoga terkabul semua yang kamu cita-citakan, nak! Semoga terkabul cita-citamu! Semoga terkabul!”. Saya langsung merinding dan menjawab amin sambil menoleh dan berusaha tersenyum agar ibu merasa tenang bahwa anaknya ini akan baik-baik saja. Terlihat mata beliau berkaca-kaca dengan pandangan getir. Saya merasakan langit bergemuruh merekam suasana kala itu. Sebuah doa yang dilemparkan seorang ibu ke langit dengan kepasrahan yang bulat dan keiklasan penuh khawatir. Seseorang harus basah menyelam ke dasar laut untuk mendapatkan permata. Seorang pendaki harus berlelah-lelah terlebih dahulu untuk mencapai puncak gunung ataupun untuk dapat melihat pemandangan yang indah. Begitulah, semua harus ditelan sebagai sebuah proses sementara waktu.

Dekat dengan masjid

Hal pertama yang menjadi kriteria tempat tinggal saya di Yogyakarta, ialah harus dekat dengan masjid. Saya ingat cerita guru saya, waktu merantu mencari ilmu ia mencari tempat tinggal yang dekat dengan masjid. Dari situ, saya belajar dan termotivasi untuk mengikuti langkah beliau. Saya memutuskan mencari indekos yang dekat dengan masjid. Pikir saya, kalau dekat dengan masjid tentu salat berjamaah akan lebih istikamah dan moga-moga bisa meraih keutamaan pahala salat berjamaah di masjid. Semoga juga, menjadi jalan dibukanya pintu ampunannya atas dosa-dosa yang telah lalu. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw, “Ada tujuh golongan yang dinaungi kelak… dan satunya adalah orang yang hatinya terpaut dengan masjid. Seorang pemuda yang hatinya terikat dengan masjid, orang-orang itulah yang akan mendapatkan perlindungan dari Allah saat kiamat kelak.” (HR. Bukhari). Di dalam hadis yang lain Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barang siapa yang berwudu untuk salat dan menyempurnakan wudunya, lalu berjalan untuk menunaikan salat dan ia salat bersama manusia atau berjamaah atau di dalam masjid, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Muslim).

Menghormati guru

Seperti pada umumnya mahasiswa baru, awal-awal kuliah adalah suatu fase yang sangat menyenangkan dan penuh semangat. Idealisme itu belum tercemar oleh masalah-masalah klasik anak muda yang bernama mahasiswa. Namun semangat yang mengebu-gebu yang tidak diimbangi dengan etika-akhlak yang baik bisa terprosok pada su’ul adab pada guru. Yakni tidak beretika baik terhadap guru. Hal ini saya lihat pada saat awal-awal masuk kelas perdana. Dosen saya yang kondang sering masuk tivi itu, membuat mahasiswa baru di kelas antusias bersemangat untuk bertanya ini dan itu. Walaupun terkadang saya mendengar pertanyaannya kurang pas untuk ditanyakan.

Saya jadi teringat pesan Imam Al-Ghazali tentang adab seorang murid terhadap gurunya. Dalam risalahnya yang berjudul Al-Adab fi ad-Din, beliau berpesan, “Seorang murid hendaknya tidak bertanya sebelum diberi izin, tidak mengungkapkan sesuatu yang bertentangan dengan ucapannya, misalnya dengan berkata, ‘Pendapat si fulan berbeda dengan ucapanmu.’ Tidak menunjukkan sesuatu yang bersebrangan dengan pendapatnya sehingga terlihat ia lebih tahu tentang yang benar daripada gurunya, perhatikan pertanyaan Musa a.s kepada Nabi Khidir a.s, ‘Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’ (Al-Khahfi [18]: 71).”

Dialog Nabi Musa yang menyalahkan Nabi Khidir karena ilmu Nabi Musa belum sampai pada tahapan pemahaman ilmunya Nabi Khidir. Hal ini mengandung ibrah yang sangat baik bagi seorang murid bagaimana bersikap takdim terhadap gurunya.

Khidmat pada jalan ilmu

Suatu waktu pada sebuah forum pelatihan organisasi, saya bertemu dengan seorang peserta dari Indonesia bagian timur. Ia jauh-jauh terbang ke Yogyakarta hanya untuk mengikuti pelatihan organisasi. Ia bercerita bagaimana prosesnya sebelum berangkat ke Yogya. Katanya, sebelum didelegasikan, ia bertanya kepada ketuanya di sana, bagaimana kalau ia tidak lolos screnning, apa yang akan dilakukannya di Yogya, apakah langsung pulang? Lalu ketuanya menjawab, “Kamu kalau tidak lolos screnning dan tidak bisa ikut pelatihannya di sana, kamu jangan pulang. Kamu harus daftar jadi panitianya. Terserah jadi bagian apa saja, bagian bersih-bersih atau bagian memasak, yang penting kamu ikut terlibat dalam menyukseskan acara pelatihan itu.”

Mendengar cerita itu, saya merasa sangat tersentuh. Hati saya basah, ya Allah begitu mulia sikapnya dalam mencari ilmu. Kalau tidak bisa ikut pelatihannya lantaran tidak lolos screnning ia tetap di minta ikut terlibat dalam menyukseskan majelis ilmu tersebut. Saya sangat terenyuh mendengar cerita itu. Ikut pelatihannya mungkin akan dapat ilmu tapi belum tentu dapat keberkahan. Akan tetapi, bilamana orang yang berbakti dan berkhidmat sudah barang tentu ia mendapatkan pahala dan keberkahan.

Dalam sebuah hadis, Nabi Saw membeberkan keutamaan sikap cinta ilmu dan berkhidmat pada majelis ilmu seperti yang dilakukan oleh tolabil ilmi dalam cerita di atas. Nabi Saw bersabda: 

“Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allâh SWT melapangkan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Barang siapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh SWT memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allâh (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya.” (HR. Muslim).

Setelah membaca uraian dalam hadis di atas, yang manakah amalan kita?

Wallahu a’lam.  


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Abdurrosit

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia