Hilangnya Sens Humor Kita

slider
slider
01 Desember 2019
|
1079

Judul: Islam Jenaka Mbah Nyut: Kisah-Kisah Sesat Sang Wali Kuthuk | Penulis: MY Arafat | Penerbit: MJS Press, 2019 | Tebal: xxii + 136 halaman | ISBN: 978-602-74625-9-5

Tak diragukan lagi, negeri kita ini memang kaya raya, mulai dari alam yang sangat indah, flora dan fauna yang sangat beragam, suku, agama, budaya dan ras bahkan hingga kekayaan cerita-cerita dan anekdot-anekdot serta humor yang bisa membuat perut kita mules tak mau berhenti tertawa. Makanya, ada ungkapan yang sangat menarik di tengah-tengah kita, “Mengajak orang tertawa, bersukaria itu lebih mudah daripada mengajak orang menitikkan air mata.”

Sayangnya, beberapa tahun terakhir ini kita sebagai manusia agak mulai kehilangan sens humor, kelucuan, dan sifat jenaka yang kita miliki. Bahkan, Islam yang kita anut telah tenggelam keseksiannya, kejenakaannya. Kita terlalu serius dalam menghadapi persoalan hidup di dunia, dan lupa untuk tertawa bersama.

Terlebih beberapa bulan terakhir ini begitu tampak jelas di depan mata. Sebagaimana diketahui perkembangan politik antara kosong satu dan kosong dua, kita dihadapkan pada kenyataan polariasasi umat Islam yang semakin ketara dan kental, sehingga cara kita menjadi menusia dan cara kita beragama kehilangan sens humor, kelucuan, dan sifat kejenakaan yang kita miliki dalam beragama.

“Buku ini bukan buku filsafat, bukan buku tasawuf, bukan buku sosial-budaya-kemasayarakatan, bukan buku cerita atau novel, namun di dalamnya ada kandungan filsafat, tasawuf, sosial, kemasyarakat, dan juga cerita. Penulisnya sejauh yang aku kenal juga dapat dikatakan ‘serba bukan’ dan sekaligus ‘serba iya’; bukan filosof, tetapi cara berpikirnya sering begitu filosofis, bukan sufi, tetapi rasanya punya kualitas kesufian tertentu; bukan sosiolog-antropolog, tetapi jangan salah, pendidikan formalnya sosiologi-antropologi dan aktivitas-aktivitasnya sangat budaya. Jadi buku ini adalah buku ‘yang bukan-bukan’, sekaligus ‘yang iya-iya’ dari penulis ‘yang bukan-bukan’ dan sekaligus juga ‘yang iya-iya’.” (hlm. iv).

Kalimat di atas adalah bagian dari kata pengantar buku Islam Jenaka Mbah Nyut: Kisah-kisah Sesat Sang Wali Khutuk karya MY Arafat. Di tulis oleh seorang dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kalimat tersebut sangat jelas menunjukkan sens humor, kelucuan, dan kejenakaan atas isi buku dan penulis buku ini.

Melalui kehadiran buku Islam Jenaka Mbah Nyut ini, kita sejenak diajak untuk tertawa bersama, menertawakan dunia, menertawakan keadaan sosial kita. Kita diajak menertawakan diri kita sendiri, bahkan “mungkin” kita juga diajak untuk menertawakan keadaan umat Islam Indonesia saat ini.

Selain mengajak kita tertawa bersama, sepertinya Arafat juga mengajak kita untuk sejenak melupakan masalah-masalah hidup yang semakin genting dan runyam, baik masalah kehidupan dunia nyata, maupun masalah yang secara sengaja kita pindah dari dunia nyata ke dunia maya.

Sebagaimana diakui penulis buku ini, pada awalnya kisah-kisah Islam jenaka yang tertuang di dalam buku ini, merupakan kumpulan bentuk status pribadi di akun media sosial Facebook yang memang secara sengaja diciptakan untuk memancing senyum dan tertawa para kolega dan pengikutnya di tengah pertarungan politik antara kosong satu dan kosong dua yang disesaki cai-maki.

Kisah-kisah jenaka yang ada dalam buku ini mengambil lanskep yang tak jauh-jauh dari kehidupan kita sehari-hari. Mbah Nyut sebagai bintang utama untuk setiap kisah-kisah “kesesatan” yang memang dalam kehidupan sehari-hari dikenal jenaka, lucu dalam menyikapi kehidupan ini.

Salah satu cerita-cerita jenaka Mbah Nyut dalam buku ini adalah tentang filsuf Jawa di mana kita yang membaca akan tertawa dengan sendirinya. Misalnya, menurut Mbah Nyut, Jhon Dewey, filosof bermazhab pragmatisme asal Amerika Serikat itu, sebenarnya nama aslinya adalah Jono yang berasal dari Jawa. Karena merantau ke Amerika sendirian, maka ditambah kata “Dewe” di belakang namanya. Dewe dalam bahasa Jawa artinya sendiri. Ketika memperkenalkan diri pada orang-orang Amerika yang berlidah pendek itu spontan menyebut: Jhon Dewe. Maka sejak saat itu Jono dikenal dengan nama Jhon Dewey hingga saat ini (hlm. 80).

Filosof lain yang menurut Mbah Nyut berasal dari Jawa, tepatnya Jawa Tengah di sekitar Boyolali adalah Auguste Comte, seorang filusuf berrmazhab positivisme logis dari Prancis. Menurut Mbah Nyut nama sebenarnya adalah Agus Sukamto, karena lidah orang Prancis pendek, maka di eja dan ditulis menjadi Auguste Comte. Begitu pula filsuf Emile Durkheim yang juga berasal dari Jawa, tepat Jawa Timur yaitu Surabaya. Nama aslinya Emil Dur Rokhim menjadi korban kependekan lidah orang Prancis hingga menjadi Emile Durkheim (hlm. 81).

Tentu masih banyak lagi kisah-kisah jenaka, lucu, dari Mbah Nyut dalam buku ini yang akan membuat pembaca tertawa, tersenyum-senyum sendiri. Setidaknya ada 50 kisah-kisah jenaka, lucu, dari Mbah Nyut yang tampil dan mencuatkan kepekaan dan kedalaman pemikiran dari seorang yang dianggap sebagai wali kuthuk tersebut.

Dalam konteks ini, kejenakaan-kejenakaan dan kelucuan-kelucuan yang ada dalam buku Islam Jenaka Mbah Nyut ini sudah memenuhi tiga komponen humor sebagaimana dikatakan Fahruddin Faiz beberapa waktu lalu pada pagelaran Ngaji Filsafat bertemakan Falsafah Hidup tentang Humor. Tiga komponen humor tersebut yaitu, wit (kejenakaan yang cerdas), mirth (keriangan dan kegembiraan), dan laughter (gelak tawa). Meskipun kejenakaan dan kelucuan setiap individu berbeda-beda dalam menanggapi.

Pada akhirnya, kisah-kisah dan cerita-cerita dalam buku ini dari Sang Wali Kuthuk, pembaca akan mendapati nilai-nilai cinta, filsafat, tasawuf dan sosial-budaya-kemasayarakatan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun tetap dengan nada jenaka, lucu, yang terkadang menusuk tajam, karena di dalamnya sarat akan kritik atas kehidupan sosial budaya kemasyarakatan kita yang memang dirasa beberapa tahun terakhir ini pincang dan berat sebelah. Gitu.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Syahuri Arsyi

Mahasiswa dan Penikmat Ngaji Filsafat Virtual