Hanya Cerita: Cak Muis
Cak Muis adalah seorang pegawai negeri biasa. Kebetulan ia bekerja sebagai penyuluh agama. Tentu saja pekerjaan itu cukup menjanjikan, karena sebagai pegawai negeri ia mendapat gaji dan tunjangan rutin.
Sehari-hari ia bekerja untuk membimbing dan menuntun masyarakat dengan bahasa agama. Tugas utamanya adalah membimbing keberagamaan masyarakat; menuntun mereka tentang ‘yang harus dilakukan’ dan ‘yang jangan dijalankan’ dalam agama. Setiap saat ia berkewajiban mewaspadai ‘yang benar’ dan ‘yang salah’ dalam praktik beragama masyarakat. Setiap hari ia harus mengidentifikasi dan memilah antara ‘yang lurus’ dan ‘yang sesat’.
Lama-kelamaan, entah mengapa ia merasa jenuh. Jenuh dengan rutinitasnya memilih dan menilai. Semakin lama kejenuhan itu menumpuk, sampai suatu ketika ia bertanya kepada dirinya, “Hanya untuk inikah aku hidup di dunia ini?”
Ia merenung. Sewaktu kecil, ia dipaksa memilih antara patuh atau membangkang. Saat mulai berpikir, ia dipaksa memilih antara surga atau neraka. Saat dewasa, ia dipaksa juga memilih antara ‘yang lurus’ atau ‘yang sesat’. Sekarang saat usianya mulai menua, masih saja harus sibuk memilah antara ‘yang benar’ dan ‘yang salah’. Sungguh menjemukan, batinnya.
Dalam kejenuhan itu, ia mendatangi Kiai Soleh, tokoh agama panutan yang sangat disegani di daerah tempatnya bekerja.
“Lelah saya Pak Kiai, dengan pekerjaaan ini. Rutinitas yang tiada akhir. Setiap hari saya harus memilah ‘yang benar’ dan yang ‘tidak benar’; menceramahkannya, lalu saya pulang dan selesai di situ. Besok begitu lagi, berulang terus seperti itu. Inikah takdir hidup saya? Haruskah saya melanjutkan pekerjaan ini? Hanya untuk inikah tugas saya di dunia ini Pak Kiai?”
“Nak Muis”, jawab Kiai Soleh. “Mohon maaf sekali, pertanyaan yang sampeyan ajukan itu sulit saya jawab. Saya sendiri juga hakikatnya seperti sampeyan, setiap hari sibuk memilah dan memilihi mana yang benar dan mana yang salah. Yang bisa menjawab pertanyaanmu harusnya orang yang wawasannya melampaui sekadar benar-salah dalam kehidupan”.
“Adakah orang yang seperti itu Pak Kiai? Di manakah saya bisa menemuinya?”
“Wah, saya tidak tahu Nak. Tapi dulu guru-guru saya bercerita ada satu orang yang memiliki kualitas seperti itu: Nabi Khidir. Sejauh yang saya tahu, beliaulah manusia yang pandangannya telah melampaui benar-salah seperti yang kita pahami selama ini”, jawab Kiai Soleh.
“Ke mana saya bisa menemui Beliau, Kiai?” tanya Cak Muis.
“Itulah susahnya. Menurut guru saya, beliau tidak bisa dicari ke mana-mana. Kata guru saya, kalau kita sudah siap, beliau akan datang sendiri”.
“Lalu saya harus bagaimana biar siap Kiai?”
“Ya, berdoa sajalah Nak”, kata Kiai Soleh. “Sampaikan harapan dan keinginan kuatmu kepada Allah. Simpanlah dan jagalah kegelisahan dan kejenuhanmu itu sampai memuncak, sehingga mengundang belas-kasih Allah lalu mengizinkanmu bertemu kekasih-Nya itu”.
Cak Muis pun pulang, kembali menjalani hari-harinya seperti biasa. Kejemuan dan kemuakannya pada pekerjaan semakin lama semakin memuncak. Diikutinya nasihat Kiai Soleh. Setiap hari ia berdoa agar dipertemukan dengan Nabi Khidir.
Akhirnya pada suatu ketika, atas kuasa Allah, Nabi Khidir pun muncul di hadapannya. “Muis, matang sudah kemuakanmu. Sekarang kamu sudah siap untuk sesuatu yang lebih tinggi nilainya daripada sekadar memilah antara yang benar dan tidak benar”.
“Terima kasih atas kehadiranmu wahai kekasih Allah”, jawab Cak Muis mengiring rasa syukur dan ketakjubannya. “Apa yang harus saya lakukan sekarang?”
“Pelajaran pertama: Tinggalkan pekerjaanmu”, jawab Nabi Khidir.
Cak Muis memang sudah sangat siap. Esok harinya, langsung saja ia mengajukan pendunduran diri dari pekerjaannya. Keluarga dan kawan-kawannya heboh. Mereka memprotes keputusannya dan bertanya, “Sampeyan ini bagaimana Cak, apa yang sampeyan lakukan ini?”, “Mbok ya berpikir panjang dulu sebelum memutuskan?”.
Cak Muis hanya menjawab pendek, “Entahlah, aku ingin keluar saja”.
“Cak, sampeyan meninggalkan pekerjaan yang begitu bagus, pekerjaan yang tidak gampang diperoleh. Begitu banyak orang yang ingin seperti sampeyan, mendapat pekerjaan mapan seperti sampeyan”.
“Alhamdulillah kalau ada yang menggantikan aku melanjutkan pekerjaanku”, tegas Cak Muis.
Beberapa kerabat yang bingung marah kepada Cak Muis. “Muis, kau itu bodoh, gila, stress.”
“Mungkin”, jawab Cak Muis pendek.
Malam hari itu, Nabi Khidir muncul lagi. “Muis, selamat, kamu tidak terpengaruh oleh pendapat orang lain. Sekarang kamu sudah siap untuk pelajaran selanjutnya”.
Nabi Khidir lalu mengajak Cak Muis ke tepi sungai. “Muis, meloncatlah ke dalam sungai mengalir itu. Biarkan tubuhmu terbawa oleh arusnya, jangan melawan”.
Cak Muis mengangguk, dan tidak berpikir dua kali. Segera saja ia meloncat ke dalam sungai. Ia membiarkan arus sungai menuntun dirinya. Seorang yang sedang memancing di tepi sungai kebetulan menyaksikan kejadian itu dari jarak yang agak jauh. Menyaksikan kejadian itu, ia bergegas meloncat ke dalam sungai, menyelamatkan Cak Muis.
“Sampeyan ingin bunuh diri?” bentaknya, setelah Cak Muis berhasil diselamatkan.
“Tidak”.
“Lantas mengapa sampeyan meloncat ke sungai? Arusnya sedang kuat, bisa-bisa sampeyan mati tenggelam. Sampeyan punya maksud apa sih?”
“Saya tidak tahu”.
“Gendeng sampeyan ini”.
Malam itu akhirnya si pemancing mengajak Cak Muis pulang ke rumahnya. Selanjutnya Cak Muis ikut ke rumah si pemancing, sambil membantunya mencari ikan di sungai. Tanpa sadar setelah beberapa bulan, dari air dan sungai Cak Muis banyak mendapat pelajaran, misalnya tentang aliran, perubahan, fleksibilitas, dan ketidakkakuan, juga watak merendah.
Pada suatu malam, Nabi Khidir datang lagi. “Muis, selesai sudah pelajaranmu ini. Sekarang tinggalkan tempat ini. Pergilah ke desa di lereng gunung sana untuk pelajaran selanjutnya”.
Cak Muis pun meninggalkan perkampungan pemancing itu dan berangkat ke sebuah desa di lereng gunung. Sampai di desa Cak Muis kembali bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Dua hari ia mondar-mandir di sana, sampai kemudian seorang petani menghampirinya.
“Sepertinya sampeyan tidak punya pekerjaan tetap. Mau tidak membantu saya di sawah? Saya kebetulan tidak punya pembantu”.
Akhirnya Cak Muis ikut dengan petani itu. Ia bekerja sekaligus belajar bercocok tanam. Ia belajar mencintai bumi, belajar keteguhan, ketangguhan, juga kesabaran. Setiap bulan sekali Pak Petani memberinya upah. Setelah sekitar dua tahun di sana, akhirnya ia punya sedikit tabungan.
Suatu hari, Nabi Khidir menampakkan dirinya lagi. “Pelajaran tahap ini pun sudah cukup. Tinggalkan desa ini, sekarang pergilah ke kota. Gunakan tabunganmu untuk berdagang”.
Cak Muis pun patuh tanpa bertanya. Ia pergi ke kota, dan di sana ia membuka usaha jual beli buku. Banyak pelajaran ia dapat dari bisnis ini. Selain wawasannya yang semakin luas karena membaca buku-buku yang dijual, ia belajar perbedaan karakter orang, mengatur diri, mengendalikan diri, menegaskan orientasi, mengatur strategi, melayani, dan banyak lagi yang lain. Karena kesungguhannya, ia berhasil memperoleh keuntungan yang cukup besar.
Tiga tahun kemudian Nabi Khidir mendatanginya lagi. “Berikan seluruh penghasilanmu kepadaku. Tinggalkan kota ini, pergilah ke ibu kota. Cari seorang pengusaha. Jadilah pelayannya”.
Cak Muis mengangguk. Ia tidak pernah membantah dan tidak pernah mempertanyakan arahan Nabi Khidir. Hari itu juga ia berangkat ke ibu kota. Di ibu kota, selama sebulan lebih ia melamar kesana-kemari ke beberapa perusahaan, sampai akhirnya ia diterima di perusahaan jasa cleaning-services. Oleh perusahaannya, ia ditugaskan di sebuah pusat perbelanjaan. Di tahapan ini, ia banyak belajar tentang ketulusan, pengabdian, ketundukan di hadapan ‘majikan’, dan lain sebagainya.
Karena wawasan dan pengalamannya yang luas, Cak Muis dikenal oleh teman-teman kerjanya sebagai orang pandai. Atasannya pun senang kepadanya.
Cak Muis kemudian diberi wewenang untuk mengurus masjid yang ada di pusat perbelanjaan itu. Saat mengelola masjid inilah, sesekali terpaksa ia harus berkhutbah atau memberi ceramah, khususnya saat pembicara resmi yang diundang tiba-tiba berhalangan. Dari situ mulai banyak orang yang mengenal dan senang dengan Cak Muis.
“Cak, saya suka kalau mendengar sampeyan ceramah; rasanya adem dan masuk ke hati”, demikian secara umum komentar banyak jamaah terhadap Cak Muis.
Suatu ketika, teman kerjanya jatuh sakit. Entah mengapa, sambil setengah memaksa ia meminta Cak Muis untuk mendoakannya biar sembuh. Dengan niat berdoa dan untuk menggembirakan orang sakit, Cak Muis pun mengambil air satu gelas dan dibacakannya doa. Tak disangka, sesaat setelah minum air itu, temannya tadi merasa sembuh, segar bugar kembali. Cak Muis sendiri bingung, lha kok bisa? Tidak disangka, kejadian-kejadian semacam itu terulang lagi dan terulang lagi.
Lama-lama banyak orang mengenal Cak Muis dengan segala kelebihan yang dimilikinya. Orang datang setiap hari untuk menemuinya. Ada yang meminta dinasihati, ada yang meminta didoakan, ada yang ingin salaman saja. Banyak orang kemudian menganggap Cak Muis sebagai guru mereka. Cak Muis sebenarnya masih kebingungan dengan semua itu, namun ia jalani saja semuanya, sambil menunggu kehadiran Nabi Khidir kembali.
Suatu ketika, para pemikir, penulis, dan pecinta mendatanginya.
“Guru, kami ingin menulis kisah hidupmu. Ceritakan sedikit tentang dirimu. Sebenarnya guru ini siapa?”
“Aku siapa? Aku ya Muis”, jawab Cak Muis ringkas.
“Maksud kami, siapa guru ini dulunya?”
“Aku ini dulunya anak desa yang kebetulan menjadi pegawai negeri”.
Para penanya itu melongo, karena mereka membayangkan bahwa Cak Muis adalah seorang kiai, atau setidaknya anak kiai, atau mungkin punya garis keturunan yang bersambung ke kiai besar, wali atau bahkan raja atau panglima entah siapa. Beberapa yang datang mengira bahwa ia sedang merendah saja.
“Lalu guru meninggalkan semuanya demi pencarian spiritual?”
“Saya meninggalkan semua itu karena saya bosan, itu saja”, jawab Cak Muis.
Mereka masih kebingungan dengan jawaban Cak Muis. Mereka masih mengharapkan jawaban yang luar biasa dari Cak Muis untuk bisa ditulis.
“Apa yang guru lakukan kemudian?”
“Saya hanyut di sungai, untungnya ada tergerak menolong, sehingga nyawa saya terselamatkan. Setelah itu saya bekerja menangkap ikan, bercocok tanam, lalu menjadi pedagang buku. Sekarang bekerja sebagai pelayan di sini. Demikianlah kisah hidupku”, jawab Cak Muis datar.
Para pemikir yang sudah siap membaca Cak Muis dengan beragam teori yang mereka bawa, menjadi kebingungan. Akhirnya, mereka mengurungkan niat untuk menulis tentang Cak Muis.
Para penulis pun bingung, namun semangat menulis membuat mereka tidak mengurungkan niat untuk menulis. Namun akhirnya para penulis itu menulis kisah hidup Cak Muis sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing.
Adapun para pecinta, mereka hanya datang, mencium tangan Cak Muis, dan mulai menari, merayakan kebersamaan mereka bersama Cak Muis serta rasa syukur kepada Penguasa Semesta yang mengizinkan kebersamaan itu hadir. Sampai hari ini pun mereka masih menari. Kabarnya, Cak Muis pun ikut menari bersama mareka.
Category : kolom
SHARE THIS POST