GaSyiMuNu

31 Mei 2018
|
1027

"... Maka dari itu, dengan beragama cinta, tidak ada lagi aku, agamaku, maupun aliranku. Aku ingin kita memasuki surga dan kita bersama menemui Tuhan dalam perjumpaan yang indah. Karena cinta, kita menjadi taklid, namun taklid dalam berkurban, melakukan kebaikan dalam hal apa pun. Tidak ada lagi perhitungan untung rugi." - Ria Fitriani
Kau tahu? Apa yang kau tuliskan itu rupanya bukan suatu kesadaran yang berkelindan dalam jiwamu semata, atau pun di antara ruh-ruh kalimatmu. Aku melihatnya. Aku melihatnya, sahabatku. Ia menjelma dalam dunia kasat mata ini dengan lebih tegas, sepeninggalmu menuju alam yang lebih dulu kau ketahui daripada kami: sahabat-sahabatmu di MJS (Masjid Jendral Sudirman) Project. Lamat-lamat aku mengejanya dari sosok terdekatmu yang dengan penuh welas asih senantiasa mendampingimu di masa-masa tersulitmu. Di hari-hari terakhir jiwa dan ruhmu masih mengelindani jasadmu. Malam itu, saat kami berkumpul bersama dalam lingkaran tahlil dan doa-doa untuk membersamai hari-hari pertama ruhmu pada dimensi lain, aku menyaksikannya. Orang terdekatmu yang duduk bersila di antara kami. Di antara rapalan doa-doa dan rangkaian bacaan tahlil yang dekat dengan tradisi mayoritas teman-teman kita. Dia, sosok terdekatmu begitu sahaja dan brahmana. Betapa saat itu, aku melihatmu sebagai jiwa yang beruntung. Jiwa brahma dan kesatria sepertimu, bukan tak mungkin salah memilih dan mendapatkan jiwa yang juga brahma-kesatria seperti dia, sosok terdekatmu. Ya, hidupmu yang terbilang singkat, namun sungguh, sahabat, meninggalkan banyak hikmah untuk kami, para sahabatmu, orang-orang terdekatmu. Betapa banyak hikmah-hikmah kehidupan yang bening berbalut welas asih dapat kami punguti setelah 'berpindahmu'. "Kau gadis NU yang sudah malas baca qunut, sementara aku gadis Muhammadiyah yang gandrung membaca tahlil!" Aku terbahak lepas seperti biasa karena celetukanmu itu. Tanpa kita sadari, rupanya kita sering mengejek dunia dengan kenyataan pergaulan kita yang lintas keragaman dalam berislam, namun lebih dari baik-baik saja. Bersama, dalam perbedaan pandangan yang ternyata bukan akar kehidupan itu, kita justru mampu mencipta semacam tangga menuju kesejatian. Bersama, dalam persentuhan-pergaulan-pertemanan, rupanya kita telah beriringan tengah melakukan riyadhoh menuju pengetahuan tertinggi. Suatu proses yang sangat halus, yang rupanya kita sendiri tak menyadarinya. Atau mungkin, kita memang sengaja tidak sadar dalam kesadaran? Membiarkan hubungan indah ini mengalir seperti kodratinya air... untuk sampai pada muara-Nya... Aku jadi ingat ungkapkan teman kita yang paling filosofwati di antara kita. Seperti ciri khasnya yang kerap melemparkan statemen-statement tak jamak, entah dengan menyitir filsuf yang mana, dia mengatakan bahwa untuk mencapai pengetahuan tertinggi, kita memerlukan dua hal: rasionalitas dan kemurnian jiwa. Tak sadarkah kita, meski perlahan dan secara bisu, kita belajar mendekati dua hal itu. GaSyiMuNu! Itulah puncak sarkas di antara hangat dan indahnya pertalian kita. Aliansi gadis Syi'ah, Muhammadiyah, dan NU. Suatu hal yang tiba-tiba muncul di tengah obrolan renyah kita, yang sesungguhnya adalah pergumulan pemikiran Islam, konsep dan keseharian. Tentu saja, GaSyiMuNu itu cuma tahayyul, tuyul-tuyul yang kita buat sendiri sambil cekikikan. Sambil cekikikan pula, di atas ranjang opname, saat kami menjengukmu, kita masih sempat merumuskan nilai tertinggi yang menjadi puncak nilai GaSyiMuNu, yaitu cinta, nurani, dan pengetahuan. Oh ya... kamu pasti ingat Yadu kan? Seorang pemuda Hindu yang menurut kita manis itu. Dia mengirimimu doa, spesial langsung dari Sungai Gangga sewaktu di India sana. Sudah kau terimakah? Jangan teriak-teriak sambil pecicilan seperti biasanya ya, ndak Arsy Gusti Allah obah! See you, Ruuhuki wa ruuhiyÔǪ   Baca juga: Perempuan dari Balik Harem Dari Suatu Keadaan Keabadian di Atas Kesementaraan Pengalaman Berjumpa dengan Perbedaan

Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Halimah Garnasih