Gorong-gorong Cinta dan 9 Kubah

slider
24 Oktober 2017
|
1315

Judul: 9 Kubah | Penulis: Evi Idawati | Penerbit: Radio Buku, 2017 | Tebal: xxviii + 116 halaman | ISBN: 979-602-10808-20-6

"Seluruh derita terlalu sepele untuk membuat kita sedih. Kita harus gebuk derita itu."

Itulah ucapan yang dilontarkan Kyai Kuswaidi Syafiie (Cak Kus), Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Bantul, pada acara “Tahlilan Kitab Puisi 9 Kubah” karya Evi Idawati, di Masjid Jendral Sudirman, sekitar empat tahun silam.

Cahaya itu cinta

Lalu, Cak Kus mengulas masalah cahaya, “benda” yang kerap dijadikan simbol pencarian spiritual para sufi dan orang-orang tercerahkan. Cak Kus mengatakan, cahaya bisa membimbing manusia pada kesadaran tentang ketakterhinggaan untuk mencapai inti dari segala sesuatu. Cahaya membawa manusia lepas dari keterjebakan pada rupa, bentuk, sekat, dan konflik. Cahaya memberangus kerisauan pada perbedaan. Termasuk perbedaan yang berujung pada pengagungan bentuk dan rupa.

Untuk mendulang cahaya itulah, puisi Evi Idawati hadir. Puisi-puisinya bisa menyambung rasa horizontal sesama manusia sekaligus mampu mendekatkan manusia pada Tuhan. Tak mustahil, puisi, walaupun cuma kumpulan kata pendek, akan membimbing manusia untuk menyelesaikan masalah-masalahnya. Mengapa? Sebab, penyair adalah orang yang “memenangkan persoalan, bukan malah kalah karena persoalan.” Begitu wedarnya Cak Kus.

Puisi itu seperti gorong-gorong,” ungkap Cak Kus, lagi. Gorong-gorong itu membuat orang yang memasukinya akan mengalami kenikmatan yang berbeda-beda. Di dalam gorong-gorong itu, setiap penjelajah pasti merindukan cahaya. Kalau tidak, dari mana ia bisa melihat arah? Nah! Puisi adalah sebuah pengakuan bahwa pencarian pada ketakterhinggaan pasti memerlukan cahaya. Cahaya adalah simbol kesadaran.

Cahaya adalah saat kita memandang segala sesuatu, lalu kita bisa mencapai bagian paling inti dari sesuatu itu. Cahaya akan mengantarkan kita untuk menerobos bentuk-bentuk, warna-warna, dan ruang-ruang. Lalu, kita akan sampai pada kesadaran tentang ketakterhinggan. “Bentuk” berawal dari “tanpa bentuk”. “Warna” berawal dari “tanpa warna”. “Arah” berawal dari “tanpa arah”. “Ada” berawal dari “tiada”.

Simbol cahaya ini nantinya akan mewujud dalam proses kreatif seorang penyair. Seorang penyair, ketika menulis, harus tidak memiliki harapan apa pun. Tulisannya hendak menjadi apa dan bagaimana akan bergulir, tergantung saat nanti dibaca oleh banyak orang. Namun, bila ia menulisnya dengan niat baik, puisinya akan menjadi dan membawa kebaikan. Lalu, saat dibaca, puisi itu akan disirami dengan kebaikan. Lalu, ia akan menumbuhkan hal-hal baik.

Kebaikan adalah kue, minuman, dan air yang bisa diambil oleh siapa saja. Dia tidak hanya bisa menjadi air minum, tetapi juga menjelma sesuatu yang tidak dimiliki oleh sesuatu. Harapan Mbak Evi, puisi yang dituliskannya menjadi lautan kebaikan. Tampak sekali, ia telah mengisyaratkan penemuan cahaya. Insya Allah!

Pemahaman hidup melalui puisi

Kesadaran untuk memahami dunia di luar diri dan menyelami rasa orang lain yang berbeda-beda merupakan proses panjang dan berat. Jalan tersulit adalah mengenali diri. Lalu, setelah diri dikenali, barulah ia ditaklukkan dalam perang antara “aku” dan “aku”.

Mengenali diri sendiri adalah perbuatan mulia di tengah dunia yang penuh badut ini. Banyak orang (diri) yang memainkan peran dan karakter yang bukan dirinya sendiri. rata-rata semuanya melakukan itu untuk merayakan tampilan liar atau penampakan yang cenderung menipu.

Karena itu, setiap manusia dituntut untuk memahami hidup ini. Agar hati, pikiran, pandangan, dan pendengarannya terbuka. Namun, pemahaman hidup biasanya akan sulit untuk dikatakan. Melalui puisinya, semua itu bisa diungkapkan.

Kitab puisi 9 Kubah adalah ekspresi kerinduan Mbak Evi pada rumah. Kesibukan dunia terasa sering menyesakkan, melemparkan, dan memukuli dirinya dalam keterburuan dan perburuan duniawi. Dari rumah, puisi-puisi itu berawal. Dari rumah, puisi itu menuju.

Apa yang dimaksud “rumah”? Rumah memang berarti rumah. Namun, “rumah” yang lebih ia tekankan adalah “rumah batin”, yaitu tempat ia mencari cahaya Tuhan. Itulah rumah yang ia tinggali waktu ia menulis puisi-puisinya.

Berteman dengan tanaman, pagi dan subuh membuatku bahagia. Langit itu indah, ketika melihat langit maka beban-beban yang di dalam diri serasa terangkat semua,” ungkap Mbak Evi saat memaparkan latar belakang penulisan puisi-puisinya. Ia juga mengatakan bahwa dengan menulis puisi ini, ia banyak menemukan oase. Bukan dengan bersibuk-sibuk di luar rumah, melainkan dengan merasakan kedekatan dengan sajadah, merasakan ikatan yang luar biasa dengan tasbih, dan merasakan Subuh. Itulah sahabat akrab yang membawa energi-energi baru bagi dirinya sendiri.

Lalu, apa itu “kubah”? Kubah, bagi Mbak Evi, adalah sesuatu yang menjadi atap “rumah cahayanya”. Kubah memberikan wadah bagi rasa yang dialami. “Rasa” atau rahsa, kata orang Jawa, lebih luas daripada tubuh fisik. Rasa selalu bergerak. Ia mengantarkan pemiliknya untuk menjadi manusia baru dalam penjelajahan panjang untuk menemukan cinta. “Bukankah dalam pengembaraan para sufi yang jauh dan melelahkan, yang dicari pada akhirnya adalah cinta?” tulis Yasraf Amir Pilliang pada pengantar kitab puisi ini.

Begitu mudah bahasa puisi Mbak Evi, tetapi terasa sulit untuk dilakukan di tengah kehidupan yang terlalu bising dan menyesatkan. Namun, sulit bukan berarti tidak bisa. Teringat kata simbah saya di desa, “Manungso asale soko alam roso, lan bakale balek nang alam roso. Kabeh mau ana nek dirasakno.” (Manusia asalnya dari alam ‘rasa’, dan pasti akan kembali ke alam ‘rasa’. Semua itu akan bisa ‘dirasakan’ kalau betul-betul kita mau ‘merasakannya’).

Akhirnya, kiranya kita harus merenungkan kutipan puisi Mbak Evi yang berjudul Kubah Hati:

"Kubah hatiku adalah perjalanan ibadahku. Keluasan dan keterbatasannya bukanlah hamparan savana yang gampang dijelajah, namun menjelma tingginya gunung dengan jalan yang menanjak dan berundak… Engkau, Cahaya Maha Cahaya, tinggallah di hatiku, segala yang sementara akan musnah dan aku hidup dalam benderang-Mu."

Demikian. Waallahua’lam.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Agus Yuliono

Salah Satu Penulis Buku Suluh Kebahagiaan