Hidup Bahagia Ala Filsafat Stoa
Judul: Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Depan | Penulis: Henry Manampiring | Penerbit: Kompas, Cet VII, 2019 | Tebal: 320 halaman | ISBN: 978-602-412-518-9
Seorang pelajar sudah jauh-jauh hari mempersiapkan makalah untuk dipresentasikan. Dalam perjalanan, macet dan ban motor bocor, dan ternyata sesampainya di kampus, dosen tidak masuk. Atau ditengah bertunangan tiba-tiba putus tanpa alasan yang jelas. Untuk mengatasi rasa kecewa dan patah hati, ia melakukan liburan ke tempat wisata. Namun, ketika ditengah perjalanan dompet dan handphone hilang dan ketika sampai di tempat wisata tidak sebagus yang direkomendasikan.
Situasi-peristiwa di atas tentu saja hanya rekaan belaka, walaupun mungkin bisa saja hal itu pernah terjadi pada orang-orang di sekitar kita. Akan tetapi, satu hal yang tampak begitu jelas, bahwa di satu sesi seringkali manusia memiliki kecenderungan untuk meniadakan kehidupan. Kita seringkali kurang memahami, bahwa kita tak memiliki kendali dan kuasa atas hidup ini.
Tentu, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka kita harus menjalani kehidupan. Pertanyaanya sekarang, bagaimana kita harus menjalani suasana kehidupan yang seperti itu? Bisakah kita hidup bahagia di suasana yang seperti itu?
Buku karya Henry Manampiring berjudul, Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Depan, tak sekedar sebagai obat penenang yang berusaha menjawab pertanyaan di atas. Malahan dengan cara menggali ajaran para tokoh-tokoh besar di zaman Yunani-Romawi Kuno yang dikenal dengan Kaum Stoa atau Filosofi Teras, setidaknya membantu kita dalam menjalani kehidupan, hidup bahagia.
Sebagai salah satu aliran filsafat, stoikisme tidak hanya dimaknai sebatas kumpulan gagasan yang susah, rumit, jelimet, hingga membuat manusia sulit bergandengan tangan. Filsafat stoikisme juga bukan bersifat “dogmatis”, karena pada dasarnya bukan agama yang selalu memiliki aturan mutlak yang tak boleh dilanggar sama sekali. Ajaran filsafat stoikisme terbuka untuk diperdebatkan, bahkan bisa diadaptasi menurut kebutuhan masing-masing individu.
Gagasan dasar dari filsafat Stoa ada dalam diktum yang dirumuskan oleh filsuf Stoa yaitu Epictetus (55/60–135/138 M): “Ada hal-hal yang bisa dikuasai”, (apa yang tergantung padaku), “Ada hal-hal yang tak bisa kita kuasai, (apa yang tak tak tergantung padaku)”. Dari diktum tersebut menjadikan agar supaya diri terbatas dari penyakit jiwa, emosi-emosi negatif seperti sakit, takut dan iri hati. Prinsip ini disebut sebagai dikotomi kendali (dichotomy of control).
Filsafat stoikisme adalah salah satu aliran atau mazhab filsafat Yunani-Romawi yang didirikan tahun 108 SM di Athena oleh Zeno dari Citium dan memperluas pengaruhnya dalam Kekaisaran Romawi (Loren Bagus, 1996: 1037-1038). Filsafat stoikisme mengajarkan kepada kita bahwa sebenarnya kebahagian sejati bisa didapatkan melalui hidup yang selaras dengan dengan kosmos (alam semesta). Sebagian besar para filosof stoikisme tidak mengajarkan hal-hal yang bersifat eksternal seperti sukses dalam hidup, mendapat pekerjaan bagus, punya istri cantik atau punya anak tampan dan cantik. Oleh karena itu, filsafat stoikisme berbeda dengan aliran filsafat lain. Filsafat stoikisme lebih banyak menekankan pada praktik, tidak terlalu banyak pada diskusi, wacana intelektual yang menyangkut tentang ide-ide dan konsep abstrak.
Lalu apa yang ingin dicapai oleh para filosof stoikisme dalam hidup ini?
Pertama, hidup bebas dari emosi negatif (sedih, marah, cemburu, curiga, baper dan lain-lain) dan mendapatkan kehidupan yang tenteram (tranquil). Kedua, hidup mengasah pada kebajikan (virtues) berupa bijaksana dalam mengambil keputusan, adil dalam memperlakukan orang lain, keberanian (courage), berani berbuat benar, berani berpegang teguh pada prinsip yang benar dan menahan diri (temperance), disiplin, kesederhanaan, kepantasan, dan kontrol diri (hlm. 27-28).
Filsafat Stoa sebagai way of life di dalam kehidupan sehari-hari membuat manusia tidak hanya hidup dan mencintai alam, akan tetapi lebih dari itu, selaras dengan alam. Dengan kata lain berarti menjadi manusia yang bisa menggunakan dan mengoptimalkan nalar kehidupan—sebagaimana pernah dicontohkan dalam kehidupan sehari para filosof stoikisme.
Sebut saja misalnya, Marcus Aurelius (120-180 SM)—beberapa bulan lalu pada gelaran Ngaji Filsafat disebut sebagai salah satu dari The Philosopher King atau raja filosof. Marcus adalah seorang Stoik dan sekaligus Raja Kaisar Romawi yang beraktivitas sebagai seorang pemimpin politik dan berperang, namun juga berintegritas, tegas, berpendirian teguh, murah hati, dan ramah terhadap kawan maupun lawan.
Sebagai way of life, stoikisme menawarkan latihan disiplin hasrat, latihan disiplin dorongan dan latihan disiplin penilaian. Sebagai contoh kita bisa mengambil jarak dengan smartphone, misalnya ketika baru bangun tidur, kita tidak langsung mencari alat yang satu ini, akan tetapi kita berdoa terlebih dahulu. Atau saat menunggu ojek online, sewaktu antri tidak manja asik sendiri melihat Facebook, Instagram, WhatsApp, melainkan membaca buku. Tentu semua ini sebenarnya bisa dilakukan.
“Seorang praktisi Stoa seharusnya merasakan keceriaan senantiasa dan sukacita yang terdalam, karena ia mampu menemukan kebahagiaannya sendiri, dan tidak menginginkan sukacita yang lebih daripada sukacita yang dari dalam (inner joys)” kata Lucius Annaeus Seneca, seorang filsuf Stoik, dalam On the Happy Life.
Buku Filosofi Teras mengajarkan kepada kita bagaimana hidup ala filosof Stoa yang memerlukan latihan-latihan praktis dan konkrit dalam hidup sehari-hari. Terutama terkait persoalan-persoalan yang sering kali kita jumpai. Oleh karena itu, buku Filosofi Teras ini tidak sekedar hanya menjadi bahan bacaan filsafat saja, melainkan bisa juga menjadi manual kehidupan zaman now.
Category : resensi
SHARE THIS POST