Guru Sejati dalam Filsafat Jawa: Menemukan Kompas Spiritual dalam Diri

slider
17 Juni 2025
|
955

Dalam khazanah pemikiran masyarakat Jawa, pemahaman tentang guru tidak terbatas hanya pada individu yang memberikan pelajaran pada institusi formal seperti sekolah. Lebih dari itu, terdapat suatu pandangan filosofis yang mendalam mengenai sosok yang disebut sebagai “guru sejati”, yakni entitas non-fisik yang berfungsi sebagai pembimbing batin dan pemandu spiritual bagi manusia dalam upaya mencapai kebenaran hakiki.

Pandangan ini bukanlah konsep baru, melainkan telah lama mengakar dalam sistem kepercayaan dan ajaran spiritual Jawa, khususnya yang diwariskan oleh para wali seperti Sunan Kalijaga. Selain itu, keberadaannya juga erat kaitannya dengan praktik-praktik spiritual seperti semedi, olah rasa, serta tirakat yang bertujuan memperhalus batin dan membuka diri terhadap pencerahan spiritual.

Pengertian Guru dalam Filsafat Jawa

Dalam tradisi kebijaksanaan Jawa, istilah “guru” mencakup berbagai makna dan tingkatan. Pada tataran permukaan, guru adalah orang tua, pengajar di sekolah, atau siapa pun yang menyampaikan ilmu. Namun, yang lebih esensial adalah “guru sejati” yaitu entitas spiritual yang hadir dari dalam jiwa seseorang. Ia bukan individu eksternal yang bisa dilihat mata, melainkan kesadaran tinggi yang terhubung langsung dengan nilai-nilai Ilahiah seperti kejujuran, kebenaran, dan kebijaksanaan.

“Guru sejati” bukanlah makhluk duniawi yang terikat oleh jabatan, kekayaan, atau kehormatan. Ia berada di luar semua kepentingan duniawi, tidak mengharapkan balasan, tidak ingin diagung-agungkan, dan tidak berpihak.

“Guru sejati” hanya dapat ditemukan dalam hati yang bersih dan batin yang tenang. Ia tidak bisa berdiam dalam diri yang masih dikotori oleh ambisi, keserakahan, dan kebencian. Keberadaannya hanya dapat dirasakan oleh mereka yang membuka diri sepenuhnya terhadap kebenaran dan kehendak Tuhan.

Hati Nurani sebagai Jembatan

Dalam filosofi spiritual Jawa, hati nurani atau rasa batin menjadi saluran utama bagi “guru sejati” untuk menyampaikan bisikan dan arahan. Hati nurani adalah suara sunyi yang mengarahkan manusia kepada keputusan yang benar, dengan catatan bahwa hati tersebut tidak tertutup oleh hawa nafsu dan kegelapan batin. Jika seseorang dikuasai oleh amarah, iri hati, kesombongan, dan hawa nafsu, maka suara “guru sejati” akan terhalang atau bahkan tak terdengar sama sekali.

Konsep ini sejalan dengan ajaran Islam yang menyebutkan, “Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu,” yang menekankan pentingnya mendengarkan suara nurani dalam membedakan yang benar dan yang salah. Analogi yang sering digunakan adalah radio: ketika antenanya rusak, sinyalnya terganggu. Demikian pula hati yang keruh tidak mampu menangkap petunjuk “guru sejati” dengan jernih.

Kosmologi Jawa dan Guru Sejati

Dalam struktur kosmologi Jawa, terdapat kepercayaan mengenai “sedulur papat lima pancer”, yang mengartikan bahwa manusia dilahirkan bersama empat saudara gaib yaitu ketuban (kakang kawah), ari-ari (adhi ari-ari), darah (getih), dan tali pusar (puser). Empat elemen ini tidak hanya bersifat biologis, tetapi juga simbolis dan spiritual. Empat saudara gaib tersebut diyakini senantiasa menemani manusia dalam perjalanan hidupnya dan memengaruhi keseimbangan batin.

Pancer adalah pusat atau diri sejati yang menjadi penyeimbang dari keempat saudara gaib tersebut. Bila elemen-elemen ini selaras dan dalam kondisi damai, maka diri sejati atau pancer akan mampu menerima dan memahami petunjuk dari “guru sejati” dengan lebih utuh dan mendalam.

Fungsi Esensial Guru Sejati

Dalam kehidupan manusia, “guru sejati” memiliki peran yang sangat penting. Ia berfungsi sebagai penunjuk jalan spiritual, penyaring nilai moral, cermin diri, serta kompas batin yang membantu seseorang menjalani kehidupan yang bermakna. Dalam ajaran filsafat Jawa, kebenaran sejati bukanlah hasil dari pengajaran luar, melainkan sesuatu yang harus dialami dan disadari melalui perjalanan batin.

“Guru sejati” adalah penuntun dalam menapaki jalan kebaikan, pemberi arah dalam menentukan keputusan hidup yang selaras dengan nilai-nilai luhur. Ia juga berperan sebagai filter dalam membedakan mana yang benar dan yang keliru. Selain itu, ia menjadi refleksi bagi manusia untuk memahami siapa dirinya yang sejati. Hal ini bebas dari ego, topeng sosial, dan keterikatan duniawi.

Tiga Langkah Menemukan Guru Sejati

Menemukan “guru sejati” tidak bisa dilakukan secara instan, melainkan melalui proses panjang yang membutuhkan komitmen dan ketekunan. Ada tiga tahapan utama yang harus dijalani. Pertama, menyucikan hati (ngresiki). Ini adalah proses membersihkan jiwa dari sifat-sifat negatif seperti dendam, iri hati, kesombongan, dan hawa nafsu. Penyucian hati menjadi dasar bagi terbukanya pintu menuju bimbingan “guru sejati”.

Kedua, laku prihatin atau tirakat yang merupakan bentuk latihan spiritual ini mencakup pengendalian diri, menjauhi kesenangan duniawi, dan hidup dalam kesederhanaan. Tujuannya adalah untuk memperkuat batin dan memperhalus rasa agar bisa lebih peka terhadap bisikan Ilahiah.

Ketiga, olah rasa. Proses ini bertujuan untuk mempertajam kepekaan batin. Rasa dalam filsafat Jawa terbagi menjadi tiga: rasa pribadi (kesadaran atas diri sendiri), rasa sosial (kepekaan terhadap lingkungan), dan rasa ilahi (kesadaran akan kehadiran Tuhan). Melalui tahapan seperti srawung rasa (mengenali dan bergaul dengan rasa), seleh rasa (memasrahkan seluruh rasa kepada Tuhan), dan manunggal rasa (menyatunya rasa dengan kehendak Ilahi), seseorang akan semakin dekat dengan suara “guru sejati”.

Semedi: Jalan Sunyi Menuju Pencerahan

Semedi merupakan praktik penting dalam tradisi spiritual Jawa yang bertujuan untuk menenangkan pikiran dan memperdalam kontak dengan diri batin. Saat melakukan semedi, seseorang menyepi dari hiruk-pikuk dunia untuk mendengarkan suara hatinya sendiri. Dalam praktik ini, tidak ada tuntutan, tidak ada ambisi, hanya keheningan dan pengamatan mendalam terhadap diri.

Semedi biasanya dilakukan di tempat sunyi seperti gunung, hutan, atau lokasi sakral lainnya, sebagai wadah untuk merefleksikan diri, menyimak rasa, dan membuka ruang bagi “guru sejati” untuk hadir. Perlu diingat bahwa semedi hanyalah metode; substansi sejatinya tetap pada olah rasa dan keterbukaan batin.

Guru Sejati dan Kebijaksanaan Waskita

Orang yang telah berhasil menemukan “guru sejati” dalam dirinya akan menampilkan karakteristik yang disebut sebagai waskita, yaitu kebijaksanaan tinggi yang lahir dari pengalaman batin. Pribadi yang waskita biasanya menunjukkan kualitas-kualitas seperti belas kasih (welas asih), kesadaran penuh (eling lan waspada), keteguhan hati (teteg lan temen), dan kesederhanaan yang memancarkan cahaya (sumunar).

Orang seperti ini tidak membutuhkan pengakuan dari luar. Mereka hidup apa adanya, penuh makna, dan selaras dengan nilai-nilai spiritual tertinggi. Dalam lakon pewayangan, kisah tentang Werkudara (Bima) dalam pencariannya terhadap Dewa Ruci merupakan simbol paling tepat dalam menggambarkan proses ini.

Simbolisme Dewa Ruci: Perjalanan Spiritual Menuju Kebenaran

Cerita Dewa Ruci sarat dengan makna simbolik yang mencerminkan perjalanan spiritual menuju “guru sejati”. Dalam kisah ini, Bima diperintahkan gurunya untuk mencari tirta perwitasari, air kehidupan yang melambangkan kebenaran hakiki. Dalam perjalanannya, ia harus melawan raksasa (simbol hawa nafsu), melintasi lautan (alam bawah sadar), dan akhirnya masuk ke tubuh Dewa Ruci yang menjadi simbol dari “guru sejati” yang ternyata bersemayam dalam dirinya sendiri.

Perjalanan ini menggambarkan bahwa untuk menemukan kebenaran sejati, seseorang harus melampaui ego dan menyelami kedalaman batin. Hanya melalui perjuangan internal yang sungguh-sungguh, bimbingan “guru sejati” dapat dirasakan sepenuhnya.

Konsep “guru sejati” dalam filsafat Jawa mengajarkan bahwa kebenaran tertinggi tidak bisa ditemukan lewat bacaan atau pengajaran dari luar semata, melainkan melalui perjalanan batin yang mendalam. Ia adalah suara hati yang murni, cermin yang memperlihatkan jati diri sejati, dan kompas spiritual yang tak pernah menyesatkan.

Untuk bisa berjumpa dengan “guru sejati”, seseorang perlu melalui proses penyucian batin, pengendalian diri, serta pemekaan rasa melalui semedi dan tirakat. Meskipun tidak mudah, pencapaian ini adalah mungkin, dan ketika berhasil diraih, hidup akan berubah.

Referensi:

Ngaji Filsafat 468: Guru Sejati dalam Filsafat Jawa edisi Peran Para Penuntun, bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 28 Mei 2025.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Nur Hanifah Ahmad

Alumni S1 di Jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga